Part 1

15 0 0
                                    

13 Maret 2032


(Meanwhile Wandri...)


Jam dinding menunjukkan pukul 12:15. Udara yang dingin akibat hembusan AC juga panggilan alam untuk segera beristirahat, membuat Wandri buru-buru menyelesaikan ketikannya.


Sesekali, gadis berambut coklat itu membetulkan frame kacamatanya. Matanya sayu menatap layar 17" yang sedari tadi membuat retinanya berkunang-kunang. Tak lama lagi hari untuk dia resign akan segera tiba, dan laporan akhir yang dikerjakannya kini tinggal delapan puluh persen.

"Masih belum kelar?" Mbak Anies mendadak muncul di belakang punggungnya.


"Bentar lagi juga selesai, mam. Mam mau kemana sama Della?" tanyanya balik. Wandri memang sudah terbiasa memanggil Mbak Anies dengan sebutan 'mami' karena ia lebih tua sepuluh tahun dari dirinya.


"Della mau ngajakin ke Bakso Pak De'. Kan Novi mau ngadain perpisahan menjelang resign."


"Laporan dia udah pada kelar?"


"Udah lama dia, elu doang yang masih belom mah," ledek Mbak Anies.


"Iiiihhh tungguin sih, Nov!" Wandri memutar 180 derajat kepalanya ke arah bilik PC Novi. Mata sipitnya mendelik selebar buah melinjo.


"Kak Wandri kemaren kuajakin ngetik nggak mau, malah pacaran ke Kebun Raya." Novi yang semula sibuk merapikan rambutnya kini angkat bicara. Della yang berada di sampingnya tertawa.


"Eh, denger-denger Pak Trisno mau ke Cijalu hari ini," ujar Della.


"Telat lo! udah dari pagi tadi dia berangkat! sama rombongan keluarganya!" Mbak Anies menjewer pipi Wandri dengan gemasnya.


"Heee mami! kok pipi Wandri yang dijewer?!" rintih Wandri.


"Beda ya yang udah jadi milyarder. Apalagi bentar lagi 'minggu pembersihan' udah pasti aman dia," ujar Novi.


"Eh iya, 'minggu pembersihan' tahun ini pada mau sembunyi di mana?" sahut Novi yang terkejut dengan dua kata yang ditakutinya itu.


"Nggak tau, laki gue lagi keluar kota. Anak-anak gue nginep di rumah pembantu gue," keluh Mbak Anies.


"Di rumah aku aja, Bu. Ajak Mey sama Rias sekalian. Kemaren aku minta bantuan bapak kos buat pasang pintu besi. Sekarang semua kamar udah dipasang. Tetangga lain juga udah pada nyiapin perbekalan seminggu." Novi menyarankan.


"Yaudah liat nanti aja deh."


"Ngomong-ngomong, Sandi masih di Bandung, Bu?" tanya Novi pada Mbak Anies.


"Iya, adeknya kan lagi kelulusan di Bandung."


"Terus minggu pembersihan ini dia sembunyi di sana? bukannya malah bahaya ya kalo dia sembunyi di hotel?" sambung Della.


"Nggak tau juga gue. Mungkin nginep di rumah sodaranya atau dimana tau."


Minggu pembersihan adalah sesuatu yang ditakutkan bagi para karyawan kantor itu. Terlebih Wandri yang harus kehilangan kakak laki-lakinya empat tahun lalu, yang lehernya tergantung oleh ususnya sendiri di gapura kompleks perumahan tempat tinggalnya. Isi kepalanya pun terburai dan kedua bola mata menggantung keluar. Bayangan mengerikan yang selalu saja mampir di tidur malamnya.


Sesuatu yang sudah lama dilupakannya kini hadir kembali. Kali ini entah apa yang akan terjadi. Apalagi bosnya memilih berlindung di luar kota, di resort pribadinya. Tanpa sedikitpun memikirkan nasib para karyawannya sendiri menjelang minggu pembersihan.


.


(Meanwhile Sandi...)


Sandi masih termenung di bangku tamu. Acara kelulusan yang baru saja berakhir, seolah dianggapnya sebagai angin lalu. Sekawanan manusia yang lalu lalang di sekelilingnya, dianggapnya tak lebih dari hembusan daun yang tertiup angin. Bahkan sedikitpun ia tidak menggubris adik perempuan di sampingnya yang sedari tadi berbincang panjang lebar dengan teman-temannya. Termasuk saat berfoto, wajahnya masih sama, datar, lesu, abu-abu. Seolah rohnya sedang mencoba keluar dari ubun-ubun, dan baru tertahan setengahnya.


"Kakak kenapa?" Fio mencubit pipi kakaknya yang masih melamun.


"Ng-nggak, cuma khawatir aja soal malam nanti."


"Kan kita udah setuju mau sembunyi di rumah Tama seminggu ini. Kita semua pasti aman, kok."


Sandi terdiam lagi, ada semacam keluh kesah yang ingin disampaikannya. Namun rasa sayang pada Fio membuatnya takut, bahwa isi hatinya hanya akan membuat adiknya itu semakin khawatir.


"Iya, kalian semua bakalan aman kok," ujarnya menatap lekat-lekat mata Fio.


"Kita, Kita semua bakalan aman." Fio mengkoreksi kalimat kakaknya sembari mencubit dagunya.


Sandi memaksakan senyumnya. Tak ingin sesuatu yang menghantui pikirannya empat tahun silam, membuat rasa tenang adiknya seketika hancur. Meski ia tahu, selama seminggu kedepan, segala kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Tidak, Sandi sudah bulat untuk merelakan segalanya jika sesuatu yang buruk terlanjur terjadi.


Para tamu acara wisuda sudah sepi. Sandi dan Fio pun berangkat mengendarai mobil, menuju rumah milik teman Fio. Tempat yang akan menjadi bunker pertahanan mereka selama seminggu penuh. Dilihatnya awan mendung semakin berarak di atas angkasa sana. Seolah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi di Jakarta dan sepanjang Jawa Barat minggu ini.

INDONESIAN PURGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang