PART 7

3 0 0
                                    

(Meanwhile Wandri)


Entah sudah berapa lama van ini berjalan. Terasa seperti sudah berhari-hari bagi Mbak Anies, yang sampai saat ini masih sibuk komat-kamit melafalkan ayat suci, demi menenangkan kedua anaknya. Danti dan Iqbal masih terlalu kecil untuk mengalami trauma hebat dari kesadisan orang-orang di minggu penuh kematian ini. Di sekelilingnya, pria-pria bertopeng ini masih sibuk menghisap rokoknya masing-masing. Sesekali asap rokok itu dihembuskannya ke wajah Mbak Anies dan anak-anaknya. Sekumpulan makhluk biadab.


Wandri membuka matanya yang masih berkunang-kunang. Tubuh lemahnya terbaring tak berdaya, begitu juga rambutnya yang acak-acakan dan kacamata yang pecah. Pikirannya masih tidak menyadari bahwa helai pakaiannya sedikit terbuka, dan pria-pria di sekelilingnya mulai meneguk ludah mereka sendiri kala menatap paha putih itu. Benar-benar tindakan yang salah."Bangun juga lu, akhirnya." Salah satu pria itu kini mendekati Wandri. Disusul pria-pria lainnya. Wandri mulai tegang, darahnya berdesir di tiap-tiap kulit sintalnya yang kini mulai digerayangi tangan-tangan kotor mereka.


Wandri hanya bisa menangis. Sekujur tubuh dan pita suaranya terlalu lelah dan sakit untuk bisa berontak. Bak kawanan serigala gunung yang tengah mengepung seekor rusa, sebagian orang-orang bertopeng ini mengerumuni tubuh lemah Wandri. Sepasang tangan mereka menelusup ke dalam rok selututnya. Dengan satu tarikan, mereka melepas celana dalam putihnya. Pangkal paha itu kini hanya tertutup rok yang mulai robek. Kembali Wandri sesengukan menatap beberapa dari mereka yang mulai melepas celana masing-masing, menyadari bahwa orang-orang gila ini akan segera merampas mahkota yang ia jaga selama ini.


"Udah lo diem aja! Sakitnya cuma bentar! nanti juga lo keenakan sendiri," ejek salah satu dari mereka yang disambung gelegak tawa yang lainnya.


"Lo betiga diem! atau gue gorok?!"


Salah satu dari mereka menodongkan pistol dan golok langsung ke arah leher Mbak Anies. Ibu muda itu ikut berlinang air mata. Menyaksikan bulan-bulanan yang diterima sahabatnya, dan trauma hebat yang dialami dua darah dagingnya yang masih dibawah umur. Posisinya yang terpojok memaksanya untuk tetap menahan diri jika tidak ingin berakhir seperti Della dan Novi.Kawanan setan bewujud manusia ini sudah tidak sabaran lagi. Mereka mengerumun dengan kasar, membuat mobil yang sedang ngebut ini bergoyang-goyang.


"Woy jangan banyak gerak! oleng nih mobil!" maki si supir.


Namun baru saja salah satu dari mereka mencoba menindih tubuh mungil Wandri, tiba-tiba... .BRAK!!!


***


Wandri membuka matanya. Pandangannya yang kabur selama beberapa saat, kini mulai terfokuskan. Dilihatnya Mbak Anies, Danti dan Iqbal mencoba bangun sekuat tenaga. Saat ia melihat sekelilingnya, tidak ada siapapun, dan semuanya berantakan. Van ini terbalik.


Dari balik kaca jendela yang pecah, ia melihat keluar mobil. Orang-orang yang tadi mencoba memperkosanya, kini terlibat baku tembak melawan sekumpulan orang yang keluar dari sebuah truk. Bagian depan truk itu terlihat remuk. Menyadari bahwa truk itulah yang menabrak van ini, Wandri merasakan satu kesempatan.


"Mam, kita keluar dari sini diem-diem," bisik Wandri yang dibalas anggukan.


Melalui pintu belakang yang terbuka, Mereka berempat keluar dari van. Wandri mengedarkan tatapannya ke sekeliling sisi jalan. Semuanya sawah dengan padi yang sudah meninggi, di ujung sana terdapat barisan pohon yang menjulang. Mereka berempat menelusup ke dalam sawah dengan tubuh membungkuk, selagi kawanan penculik itu sibuk dengan pertempuran mereka.Mereka berempat sudah masuk ke dalam pepohonan. Saat Wandri menoleh kebelakang, ia melihat salah satu penculik itu menatapnya.


"Woy! tuh orang kabur ke hutan!"


"Ayo tangkep!"


Spontan, Mbak Anies menggendong Iqbal, sementara Wandri menggandeng tangan Danti. Secepatnya mereka masuk lebih dalam ke hutan. Langit mulai membiru, namun area hutan itu masih begitu gelap. Tanpa terasa, mereka masuk ke sebuah pemukiman padat yang sangat sepi. Mereka berempat terus berlari tanpa mempedulikan gelimpangan mayat yang mereka temui.Tiba-tiba mereka berpapasan dengan empat orang wanita, dan satu orang ikhwan pesantren yang memegang AK-47.


"Mbak Anies, Kak Wandri?! kalian ngapain di sini?!" Ternyata dua orang diantara mereka adalah Mey dan Rias.


"Alhamdulillah, ketemu kalian juga," spontan Mbak Anies memeluk Mey penuh haru. Lega rasanya saat ia bertemu dengan salah satu orang yang ia kenal baik di antah berantah. Kala itu Mey tengah menjemput seorang wanita yang ternyata adalah ibu lurah yang sempat terjebak di ujung pemukiman tersebut.


Semuanya mulai tergidik. Rombongan penculik itu mulai mendekat. Mereka kini berlari cepat menyusuri jalan-jalan kecil diantara rumah-rumah yang memadat di kanan kiri. Setelah sepuluh menit berlari, mereka akhirnya tiba di sebuah masjid. Bagian atap dan sekeliling masjid itu dijaga ketat oleh orang-orang bersorban. Secepatnya mereka berlari menyambar masjid itu, terlebih Mey yang berlari sembari melambai-lambai ke arah mereka.


"Ayo cepet! Masuk masuk!" teriak salah seorang pria berpeci.


Mereka semua sukses masuk ke dalam ruangan masjid yang kini dikunci rapat. Bersamaan dengan itu, rombongan penculik tiba di area depan masjid. Tanpa ba-bi-bu, para pria bersorban itu memberondong timah panas senapan serbu mereka, ke arah para penjahat yang bahkan belum sempat mengarahkan senapan mereka ke arah masjid. Semua orang-orang jahat bertopeng itu, tewas seketika.


Para bapak-bapak dan ibu-ibu pengajian mengerumuni Mbak Anies dan Wandri. Sebagian dari mereka mengambil kotak P3K, sedangkan sebagian lagi membawakan bubur ayam hangat dan sebaskom air panas.


Mbak Anies dan Wandri bernapas lega, pagi ini mereka berhasil lolos dari maut. Meski mereka sadar, orang-orang yang mereka cintai tidak seberuntung itu. Meski mereka sadar, masih ada lima malam lagi yang harus dilalui.

INDONESIAN PURGEWhere stories live. Discover now