Part 2

8 0 0
                                    

(Meanwhile Apay)


Seperti halnya fasilitas-fasilitas untuk warga sipil dan kantor-kantor pemerintahan. RSUD Kalideres kini dijaga ketat oleh sekawanan 'freelance militia' dan beberapa orang yang sukarela mengangkat senjata demi melindungi para pasien. Aparat kepolisian dan tim-tim khusus penegak hukum, semua diliburkan menjelang minggu pembersihan. Dan tentu saja, hanya sedikit dari mereka yang bersedia melindungi warga sipil diluar jam kerja secara cuma-cuma. Selebihnya memilih untuk berlindung di rumah bersama keluarga, ataupun bersiap turun ke jalan bak setan-setan yang tengah menunggu malam halloween.


Apay masih duduk manis di ruang tunggu. Kedua tangannya masih sibuk membolak-balik isi map sembari menunggu Mang Heru, rekan kerja senior sekaligus pamannya. Beberapa hari terakhir, mereka disibukkan dengan tugas pengadaan cetakan dokumen-dokumen rumah sakit dan pengadaan alat-alat medis.


"Udah semua, Pay?" Mang Heru datang dari arah koridor.


"Udah, Mang. Kita mau langsung ke mana?" Apay pun buru-buru memasukkan map itu ke dalam tasnya.


"Langsung aja kita balik ke Babelan. Mumpung rute Pantura masih aman."


"Nggak jadi kita berlindung di sini? Udah setengah lima ini, Mang."


"Udah langsung aja, toh minggu pembersihan gek mulainya jam delapan malem nanti."


Apay pun langsung menurut. Mereka kini mengayunkan sepasang kaki mereka menuju halaman parkir mobil. Sebenarnya mereka sudah ditawari pihak rumah sakit untuk menginap selama seminggu, namun Mang Heru menolaknya karena masih ada istri dan dua anaknya yang harus dilindungi.


"Itu yang di kantor sama di pabrik, gimana Mang?" Apay melanjutkan obrolan kala mereka sudah duduk nyaman di jok depan.


"Tau dah, ada yang balik, ada yang sembunyi di tempat lain kayak si Sandi. Si Jabir noh sama Marjun sama anak-anak lain pada diem di pabrik. Disuruh Pak Trisno jagain pabrik, takutnya malah banyak warga yang ngejarah di sana."


"Terus yang di kantor, Mang?"


"Mbak Anies sama yang lain di kantor denger-denger mau sembunyi di rumah Novi atau Della, tau dah. Pak Umar ikut Pak Tejo, Reza sama Pak Uud ke pengeboran minyak."


"Jadi cuma pabrik doang yang masih ada orangnya?"


"Kayaknya mah."


Apay tertegun menatap suasana jalan di luar kaca mobil. Sisi samping jalan tampak macet oleh orang-orang yang ingin meninggalkan pusat kota demi bisa berlindung di desa-desa yang sepi. Di trotoar, beberapa gelandangan dan pemuda-pemuda berjaket hoodie gelap nampak sudah menyiapkan senjata tajam kecil dari balik pakaian mereka. Tentu saja Apay melihatnya meski mereka berusaha sembunyi-sembunyi.


Mang Heru yang sibuk menyetir pun memfokuskan penglihatannya. Mendelik ke arah seorang gembel dengan raut seringai menyeramkan tengah memegang kardus dengan tulisan serba merah darah.


"BERTAUBATLAH! MINGGU INI AJAL KALIAN TIBA!"


.


(Meanwhile Bang Jabir)


Area sekitaran pabrik percetakan begitu kuat akan semerbak aroma-aroma kebengisan, dari anak-anak dan para pejalan kaki yang dengan entengnya membawa badik dan revolver. Seolah menunjukkan bahwa mereka sudah tidak sabar lagi menunggu jam delapan malam. Pun, para pegawai pabrik percetakan itu juga sudah mempersiapkan diri sejak tiga hari lalu.


Bang Jabir masih mengelilingi tiap-tiap sudut ruangan. Semua mesin sudah dirantai, semua pintu, jendela, dan pipa udara sudah dipasangi terali besi. Pegawai-pegawai lain pun sudah dipersenjatai dengan AK47 dan Uzi demi melindungi pabrik yang akan menjadi benteng mereka. Sejak NFFA menguasai Indonesia, senjata-senjata illegal jadi lebih mudah untuk diimpor via jalur laut ataupun udara. Bang Jabir sendiri membeli AWM dari rekannya yang seorang pemasok di Surabaya.


Bang Jabir mampir di sebuah ruangan. Dllihatnya Marjun tengah latihan kickboxing dengan sebuah samsak besar bergambar wajah Presiden Irham.


"Tangan kosong doang gak bakalan cukup, Jun. Orang-orang diluar nanti bakalan pake senjata semua," ujar Bang Jabir.


"Fisik itu yang terpenting, Bang. Kalo badan lembek, nggak bakalan kuat bawa senjata berat." Marjun berujar sembari menoleh ke arah M2 Browning yang sudah terisi peluru di pojok.


"Itu elu dapet dari mana?" Bang Jabir mengarahkan sinar senternya ke arah senjata mesin berat itu.


"Pak Ucup yang minjemin."


"Yang biasa nyediain plat cetakan?"


"Yep"


"Tumben dikasih."


"Dipinjemin doang Bang."


Bang Jabir hanya mengangguk. Suasana pabrik percetakan itu sengaja dibuat gelap. Dan semakin gelap kala awan langit yang semula putih keperakan, kini berubah tebal, kelabu, dan makin menghitam. Matahari semakin terseret ke sisi barat. Suasana di atas langit terasa seolah predator-predator terbang tengah keluar dari sarangnya masing-masing.


Bang Jabir sadar dalam kediamannya. Ia harus bersiap-siap untuk takdir yang mungkin akan datang padanya minggu ini.


INDONESIAN PURGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang