Episode 9 Percikan Kesenangan

70 20 0
                                    

Tangan Arka gontai menyerahkan benda pipih berwarna hitam itu kembali ke pemiliknya. Kepalanya tertunduk, sementara helaan napas berat terus terdengar dari bibir. Berapa populasi orang Surabaya yang menonton TV9? Mungkin hanya puluhan ribu. Namun, ia tahu dari sekian ribu orang itu, ada satu orang yang menonton acara ini secara rutin dan Arka tidak suka fakta itu.

"Mas Arka nggak papa, Mas?" tanya Mesa dengan dahi berkerut dan raut wajah cemas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Mas Arka nggak papa, Mas?" tanya Mesa dengan dahi berkerut dan raut wajah cemas.

"Nggak papa, Mbak. Saya belum mati juga karena malu," aku Arka jujur, yang anehnya malah menerbitkan tawa di bibir gadis di hadapannya. Lelaki itu meradang dan melemparkan lirikan tajam ke arah Mesa, yang segera menutup mulut dengan tangan.

"Maaf, Mas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Maaf, Mas. Apa Mas Arka mau jalan-jalan di pantai depan situ bentar? Janji, nggak bakal ada tuak-tuakan lagi." Mesa mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V. "Saya traktir kopi atau soda aja nanti di restoran hotel kalau mau minum."

Arka bungkam. Bahkan menyeret kakinya untuk kembali ke kamar dan merenungi nasib buruknya pun ia tak punya tenaga. Akhirnya, ia pasrah saat Mesa menggamit lengannya mengarahkan lelaki itu ke pantai yang tak jauh dari teras hotel.

Setelah beberapa langkah, Mesa melepaskan tangan Arka, kemudian mengomentari pemandangan pantai malam itu yang terlihat sangat indah. Lampu-lampu yang menerangi daerah tersebut semakin menambah kecantikannya, berbanding terbalik dengan hati Arka yang muram.

"Anginnya tapi mayan kenceng juga kalau malam. Tadi pas kita take gambar di sini juga sempet keganggu angin, sih. Tadi Mas Arka sempet jalan-jalan ke sini kan, ya?" Mesa terus saja berceloteh meskipun lelaki di sebelahnya sama sekali tak menanggapi. Namun, Arka sebenarnya berterima kasih kepada gadis berambut gulali itu, karena ocehannya mampu menutupi situasi Arka yang serba canggung dan penuh kesedihan.

"Sebenarnya ... kemarin aku dapet tuak dari mana sih?" tanya Arka menghentikan cerita Mesa. Langkah mereka terhenti, dan suara cempreng gadis itu berganti dengan deburan ombak yang memecah daratan dengan syahdu. "Aku udah coba inget-inget, tapi sama sekali nggak bisa."

"Jadi pas kita mau ke hotel tempat rombongan Bu Sekar itu, mobilnya mogok. Tapi Mas Arka ketiduran pules banget. Aku telepon anak-anak, yang lagi cari spot untuk live report katanya deket situ, ya udah aku suruh jemput. Aku udah telepon Bu Sekar dan bilang bakal nyusul besok pagi. Ya udah, pas anak-anak dateng, aku bangunin Mas Arka, buat ganti mobil. Tapi mungkin karena Mas masih ngantuk, kayaknya ya iya-iya aja."

Kebiasaan buruk Arka saat tidur memang benar-benar membuatnya tidak suka bepergian. Karena jika ia sudah terlelap, ia kadang susah dibangunkan atau kalau sudah bangun tapi masih terserang kantuk, ia tidak akan ingat jika sedang diajak ngobrol atau melakukan sesuatu. Lelaki itu menghela napas lagi.

"Abis itu, kita sampai di lokasi live report. Ada yang bagian ngambil gambar dan nyusun bahan, sementara aku, Ucok dan Rangga duduk-duduk aja nongkrong sambil nungguin. Ucok emang bawa miras, katanya mau nyobain tuaknya Lombok gitu. Tiba-tiba Mas Arka bangun, ikutan duduk sambil setengah merem. Kita ajak ngobrol, Mas Arka nyahutin biasa gitu. Kita ngobrol santai sampai Ucok yang mungkin udah setengah teler, nantangin Mas Arka buat nyoba tuak."

Sisanya, tanpa Mesa menjelaskan pun, Arka sudah bisa menyimpulkan dari serangkaian video yang sudah ia lihat. Jemarinya menggaruk kepala, seolah berusaha menyingkirkan rasa gatal padahal sejatinya ia menutupi betapa geramnya dirinya karena kejadian memalukan ini.

"Mas Arka nggak usah malu lho, Mas." Mesa menyentuh bahu Arka dengan lembut. "Cerita cinta setiap orang memang berbeda, tapi aku yakin, kita semua pernah mengalami patah hati karena gagal dalam suatu hubungan. Kadarnya memang tak sama, tapi semua orang pernah mengalami rasa sakitnya."

Arka mengusap wajah dengan kedua tangannya, sembari mengembuskan napas berat. Ia hanya menggumam samar atas komentar Mesa, tetapi tak memberikan tanggapan lebih lanjut.

"Gimana kalo Mas Arka teriak di sini, ungkapin semua kekesalan Mas Arka sama mantan, biar hatinya Mas Arka lega?"

Lelaki itu menoleh seraya mengangkat sebelah alisnya. "Maksudnya? Mbak Mesa nyuruh aku bikin onar lagi?"

Gelengan kepala tegas segera diberikan Mesa. "Bukan. Toh, situasi pantai ini lagi sepi. Dan teriak-teriak di pantai tuh suaranya nggak terlalu jelas karena bakal kebawa angin. Anggap aja ini kayak pelampiasan Mas Arka, agar membuang semua perasaan negatif jauh-jauh, kemudian membuka lembaran baru."

Kedua tangan Arka terangkat. "Nggak, nyerah deh. Aku nggak bakal ngelakuin hal gila kayak gitu lagi. Kemarin aja udah cukup, Mbak."

"Mesa aja manggilnya, kan udah aku bilang aku lebih muda dari Mas Arka," protes Mesa dengan bibir mengerucut.

"Iya, Mesa. Aku nggak mau ngelakuin itu lagi, oke?"

"Kan kemarin Mas Arka mabuk, jadi nggak sadar. Jadi feelnya masih ngendap gitu lho, Mas. Coba sekarang lakuin. Pasti di sini." Mesa menyentuh dadanya kemudian melanjutkan, "semua beban yang ada di sini, bakal sirna pelan-pelan. Lega."

Bibir Arka melengkung samar, tetapi ia tetap menggeleng. Mesa menghela napas, kemudian dengan cepat ia meraup air laut dan memercikkannya kepada Arka. Lelaki itu sontak terkejut dan berusaha menghindar, tetapi beberapa tetes air telah membuat pola di kemejanya.

"Apaan sih?" seru Arka heran. Namun, gadis berambut gulali itu tak berhenti mencipratkan air laut kepada Arka sembari tertawa keras. Karena geram, Arka membalas perbuatan Mesa itu.

"Udah sampai laut nggak main air, rugi lho Mas!" timpal Mesa di sela-sela tawanya. Kemudian ia menangkupkan kedua tangan di depan bibir dan berteriak, "Dasar sialan!"

Arka terlonjak kaget, dengan mata membelalak. "Hah? Kamu ngapain?"

"Teriak aja, nggak ada yang kenal kita di sini. Daripada jadi beban dalam dada, nyesek."

Bola mata lelaki itu berputar. Ia sudah cukup dengan kegilaan yang menyerangnya semenjak berada di sini. "Nggak, makasih."

Mesa terus-terusan berteriak menyerukan kalimat-kalimat makian, kadang tertawa, dan masih mencipratkan air kepada Arka yang sudah basah kuyup. Hingga di suatu titik, ada dorongan dalam hati lelaki itu untuk meniru apa yang dilakukan Mesa. Pikirannya terus berkata, "Lakukan saja, tidak ada yang tahu kamu di sini."

"Dasar cewek plin plan!" teriak Arka kencang, sampai gadis di sisinya menatapnya heran. Namun, raut wajah Mesa berganti dengan ekspresi senang saat lelaki itu kembali berseru, "Kamu cewek egois, Luna! Kamu cuma mikirin kesenanganmu sendiri! Kudoain bakal ada ujan gede di nikahanmu nanti! Kamu udah buang-buang waktuku selama ini!" Lelaki itu kemudian meneriakkan makian dalam bahasa Jawa dengan kencang.

"Wow!" respons Mesa dengan kagum. Gadis itu bertepuk tangan setelah Arka menuntaskan teriakannya. "Nggak nyangka aku, kalau Mas Arka bisa misuh juga."

Arka menoleh dengan satu alis terangkat. "Aku juga nggak nyangka. Ini yang pertama kali." Lelaki itu tertawa lepas, merasa lega dengan apa yang sudah ia katakan selama ini. Mulut Mesa menganga tetapi ia ikut tertawa setelahnya. Mereka kembali bermain air hingga tak ada sehelai kain yang kering yang menempel pada badan mereka.

*episode9*

Duh kangen mantai lagi nih. Ada yang hobinya ke pantai? Kalo kalian ke pantai, biasanya ngapain, Kels?

travelove (Diterbitkan oleh Karos Publisher)Where stories live. Discover now