Episode 22 Tersadar

69 13 4
                                    

"Kamu sinting, Ka. Si cewek itu berhasil bikin kamu manut aja kayak kerbau! Percuma dong aku susah payah bikin kamu pergi kalau akhirnya hanya karena Luna nyusulin kamu ke Lombok, kamu jadi balikan lagi sama dia?" semprot Robbie ketika akhirnya Arka telah kembali kepada rutinitasnya.

"Masalahnya aku bingung, Rob. Dia datang gitu aja. Aku bahkan nggak ngerti apa yang dia omongin sebenarnya." Kedua tangan lelaki berkacamata itu saling bertaut. Matanya menerawang ke arah dinding kaca sebuah kafe, tempat mereka biasa bertukar pikiran saat makan siang.

Robbie terkekeh. "Kamu emang terlalu baik atau terlalu goblok, sih? Kalau matamu nggak buta, jelas-jelas dia tersentuh karena pernyataan cintamu di stasiun tivi yang norak itu!"

"Maksudnya? Gara-gara itu, dia batalin pernikahan super mewah, super megah dengan Leo Tanudja?" Kali ini, Arka tak bisa mengatupkan bibirnya. Kenyataan itu terlalu aneh untuk bisa dipercaya.

"Luna itu cewek caper. Mungkin dia lagi hectic ngurusin pernikahan, ribut. Biasalah katanya calon manten selalu ada masalah sebelum hari H. Nah, pas dia lagi stres, dia lihat kamu. Yang masih cinta mati sama dia. Terus mikir, kayaknya Leo udah nggak perhatian lagi sama aku nggak kayak si Arka. Ya udah, aku ke Arka lagi aja." Robbie memaparkan semuanya seraya menggerakkan tangannya. "Dan kamu terlalu bego untuk menerima dia lagi, setelah dia ninggalin kamu gitu aja. Aku yakin, nanti kalau sudah mulai tenang, dia bakal luluh sama Leo atau cowok-cowok kaya yang bisa muasin hasrat dia."

Mendengar perkataan Robbie, bibir Arka segera terkatup rapat. Benar juga. Mengapa ia tidak bisa berpikir logis saat di Lombok waktu itu? Ia bahkan tidak bisa menolak Luna yang mengajaknya pulang dengan pesawat dua hari kemudian setelah mereka menghabiskan waktu di hotel dan mengunjungi pantai serta pusat perbelanjaan. Pikiran Arka terlalu keruh untuk bisa memberikan nama atas status mereka saat itu. Atau apa yang Arka inginkan dari Luna begitu sebaliknya.

Namun, selama dua hari itu, Arka tidak merasakan antusias atau kegembiraan seperti saat bersama Mesa. Mereka berdua bagaikan bumi dan langit. Saat Mesa berbicara, Arka merasa ingin gadis itu terus dan terus bercerita, berbagi pikiran dan pengalaman yang tak ada hentinya. Arka juga bebas bercerita mengenai dirinya, tanpa takut dicap jelek, cupu atau nggak mutu. Sementara saat bersama Luna, lelaki berkacamata itu hanya melakukan apa yang dimau oleh gadis itu. Arka harus begini dan begitu. Hingga lelaki itu merasa ruang geraknya jadi terbatas dan sempit.

Pembatalan pernikahan Luna dan Leo menjadi headline di semua surat kabar, mengingat betapa kuatnya pengaruh keluarga Tanudja. Hal ini ikut membuat Arka menjadi gelisah. Mungkinkah Leo akan mengejar dan menghajarnya jika tahu bahwa Luna kini kembali padanya?

Kepala Arka terasa berat. Masalah ini terasa ruwet bahkan untuk seseorang yang sederhana sepertinya. Ia hanya mendambakan kehidupan santai yang tidak muluk-muluk, bukan sesuatu yang rumit seperti saat ini. Yang pasti, semakin lama, semakin ia memikirkan hal ini, semakin ia merindukan Mesa. Bagaimana gadis itu mendengarkan ceritanya yang membosankan. Juga bagaimana Mesa akan tertawa dan mengejeknya saat lelaki itu galau. Mesa yang begini, Mesa yang begitu. Di kepalanya, selalu muncul bayangan seseorang dengan rambut gulali yang selalu tersenyum padanya.

Rumah adalah seseorang yang kita rindukan ketika kita jauh darinya. Mendadak saja, menyempil perkataan Mesa di dalam benak lelaki berkacamata itu. Arka merasa Luna adalah rumahnya, tetapi mengapa ia tidak merasakan ketenangannya sekarang? Saat dipikir-pikir, saat bersama Luna pun, Arka hanya merasa bahagia dan tersanjung karena gadis sepopuler itu bisa memilihnya dari sekian cowok populer yang menggilai gadis itu.

Sepulang kerja, Arka yang ingin segera pulang dan beristirahat, harus rela menghabiskan waktunya untuk menunggui Luna belanja. Gadis itu mendadak muncul di kantor begitu saja seperti angin topan, membuat teman-temannya yang sebelumnya hanya tahu Arka sudah putus cinta terbengong-bengong. Namun, kekaguman teman-temannya tidak menerbitkan perasaan apa pun lagi dalam hati lelaki berkacamata itu. Ia hanya lelah.

Luna tak henti-hentinya bercerita mengenai betapa ia senang karena sudah lepas dari tekanan keluarga Tanudja, yang selama ini mendidiknya untuk menjadi menantu yang sempurna. Lengannya memeluk Arka erat, seraya dengan langkah riang memasuki satu gerai ke gerai yang lain untuk melihat-lihat gaun atau tas terbaru.

"... aduh, aku bete deh sama Rere, dia tuh suka pamerin barang-barang branded, padahal nggak penting banget. Sumpah, aku sampe pengen nunjukin kalau tas dia tuh nggak ada apa-apanya sama tas Channel punyaku hadiah dari Leo kemarin. Sok sosialita banget."

Lamat-lamat, seperti ada seseorang yang membunyikan gong dalam benak Arka, lelaki itu terkesiap. Ia tersadarkan oleh sesuatu. Kini, gadis ayu di hadapannya ini tak lebih dari seekor rubah licik yang tak punya hati. Lelaki itu menghela napas, kemudian melepaskan cekalan Luna dari tangannya.

"Luna. Aku capek, mau pulang." Lelaki itu menatap tajam ke arah mata sayu milik Luna yang kini membelalak.

"Oh, oke. Tapi kita makan dulu, kan? Aku udah laper nih. Capek juga keliling-keliling belanja."

"Iya, aku laper dari tadi, tapi kamu mana pernah peduli, sih?" cetus Arka begitu saja. Ia kini seolah seperti seseorang yang lepas dari jerat hipnotis. Kesadarannya seakan muncul menyeruak begitu saja. "Aku pulang. Silakan kalau kamu mau makan atau belanja. Telepon Leo aja kalo kamu capek."

"Ta, kok kamu gitu ngomongnya?" Dalam sekejap, ekspresi lembut yang biasa menghiasi wajah gadis itu berubah menjadi cemberut. "Aku kan udah putus sama Leo. Gimana sih?"

"Dan kita juga udah putus, Luna. Enam bulan ... salah. Tujuh bulan yang lalu. Kamu lupa? You threw my ring straight to my face. Aku nggak akan pernah lupa." Mengatakan hal ini sungguh membutuhkan nyali, tetapi Arka mengepalkan tangan demi mengumpulkan niatnya. Ia mengutuk kemampuan otaknya yang sungguh butuh waktu lama untuk sadar, juga menyusun kata-kata untuk menjernihkan hubungannya dengan Luna.

"Tapi ... tapi kita kan udah balikan, kemarin pas di Lombok?" Luna tergagap-gagap kebingungan.

Arka mendengkus. "Kata siapa? Aku nggak bilang apa-apa. Kamu seperti biasa yang selalu memutuskan apa dan gimana, kayak keputusanku nggak ada artinya. Aku udah biasa nurutin kamu, Lun. Kali ini nggak."

"Tata! Kamu masih marah sama aku? Ya, nggak papa, kamu boleh kok marah-marah. Aku tahu aku salah. Tapi bukan berarti kamu bisa kayak gini ke aku!" Kaki Luna mengentak-entak dengan kesal.

"Kayak gini apa maksudnya? Ngasih ketegasan? Ngasih jarak? Iya aku minta maaf, karena aku telat sadar. Tapi jujur aja, Luna. Aku nggak ada niatan buat balikan lagi sama kamu. Aku mau mengejar impianku sendiri." Arka menghela napas. Ia merasa beban berat yang selama ini mengungkung dadanya seakan terlepas hingga ia bisa bernapas lega. "Aku ... nggak bisa balikan lagi sama kamu. Maaf. Mending kamu cari orang lain yang bisa ngasih semua yang kamu pengen. Tapi kali ini, aku mau menuruti keinginan hatiku sendiri. Dan nggak ada kamu lagi di sana."

*tamat*

Alhamdulillah, finally cerita ini bisa kuselesaikan juga. Butuh waktu 9 bukan cuy 🤣🤣🤣

Padahal ceritanya ya simpel, dan pendek juga. Nggak panjang-panjang kayak cerita Wattpad yang lain.

So, Terima kasih sekali lagi, Keliners, udah membersamaiku sampai cerita yang ke sekian. Semoga kalian menyukai cerita ini.

Komen juga dong apa yang bikin kalian suka cerita ini dan rela nungguin updatenya. Dan siapa karakter favorit kalian.

Oke, sampai di sini dulu ya. Sampai ketemu lagi di cerita berikutnya.

Love,
DhiAZ

travelove (Diterbitkan oleh Karos Publisher)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ