Episode 16 Sesuatu yang Aneh Mulai Terasa

46 14 0
                                    

Arka menggaruk rambut gelisah, sementara ponselnya tak kunjung berhenti berdering. Robbie di sebelahnya tampak jengah dan jengkel.

"Blokir aja, Ka. Udah. Dia udah ninggalin kamu setelah perjuanganmu selama ini. Bahkan niat baikmu melamarnya juga ditolak. Apa lagi yang kamu harapkan dari Luna?"

Lelaki berkacamata itu tak kunjung menjawab, hanya diam termangu menatap mobil yang berlalu lalang di jalan, dari balik kaca tembus pandang dari sebuah kafe. Kopi di hadapannya masih mengepulkan asap putih tipis, tetapi tampaknya Arka tak berminat menyentuh sama sekali.

"Rob ... aku cuma ...."

Mata Robbie sudah nyaris keluar dari rongganya saat berujar, "Jangan bilang karena dia masih butuh kamu? Kamu itu udah dimanfaatin sama Luna! Dia cuma mau mempermainkan kamu aja, Ka!"

Arka tertegun. "Mungkin aja dia emang butuh aku, Rob. Kita udah pacaran lima tahun, lho!"

"Jangan lupa kalo dia udah mau nikah, Ka! Jangan berharap kamu mau ngajak aku buat ngamuk di nikahan dia, atau mau nyulik dia pas di pelaminan. Aku nggak sudi!" Tangan Robbie menggebrak meja, menyebabkan beberapa pengunjung yang datang menoleh ke arah mereka. Arka mengangguk serta meminta maaf karena sudah membuat mereka terganggu. "Please. Sebodoh-bodohnya kamu dipermainkan sama Luna, jangan lakukan hal yang bodoh sampai ingin membatalkan pernikahannya. Biarin aja dia dengan keputusannya sendiri, Ka!"

Benak Arka melayang ke arah pesan yang dikirim Luna selama beberapa hari ini, yang belum ia balas sampai sekarang. Gadis itu berulang-ulang mengajaknya bertemu, atau menyampaikan bahwa ia merindukan Arka dan ingin membatalkan pernikahannya.

"Napasku sesak, Ta. Aku udah nggak tahan dengan semua formalitas dan aturan ini. Tolong bawa aku pergi, Ta."

Kedua tangan Arka saling bertaut, dengan dahi yang berkerut-kerut. Lelaki itu sungguh bimbang dengan situasi yang ia hadapi sekarang. Hatinya teramat ingin untuk berlari menjemput kekasihnya yang merasa menderita di sana. Namun, bukan tidak mungkin ini hanya cara Luna untuk mencari atensi. Lagipula ... bukankah Luna sudah bukan kekasihnya lagi?

"Aku punya ide. Kamu ikut wisata aja. Sejauh mungkin. Blokir nomer Luna, blokir nomer kita semua. Biar kamu nggak ada niatan buat hubungin dia atau siapapun lagi selama di sana. Aku nggak mau kamu jadi bimbang terus akhirnya bertindak yang aneh-aneh!"

"Aku nggak butuh wisata, Rob. Ngapain sih? Kamu kan tahu aku ini anak rumahan!" Desahan napas berat lolos dari mulut Arka. Ia semakin skeptis dengan ide sahabatnya yang baginya tak menyelesaikan masalah.

Telunjuk Robbie teracung tepat di depan hidung Arka. "Anggap aja cari suasana baru. Kamu harus move on, nggak bisa kayak gini-gini aja. Sebelum si Luna sah nikah sama si Leo itu, jangan pulang. Habiskan waktumu buat liburan. Kamu udah empat tahun nggak ambil cuti."

Bibir tipis Arka melengkung ke atas, sementara matanya sayu menatap kosong ke arah dinding kaca. "Ya kan niatnya aku mau pake cuti itu untuk ...."

"Bulan madu pas kamu nikah sama Luna, kan? Sadar, Ka. Dia aja mau bulan madu sama Leonardo Tanudja, calon suami potensial dan kaya raya, yang bisa kasih apapun yang dia mau!"

"Luna bukan cewek matre, Rob!" tukas Arka ketus.

Robbie terkekeh. "Terus apa alasan cewek itu mutusin kamu dan nggak pake lama langsung nikah sama Leo? Kamu nggak lihat, undangan pernikahannya aja ditaruh koran, bahkan mau ditampilin live di televisi! Kurang mewah apa lagi? Udah cocok banget itu. Pernikahan impian. Luna bisa dapetin semua perhatian yang dia mau."

Omongan sinis Robbie terasa menusuk di dalam hati sahabatnya, tetapi di satu sisi ia merasa hal itu ada benarnya. Perlahan, tangan Arka meraih cangkir dan menyesap minumannya, berharap kegundahannya bisa sirna. Namun nihil. Lelaki berkacamata itu makin terjerat dalam kebingungan.

"Aku tahu kamu pasti nyalahin Luna. Tapi, dia beneran bukan cewek matre, Rob. Selama sama aku, dia nggak pernah minta-minta yang aneh." Setelah mengucapkan itu, lidah Arka terasa kelu. Bisa saja selama itu Luna menduakan dirinya dengan Leo. Anak konglomerat itu bisa memenuhi keinginan Luna tanpa susah payah. Namun, hatinya masih tidak percaya. Atau mungkin ... ragu mulai menelusup ke dalam benaknya, ia yang memilih untuk tidak percaya dengan semua pertanda buruk yang diberikan alam semesta padanya tentang Luna. Ia menutup mata dan membiarkan sang kekasih yang melukis fakta di dalam kepalanya.

"Kali ini, kamu percaya sama aku. Aku punya kenalan travel. Aku daftarin kamu seminggu. Udah, kamu cukup diam, nggak usah antusias-antusias banget. Ikut jadwalnya aja, go with the flow." Robbie menekan layar ponselnya dan menaruh benda pipih itu di telinga. Tampaknya ia segera menghubungi travel yang dimaksud.

"Rob, nggak usah kayak gini lah ...."

"Luna itu udah cuci otakmu beberapa tahun ini. Aku yakin sebentar lagi dia telepon kamu lagi. Dan kamu pasti luluh lalu kena perangkap dia lagi. Aku udah muak banget. Sekarang, kalo kamu disetir dia kesana ke mari aja bisa nurut, sekarang gantian. Aku yang setirin kamu. Kamu udah diem aja. Aku atur semua. Minggu depan kamu berangkat."

"Ke mana?"

"Emm... Lombok, mungkin? Atau ke luar negeri? Ke mana aja selama dia nggak bisa nyusulin kamu."

***

Saat Arka mengambil tasnya di penitipan, ia menatap layar gawainya dengan masygul. Sudah bisa diduga, Luna telah beberapa kali meneleponnya lagi tadi. Kali ini ia diselamatkan oleh keadaan, di mana ia tidak bisa mengangkat panggilan tersebut. Namun, jika setelah ini gadis itu menghubungi, sanggupkah ia mengabaikannya?

"Mas Arka, ayo! Aku udah telat!"

Buru-buru, Mesa menarik tangan lelaki berkacamata itu, berlari ke arah mobil yang diparkir. Arka memegang erat ponselnya, sembari berdoa dalam hati agar tidak ada panggilan masuk dari kekasihnya. Namun, ketika ia bergandeng tangan bersama Mesa, hatinya tidak terasa nyeri. Wajah gadis itu tampak riang, dihiasi tawa, menyebabkan bibir Arka otomatis ikut menyunggingkan senyum. Lalu sekali lagi, ingatannya kepada Luna kembali samar dan terseret jauh di sudut kepala.

Di mobil, hanya ada canda dan tawa, juga cerita-cerita yang terus bergulir dari Mesa. Arka pun ikut menimpali, juga kadang berkisah tentang pekerjaannya yang biasa saja.

"Kerjaanku sih nggak seru kayak kamu, Mes."

"Ya tiap orang kan punya muse sendiri-sendiri, Mas. Apa benar selama kejra bertahun-tahun di bidang ini, Mas Arka nggak negerasa hepi sama sekali?"

Arka manggut-manggut. "Hmmm. Nggak sih. Dari awal, aku suka banget sama angka-angka. Segala sesuatu yang terukur dan terencana. Sejak sekolah kayaknya, aku suka banget sama akuntansi, matematika. Meskipun temen-temen sekolahku bilang aku tuh aneh. Nerd."

"Emang nerd sih kayaknya sampai sekarang," cetus Mesa seraya menahan senyumannya.

"Iya, aku tahu kok." Cengiran Arka bertambah lebar. "Makanya aku ngerasa aneh ... sampai cewek populer kayak Luna mau sama aku."

Bibir Mesa terkatup. "Tapi kayaknya ... aku tahu sih, kenapa Mbak Luna itu mau sama Mas Arka." Mata gadis itu memindai lelaki berkacamata di sisinya dengan seksama. "Mas Arka kelewat insekyur aja buat tahu kelebihan Mas Arka."

Mata lelaki itu mengerjap. Saat tatapannya bertaut dengan Mesa, ada rasa yang hangat yang menjalari dadanya. Sesuatu ... yang jauh sebelumnya pernah ia rasakan, tetapi sudah lama sekali sampai ia lupa. Namun, mendadak saja, ia memalingkan wajah dan kembali melihat ke arah jalanan. Jantungnya berdebar dan perlahan-lahan ia merasakan pipinya mulai memanas. Hatinya lirih berkata, "Itu ... tidak mungkin, kan? Perasaan aneh apa ini?"

*episode16*

Alhamdulillah, akhirnya bisa update lagi setelah lama banget nggak nulis cerita roman begini. Buat para penyuka ini, harap sabar ya. Kadang mood saya ilang entah ke mana. Mana sekarang nulis thriller, yang beda banget vibesnya. Nah, kalau kalian suka cerita yang kayak gimana? Yang enteng minim konflik kayak gini, atau yang berat-berat macam Nyonya Durjana? Buat yang pengen tahu, bisa ke lapak sebelah ya, sambil nunggu yang ini update lagi.

Nah, kemarin Luna udah mau berangkat tuh. Tapi beneran nyusulin Arka nggak ya? Kira-kira gimana jadinya kalau merek bertiga bertemu? Apakah bakal ada adegan jambak-jambakan?

travelove (Diterbitkan oleh Karos Publisher)Where stories live. Discover now