13 ❗

119 17 9
                                    

〰️〰️〰️

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

〰️〰️〰️

Faridz pov

Aku baru ingat, ternyata hidupku tinggal tersisa beberapa minggu lagi. Aku juga sudah ingat memori masa lalu, kejadian kelam, tragedi mengenaskan, kecelakaan, kesedihan, omong kosong, tidak dianggap, tatapan benci ibu, momen bersama Farel dan koma kemarin. Ternyata, selama ini aku hanya membuang waktu karna lumpuh sialan ini. Maaf, bukan memaki takdir, hanya saja ... ini terlalu berat, dan kenapa harus aku yang menghadapinya? Kenapa takdir ini tak diberikan untuk orang yang sudah melakukan kesalahan besar, seperti mencoba membunuh orang lain. Mereka lebih pantas mendapat kepedihan ini.

Seperti Kay, aku tahu dia mencoba membunuhku, menaruh racun yang akan membuat nyawaku hilang. Entah apa maksudnya dia ingin melenyapkanku. Untung saja, kakek itu membantuku, beliau menghilangkan racunnya dan membuat air itu hanya sekedar air biasa. Menyebalkan, ya? Apa aku harus membocorkan ini? Sepertinya jangan, karna kata kakek, aku harus mengusut kasus Bella terlebih dahulu. Lagian perbuatan jahat dibalas jahat itu salah, aku tak mau menyamaiku dengan dia.

Baiklah, aku hanya akan berpura-pura dan memaafkan Kay sampai aku bisa menemukan dalang dibalik masalah ini. Setelahnya, aku tak akan bertindak seperti pengecut lagi, aku tak akan diam lagi, aku tak akan seperti anak bodoh yang pasrah menerima perlakuan tak mengenakkan.

Sayang, tapi ibu lebih dulu mengenali tatapanku. Dia orang pertama yang sadar jika aku telah sepenuhnya pulih. Lewat tatapanku.

Semua berawal ketika rasa sakitku kambuh beberapa jam setelah meminum air yang diberikan Kay. Panas, tenggorokanku terasa perih dan kering, perutku juga sangat sakit luar biasa, aku meringis pelan. Tapi sepertinya masih terdengar oleh Ibu, dia masih terjaga dan langsung mendatangiku dengan ekspresi cemas.

"Faridz! Apa yang terjadi?!" katanya sambil membangunkanku waktu meringkuk. Aku tak sanggup untuk menjawabnya lantaran hanya ada rasa sakit. Lantas ibu mencari obat pereda nyeri, dia membuka mulutku dan aku menelan pil pahit itu. Mendingan.

Aku bernapas lega setelah rasa sakitnya perlahan sirna, bersama air mata yang ibu bendung, menatapku (lagi). Sepertinya, beliau masih gengsi untuk menunjukkan kepeduliannya padaku. Iyalah, aku bilang begitu karna dia bersikap seperti orang kesetanan mengetahui anaknya sekarat.

"Faridz udah gapapa, Ma, makasih udah nolong," ucapku sembari menunduk, tak berani memandang Ibu.

Aku ditarik masuk ke dalam pelukannya, pelukan hangat yang sempat hilang, pelukan yang terakhir diberikan 4 tahun silam akhirnya hadir lagi dan terasa tulus. Sambil mengusap-usap punggungku, meremat bajuku, dan ternyata ibu sudah menangis.

"Mama kangen kamu, Faridz. Maafin Mama ya? Mama gak bermaksud kayak gitu, Mama gak benci Faridz, Mama cuma ... Ma-"

"Nggak masalah, Ma, Faridz paham, Faridz tau kalo Mama nggak pernah benci sama aku. Faridz tau kalo Mama cuma cape ngejalanin kehidupan, Mama cuma capek sama takdir yang harus Mama tanggung. Aku udah maafin Mama, jadi Mama gak usah ngerasa bersalah, ya? Itu udah masa lalu." Aku menyela ucapan Ibu-pelukannya menguat, air mata ibu makin meleber, meleleh, sampai terjadi aliran sungai kecil di pipinya.

Faridz & Farel [ Chansoo ] ✅Where stories live. Discover now