Cemburu

816 126 10
                                    

"Kalau gue jadi lo, gue bakal cemburu sih."

"Iya, apalagi itu tuh yang tengah. Ganjen banget!"

"Ya kannn!!! Yang itu juga."

Gisa terus menghembuskan nafas ketika dua teman di sampingnya tersebut terus menerus mengkomporinya tentang beberapa perempuan yang terlihat sedang menyemangati kekasihnya dalam pertandingan basket hari ini.

"Ya udah sih."

"Nggak bisa ya udah ya udah gitu dong! Itu cowo lo."

Gisa menoleh. "Ya terus gue harus ngapain? Kan mereka disana cuma mau support tim sekolah kita."

"Cuma support Zello." Tekan Kania.

"Gue liat kok pas Damian megang bola, mereka juga teriak."

"Halah, alasan." Ucap Synthia tak terima. "Lo jangan polos-polos banget kenapa dah."

"Gue?"

Keduanya mengangguk. "Sekali-kali ngamuk gitu." Kania mengangguk. "Trus juga— OH GOD, GISA!!!"

Synthia dan Kania membulatkan kedua matanya. Berbeda dengan Gisa yang terlihat masih tenang di tempatnya, walaupun aslinya ia juga geram.

Salah satu adik kelas yang tadi terus berteriak nama Zello kini sedang mencuri kesempatan untuk menggapai lengan Zello dan memeluknya mesra ketika tim basket tersebut sedang istirahat.

"Samperin, Gis!"

"Hajar, anjir!"

Namun Gisa tetap diam ditempatnya. Ia marah, namun tubuhnya sama sekali tak ingin digerakkan. Ia ingin marah, namun kenapa matanya yang malah memanas?

"Gisa?"

"Gis!"

Dan kakinya kini malah membawanya pergi dari sana. Ia ingin seperti teman-temannya yang berani untuk menyuarakan ketidak sukaannya, tapi tubuh Gisa tidak mau mematuhinya.

Dan yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah... menangis.

Dengan kesendiriannya, ia lebih memilih menangis di sebuh bilik kamar mandi yang sedang sepi dari anak-anak sekolahnya.

Biarkan Gisa sendiri.

Dan biarkan Gisa menangis untuk pertama kalinya karena perasaan yang namanya cemburu.


-


Setelah hampir satu jam menghilang, Gisa akhirnya keluar dari bilik kamar mandi dan mencuci wajahnya yang mulai terlihat tak karuan.

Tubuhnya kaku, kakinya sedikit kram, dan matanya merah sedikit bengkak. Yah, setidaknya hatinya sudah sedikit lebih lega setelah menumpahkan semua emosinya pada tangisan.

Gisa tak sepenuhnya menangis dalam kurun waktu satu jam, karena waktunya lebih banyak digunakan untuk melamun dan menyesali kebodohannya.

Kenapa ia harus menangis? Kenapa ia tak seberani itu untuk memperlihatkan pada adik kelasnya tadi bahwa Zello adalah miliknya?

Kenapa, kenapa dan kenapa?

Kenapa bisa Gisa selemah itu?


Huft


Setelah mencuci wajahnya dan memastikan bahwa dirinya sudah layak untuk dilihat oleh orang lain, akhirnya Gisa memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya.


Tuk


Tubuh Gisa terkejut ketika sebuah benda jatuh diatas kepalanya. Membawa wajahnya mendongak untuk tau apa yang terjadi.

"Lama banget di kamar mandi?"

"Eh." Lagi, Gisa kembali dikejutkan.

Ternyata pelaku dari keberadaan sebuah botol minum yang ditempatkan diatas kepala Gisa adalah Zello. Laki-laki yang satu jam lalu baru saja ditangisinya.

Mata Zello menajam. Dan Gisa yang menyadari hal tersebut segera menyingkirkan tangan Zello dari atas kepalanya dan segera menunduk. "Awas, ayo pulang."

Tubuh Zello menunduk, wajahnya memiring. Namun sayang wajah Gisa tak bisa dilihatnya karena poni tengah yang gadis itu miliki. "Gis?"

"Ayo pulang." Gisa mengulang.

"Coba dongak dulu."

Gisa menggeleng keras. "Nggak mau." Dan setelahnya gadis itu melangkah untuk meninggalkan Zello disana.

"Bentar dulu." Tangan Gisa ditahan. "Lo kenapa?"

Gisa kembali menggeleng. "Nggak papa, udah ah ayo pulang."

Zello tetaplah Zello. Ia tak akan berhenti sebelum kemauannya terpenuhi. "Habis ngapain tadi di kamar mandi?"

"Tidur." Gisa menjawab asal.

"Tidur kok di kamar mandi."

"Zello!" Gisa memekik kaget ketika dengan cepat tubuhnya dibalik dan dagunya di tangkap Zello. Membuat seluruh wajahnya kini sepenuhnya masuk kedalam atensi Zello disana.

Dan benar saja, setelahnya Zello terdiam cukup lama. Matanya menangkap bahwa gadisnya disana baru saja menangis dari mata bengkak yang masih terpatri di wajah cantiknya tersebut.

"Lepas." Sekali lagi, Gisa menyingkirkan tangan Zello. "Jangan natep gue kaya gitu."

Zello masih diam.

"Gue nggak papa." Dan tentu saja Zello tau. Kata-kata itu hanyalah bualan Gisa semata. Mana mungkin seseorang menangis tanpa sebab apapun?

"Gara-gara gue ya?" Suara Zello melembut. Seperti takut akan menyakiti Gisa jika ia tak berhati-hati.

Dengan senyum tipis, Gisa menggeleng. "Ini murni salah gue sendiri kok. Jadi jangan merasa bersalah kaya gitu."


Tuk


Kali ini giliran Gisa yang menyentil dahi Zello karena laki-laki itu terus terdiam dengan raut wajah menyedihkan.

Yang baru saja menangis kan Gisa, kenapa Zello yang terlihat sedih?

"Kalau gue salah—"

"Gue cemburu." Seru Gisa cepat.

"Huh?"

Gisa menunduk sesaat untuk menghela nafas sebelum kembali mendongak untuk menatap kekasihnya disana. "Gue cemburu dan... dan karena nggak bisa ngelabrak orang, akhirnya gue nangis."

"Huh?"

"Lola deh!" kaki Gisa menghentak lantai. "Tau ah."

Dan ketika gadis itu berbalik untuk meninggalkan Zello, laki-laki itu tersenyum dengan lebar.

"Tungguin pacarnya dong."

Gisa mendengus namun tak menghentikan langkahnya.

"Gisa."


Deg


Jantung Gisa berdegup cepat.

"Mau makan ice cream dulu nggak?"

Tatapan Gisa menunduk. Menatap jari-jari Zello yang sedang menggapainya dan mulai menguncinya untuk saling bertaut.

Hari ini, untuk pertama kalinya, Zello menggandeng tangan Gisa.


-


Aduhhh, mau Zello juga dong satu :'

Penulis,


Rose

Dangerous Butterfly | JENSELLEWhere stories live. Discover now