Perjuangan seorang Gisa

940 94 5
                                    

~Gisa pov~

"Kita mau perjodohan ini dibatalin."

Kami tau bahwa kedua orangtua kami akan terkejut dengan keputusan kami. Namun setelah pembicaraan panjang kami beberapa hari lalu, akhirnya inilah keputusan yang kami ambil.

"Tapi kenapa?" Tante Joan menatap Zello yang duduk disebelahku dengan tatapan kecewa.

Aku tau, acara makan malam keluarga kali ini pasti yang diinginkan mereka adalah hubungan kami yang lebih dari ini, namun ternyata yang terjadi adalah kebalikannya.

"Kami ingin menggapai mimpi kami terlebih dahulu." Tatapanku jatuh kearah genggaman Zello ke tanganku yang semakin erat dibawah meja. Membawa getaran hangat yang terus menyengat hatiku.

"Keputusan kami sudah bulat." Kemudian aku melihat Zello tersenyum kepadaku sebelum Kembali mengalihkan perhatiannya pada keluarga kami. "Kalau kami akhirnya berjodoh di masa depan, kami yakin, kami akan bersama di masa itu."

Air mataku menggenang. Aku benar-benar mencintai laki-laki disampingku ini!


-


1 tahun berlalu~

"Kalian bakal milih jurusan apa?" Kania terus mengscroll mouse yang ada ditangannya sembari matanya yang terus terfokus pada leptopnya.

"Gue sih dokter gigi." Synthia berseru mantap. Keluarga Synthia memang sudah turun-temurun menjadi keluarga dokter, jadi kami sudah tidak kaget jika jurusan yang Synthia inginkan tidak jauh-jauh dari pekerjaan berseragam putih tersebut.

"Lo, gis?" Mendapati pertanyaan tersebut, aku pun memutar leptopku agar mereka dapat melihat isinya. "Hukum."

"Lo serius? Mau lintas jalur?"

Aku mengangguk mantap. "Gue mau jadi kaya Papah."

"Jadi jaksa?" Aku kembali mengangguk. "Iya."


-


3 tahun berlalu~

"Papahhhh." Air mataku terus menetes ketika melihat banyak dokumen milik papah yang berserakan di depanku. "Gisa nyerahhh."

Papah menatapku sayang dan menepuk kepalaku lembut. "Yakin mau nyerah setelah semua yang kamu lakuin?"

Ketika papah tau aku ingin mengejar profesi yang sama seperti papah, dengan perasaan senang dan bangga papah sering membawa beberapa dokumen tentang kasusnya ke rumah untuk dikerjakan bersamaku.

Awalnya aku senang karena papah akan membantuku dan percaya padaku untuk mengerjakan kasusnya bersama-sama. Namun hal itu hanya bertahan selama beberapa minggu. Karena ternyata, hal itu sangat membuat aku frustasi. Kepalaku hampir meledak dan beban yang aku bawa semakin berat. Apalagi tugas dari perkuliahanku terus menumpuk dan terus meminta untuk diselesaikan bersamaan dengan kasus yang papah bawa ke rumah.

Aku benar-benar muak.

Dan hari ini adalah puncaknya. Wajahku sembab akan air mata. "Tapi..."

Papah terkekeh dihadapanku. "Papah nggak pernah mau maksa kamu. 2 tahun berjalan di jurusan hukum," Mata Papah menatapku lembut. "Kalau mau berhenti silahkan berhenti. Tapi jangan sampai menyesal ya?"

Mendengarnya tekadku kembali membulat. Namun nyatanya air mata di pipiku terus mengalir deras. "Iyaaa, Gisa nggak akan nyerah!"


-


5 tahun berlalu~

"Gisa hadap sini!" Aku berbalik dan tersenyum lebar ketika melihat Kania mengarahkan kameranya padaku.

"Synthia sini. Ayo ikut foto."

"Eh gue juga mau ikut." Dengan cekatan Kania memberikan kamera yang dibawanya kepada Pak Jono—supir pribadiku— disana. "Pak minta tolong ya?"

Kemudian kami kembali tersenyum bahagia menghadap kamera. Momen bahagiaku itu pun tak luput akan kehadiran orangtuaku disana.

Hari ini, dengan senyum bangga, akhirnya aku menjemput gelar sarjanaku.


-


10 tahun berlalu~

"Mbak Gisa nih matchanya." Aku mendongak dan menatap teman kerjaku bingung. "Kayaknya aku nggak pesen apapun tadi."

Andin yang baru saja masuk ikut meletakkan sesuatu di mejaku sama seperti Ranti. "Mbak Gisa nih ada bunga."

"Huh?" Otakku membeku tak mau bekerja. "Kayaknya aku belum naik jabatan lagi deh?"

Andin terkekeh mendengarku yang sudah terlihat sangat kebingungan dihadapan mereka. "Mbak Gisa nih kalau udah punya cowo tuh bilang-bilang dong ke kita."

Kerutan di dahiku semakin terlihat. "Siapa bilang aku—"

Seketika tubuhku menegang. Tatapanku Kembali kepada segelas matcha dingin dan bunga lily yang ada di mejaku. 'Jangan-jangan...'

Tubuhku bergerak begitu saja dan segera berlari keluar ruangan dengan sekuat tenaga. 'Nggak mungkinkan?'

"Mbak Gisa!"

Namun kakiku terus membawa tubuhku lari dan bergerak menuju lobby dari tempatku bekerja.

Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Apakah ini karena lariku yang terlalu cepat, atau karena suatu hal lain?



Ting!



Lift yang membawaku turun terbuka. Dan netraku yang tadi menatap sepatuku segera mendongak dan mulai mencari seseorang.

'Jangan bilang—'

Tubuhku terhenti.

Nafasku memburu dan terus mengajak paru-paruku bekerja. Sedangkan detak jantungku terus bekerja hingga rasanya ingin meledak.

Tubuhku kembali menegang.

"Hai, Gisa."

Aku melihatnya.

Sebuah senyuman seindah langit biru dan sehangat matahari itu berada tak jauh dari hadapanku.

"Apa kabar?"

Dan kalimat keduanya membawa nyawaku kembali ke tubuhku. Dengan gerakan cepat, kakiku kembali melangkah, tubuhku dengan tidak tau diri menubruknya hingga ia mundur selangkah.

"Haha. Kangen aku ya?"

Dengan bulir air yang mulai menetes dari area mataku, aku mengangguk dengan tegas.

Aku benar-benar merindukanmu.

"Gisa."

Tangannya mengusap punggungku lembut. Tubuhnya juga membalas pelukanku. Dan kekehannya membawaku untuk merasa tenang.

"Zello." Suaraku tercekat.

"Ya?"

Dan jawabannya sontak saja membawa tangisku semakin deras.

Zello.

Aku benar-benar merindukannya dengan segenap relung hatiku.

Akhirnya, pujaan hatiku kembali setelah 10 tahun lamanya aku menunggu.



-



Penulis,


Rose

To już koniec opublikowanych części.

⏰ Ostatnio Aktualizowane: Oct 13, 2023 ⏰

Dodaj to dzieło do Biblioteki, aby dostawać powiadomienia o nowych częściach!

Dangerous Butterfly | JENSELLEOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz