Arfin

64 13 60
                                    

Arfin tidak bisa berdebat dengan Nenek mengenai bagaimana caranya dia agar bisa cepat sampai di Tokyo nanti. Dia sudah bilang mau naik pesawat reguler saja, tapi Nenek bersikeras mendatangkan Private Jet untuk menjemputnya. Arfin merasa Nenek sedang over protective padanya entah untuk alasan apa. Ya sudah terima saja daripada nanti berbuntut panjang. Dia sedang tidak punya mood untuk mendengarkan ceramah Nenek.

Tapi sebelum pergi, ada satu orang yang ingin dia temui. Ares. Di sinilah dia sekarang, di kantor laki-laki itu. Arfin sempat heran saat awal tahu bahwa Ares masih saja lembur pada Minggu malam. Tapi makin kesini dia menyadari, ada kesamaan antara beliau dan Mama. Bukannya workaholic, tapi mereka sama-sama menyembunyikan duka dalam pekerjaan. Agar masa lalu tak bisa lagi hadir menyeruak, meski sejenak.

Andaikan Arfin bisa menceritakan yang sebenarnya ke Ares. Memberitahu bahwa pria itu adalah papa kandungnya.... Ah, alasan itu juga tidak cukup kuat untuk membuat Mama dan Ares bisa bersama. Tidak akan semudah itu untuk mengubah keadaan.

"Saya baru tahu kalau mama kamu ternyata sedang di Jepang?" tanya Ares setelah meninggalkan mejanya yang penuh tumpukan dokumen untuk ditandatangani lalu bergabung dengan Arfin di sofa tamu. Dia benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga mereka. Dengan Arfin yang memilih untuk tinggal di kos-kosan dan bekerja, serta mamanya yang ternyata sudah berada di Jepang. Meskipun ingin, tapi tidak mungkin juga Ares bertanya ke Arfin, nanti dikira dia mau ikut campur. Padahal dia hanya peduli.

"Memang Pak Ares harus tahu mama saya ada di mana?"

Pertanyaan Arfin membuat tenggorokan Ares seolah tertohok. Bukan apa-apa, Arfin hanya ingin tahu bagaimana reaksi Ares dengan pertanyaan macam itu.

"Ya enggak..." jawab Ares, menggantung, takut Arfin curiga kalau dulu dia dan mamanya punya hubungan spesial. "Terus mama kamu sakit apa?"

"Belum tahu, Pak. Tadi baru dikasih tahu kalau Mama pingsan." Arfin menjawab ragu. Tapi sepertinya ini memang yang terbaik, untuk membiarkan Ares tidak tahu bahwa mamanya sedang koma. Kalau Ares tahu, bisa-bisa beliau memaksanya untuk ikut. Bisa kacau nanti di sana, sementara mamanya masih butuh ketenangan.

Ares menghela napas panjang, yang terlihat di mata Arfin sebagai rasa cemas yang berkepanjangan. Kemudian dia mengangguk mencoba optimis. "Semoga mama kamu cepet sembuh ya, dan kamu juga bisa cepat kembali ke sini."

Arfin ikut mengangguk meski sebenarnya dia tidak yakin akan kembali ke perusahaan ini. Karena dia pun sudah mengundurkan diri dari sekolah dan memenuhi permintaan Nenek untuk melanjutkan sekolah di Tokyo.

Walaupun kelihatannya tenang, sebenarnya pikiran Arfin sekarang sedang berat memikirkan keadaan mamanya. Meski dia tahu ada Nenek yang pasti dengan penuh cinta merawat Mama, tapi itu tidak bisa serta merta menghilangkan perasaan cemas itu.

"Maaf, Fin, belum bisa mengantar kamu ke bandara." Beliau lalu mengerling tumpukan dokumen di mejanya sebagai alasan. "Tapi Marsha mengantar, kan?"

Mendengar nama Marsha disebut, Ares bisa melihat sorot mata Arfin berubah jadi rapuh, namun kuat secara bersamaan. Ares tahu ada yang salah, bahwa hubungan mereka mungkin juga sedang tidak baik-baik saja. Mungkin itu juga jadi salah satu penyebab Arfin muncul di kantornya malam ini dengan penampilan yang berantakan.

Entah ada ikatan apa yang sedang dirasakan Ares ke Arfin, hingga dia kemudian merasa harus menyampaikan sepatah dua patah kata untuk anak itu.

"Nak, ingat ya kata-kata saya... kamu harus tetap bertahan meskipun nanti yang tersisa cuma kamu seorang diri. Harus kuat. Karena kamu laki-laki, yang pasti jadi tumpuan dari setiap wanita yang kamu cintai. Terutama mama kamu."

Arfin sepakat. Boleh saja sekarang dia jatuh, tapi dia tidak akan membiarkan rasa sakit di hatinya membuatnya terlalu dalam terpuruk. Walaupun memang tidak mudah, karena selama ini dia sudah terlalu jauh menumpukan kebahagiaannya hanya pada Marsha. Salahnya sendiri.

Dan Arfin tercenung menatap lekat-lekat mata pria itu. Ayah kandung dan ayah sambung. Perbedaannya benar-benar signifikan saat dia menghadapi mereka. Papa Hermawan selalu bermata dingin ketika berbicara dengannya, memaksanya untuk tunduk. Sementara Ares begitu hangat. Entah kenapa sejak pertemuan mereka untuk pertama kalinya, Arfin jadi menaruh harapan besar. Bahwa dia juga memiliki Papa, sama seperti teman-temannya yang lain. Yang akan menjadi kebanggaannya dan yang akan dia ikut sertakan saat akan mengambil keputusan-keputusan.

Sekarang, kepalanya pun sangat gigih untuk menyuruhnya menjawab, "Iya, Pa." Sebelum akhirnya segera dia membuang pandangan ke arah lain untuk mengenyahkan pemikiran itu. Belum saatnya. Dia harus memastikan keadaan mamanya dulu baru bisa mencoba membantu meluruskan hidup mereka yang bengkok. Memang harus pelan-pelan kalau tidak mau patah.

"Makasih, Pak." Arfin mengangguk. Akhirnya tangan mereka saling berjabat untuk menandai perpisahan kala itu. Perpisahan yang mereka harapkan hanya untuk sementara waktu.

***

Arfin hampir selesai berkemas. Dia menyisakan begitu banyak baju di dalam lemari, dan itu sudah dia titipkan ke Awan. Biar kawannya itu yang membereskan. Sekarang tinggal memasukkan berkas-berkas yang harus dia bawa. Saat membuka laci dalam lemari untuk mencari passport dan berkas-berkas lain, tanpa sengaja dia menemukan sebuah buku. Buku pemberian Marsha. Buku yang punya peran untuk menggantikan dirinya, kata Marsha. Sebagai penawar rasa rindu.

Puisi Rahasia untuk Arfin.

Arfin membuka halaman demi halaman buku itu dan seketika mengingatkannya pada masa dimana dia dan Marsha seolah memiliki dunia ini.

Tapi sekarang dia sudah sendiri. Kesendirian yang masih terasa begitu asing baginya.

Bukannya dia pecundang yang tidak mau pamit dengan Marsha, tapi dia baru tahu saat mencoba menghubungi gadis itu ternyata nomornya sudah diblokir. Bahkan semua sosial media juga.

Rian sialan! Dia tahu kalau semua ini ulah saudara tirinya itu untuk memporak-porandakan hidupnya, dan berhasil.

Sebenarnya Arfin sudah mendatangi rumah Marsha sepulangnya dari kantor Ares. Tapi akhirnya dia berubah pikiran saat telah berada di dekat rumah Marsha, melihat cewek itu sedang menutup pintu dari kejauhan. Dia membayangkan dirinya menemui Marsha, lalu apa? Berharap Marsha tidak mengizinkan pergi?

Justru ada bagusnya juga, kan? Dia jadi tidak terlalu berat meninggalkan tempat ini. Suatu saat nanti, ketika keadaan mamanya sudah mulai membaik, dia ingin kembali dan bertemu dengan Marsha lagi. Belum ada final speech, jadi boleh kan, dia masih berharap?

Dia akan menyimpan buku puisi Marsha ini untuk pengingat janji.

"A'! Emangnya mata kamu nggak sepet apa lihat lemari yang isinya kayak kapal pecah gini? Aku bantu rapiin deh. Tapi awas aja nanti kalau aku lihat berantakan lagi!"

"Yang ada cuma motif Hello Kitty. Aku pasangin, ya. Nggak boleh dicopot! Tidurnya harus pakai seprei, terus sepreinya juga harus sering dicuci biar badannya nggak gatel-gatel."

"Aku masak Chicken Teriyaki, lho, mau nyobain nggak? Enak ini. Aku lagi belajar masak masakan Jepang, biar kamu kalau kangen Jepang ntar bilang aja nanti aku masakin."

"A'... Iket rambutnya yang bener ih. Kekencengan, tauk! Kan rambutnya jadi ketarik-tarik, ntar pada rontok!"

Arfin mematung kosong memandangi kamar kosnya itu sebelum pergi, melihat segala macam bayangan Marsha berkelebatan di sana, menyerangnya tanpa ampun sampai hatinya hampir mati rasa. Dia segera menggeleng pelan untuk menyudahinya.

Karena sekarang sudah waktunya untuk memadamkan lampu lalu menutup pintu rapat-rapat.

**************************************

Akhirnya Season 2 ini kelar juga
Gimana menurut kalian guys? Nyesek nggak??
Gimana kesannya buat novel ini? Plis komen ya....

The Prince's Escape [Season#2 END✅]Where stories live. Discover now