Di Jalan Masing-Masing

1.5K 70 140
                                    

Satu bulan kemudian, malam sebelum Arfin berangkat ke Singapore untuk mengikuti Olimpiade dan Marsha ke perkemahan untuk kegiatan pelantikan Bantara, mereka memutuskan untuk melalui malam berdua di pantai.

Di sinilah mereka sekarang, berduaan. Hal yang sangat sulit mereka lakukan akhir-akhir ini. Arfin duduk di hamparan pasir, memperhatikan Marsha yang berdiri membelakanginya. Gadis itu sedang menengadahkan kepala, memandang langit yang bersatu dengan lautan. Cerah penuh bintang dan bulan purnama.

Arfin ikut memandang bulan purnama yang berbinar cantik. Tapi kecantikan itu tidak sebanding dengan gadis di hadapannya ini. Apalagi saat gadis itu menoleh dan tersenyum padanya. Tidak ada yang bisa memberi pengaruh sehebat ini selain Marsha. Arfin sampai geleng-geleng kepala karena takjub.

"Kenapa?" Senyum Marsha memudar berganti dengan kerut di keningnya karena melihat Arfin memandanginya begitu.

"Aku lihat bidadari."

Tahu apa yang dimaksud Arfin, Marsha menghampiri cowok itu lalu mencubit lengannya, "Gombaaaaal...." serunya meski bibirnya menyembunyikan senyum malu.

"Aw, sakit," lenguh Arfin sambil memegangi lengannya.

"Sakit, ya? Sori-sori."

Arfin menahan senyum melihat reaksi Marsha yang kemudian mengelus lengannya yang kena cubit tadi. "Nggak papa. Nih yang satunya belum," guraunya sambil menyodorkan lengannya yang satu lagi untuk Marsha cubit.

"Nggak lucu." Marsha berhenti bereaksi berlebihan lalu melet ke Arfin.

"Ah, hobi baru itu?"

"Melet? Iya," cengir Marsha.

Setelah Marsha duduk di samping Arfin, ada keheningan sesaat di antara mereka. Marsha sedang menimbang-nimbangnya mau bertanya pada Arfin soal rumor yang beredar mengenai dirinya dan Rian atau tidak. Karena selama ini sikap Arfin adem ayem saja seolah tidak pernah mendengar kabar mengenai itu.

"A'."

"Hmm?"

"Kamu denger gosip soal aku... Kak Rian...?" Marsha bertanya ragu-ragu.

"Aku lebih tahu faktanya," tandas Arfin.

Marsha memandangnya takjub. "Kamu percaya kan sama aku?"

Kali ini Arfin balas menatap Marsha lekat-lekat, tangannya meraih tangan gadis tu untuk dia genggam. "Kayaknya kamu harus dikasih tanda kepemilikan, biar semua orang juga percaya," ujarnya.

"Maksudnya?"

Arfin menjawab pertanyaan Marsha dengan mengeluarkan benda kecil dari saku celananya. Kotak cincin. Mata Marsha melebar saat melihatnya. Apalagi saat Arfin membuka kotak itu dan isinya benar-benar cincin cantik berwarna rose gold dengan satu mata di tengah.

"Apa ini?" tanya Marsha tergagap.

"Cincin."

"Iya tahu, terus?"

"Hari ini aku gajian. Kepikiran aja beliin kamu ini. Suka nggak?"

Jantung Marsha mencelos. Dia terenyuh menatap Arfin. Bahkan dengan cincin ini menandakan bahwa kata-kata Arfin yang menginginkan dia jadi istrinya kelak adalah serius.

"Tapi A', biasanya gaji pertama itu dikasih buat mamanya...." Marsha menggeleng, masih merasa tidak pantas.

"Biar nanti dikembalikan sepuluh kali lipat sama Mama?"

Marsha tertawa singkat. Lalu Arfin meraih telapak tangan Marsha, melingkarkan cincin itu di jari manisnya. Pas. Padahal Arfin memilih ukuran cincin itu secara gambling.

The Prince's Escape [Season#2 END✅]Where stories live. Discover now