9.

9.2K 1.2K 58
                                    


"Kamar kamu disini." Erkan membuka pintu kamar, memperlihatkan pada Vier kamar yang akan di tempati Vier. Anak itu sekarang menganga tak percaya. Matanya berkaca-kaca karena terharu.

"Vier hiks.. Akan tinggal di sini abang?" Erkan tersenyum kemudian menganggap iya.

"Iya, Vier tinggal disini. Kamar ini milik Vier." Erkan memeluk erat Vier, entahlah.. Vier mengingatkan dirinya pada adiknya. "Jangan sedih lagi ya, kalau lapar, Vier tinggal minta sama bibi Mei."

Vier semakin mengencangkan tangisnya. Sungguh, dia beruntung bertemu dengan orang sebaik pria di depannya. "Apakah Vier tidak apa-apa mendapatkan ini semua?" Anak itu membalas pelukan Erkan tak kalah erat.

"Apakah Vier akhirnya akan bahagia abang? Vier punya kamar, Vier tidak akan pusing dengan apa yang akan Vier makan. Vier juga tidak pusing dimana Vier akan tidur."

Erkan mengelus punggung kecil itu. " Tentu Vier, Vier mendapatkan semuanya. Terima kasih karena telah bertahan selama ini hm?" Erkan bukan seseorang yang jago menenangkan orang. Tetapi, dia merasa Iba, kasihan.

Mendengar penuturan Vier, Erkan menjadi lebih bersyukur. Hidup yang dia kira menyusahkan untuknya, yang dia kira sangat sulit baginya, ternyata jauh lebih sulit bagi orang di luaran sana.

"Anggap ini rumah Vier, Anggap abang adalah Abang Vier." Melepaskan pelukan, Erkan memegang bahu Vier. Vier semakin tak bisa menahan tangisnya.

Siang itu, Erkan habiskan untuk mendekap erat Vier yang menangis hingga kelelahan lalu tidur. Melihat betapa kerasnya kehidupan Vier, Erkan harus mengelus dan mengucap penuh syukur untuk apa yang dia dapat dari hidupnya.

Anak sekecil Vier harus berjuang demi hidupnya, demi sesuap nasi setiap hari. Berjuang melawan takdir kelam. Tetapi Erkan disini, Erkan datang membawa hidup kelam Vier. Membawa anak itu ke cahaya yang di impikan.

Erkan menarik selimut menutupi tubuh kecil Vier hingga dada. Mengelus rambut anak itu kemudian turun kebawah. Dia harus mengerjakan pekerjaannya.

"Bi, buatkan saya kopi. Oh, makan siang juga bisa di siapkan. Jadi, nanti setelah bangun, Vier bisa langsung makan." Bian memberi perintah pada bibi Mei.

Pembantu yang mengurus apartemennya.

Ya, Bian membawa Vier kedalam apartemen milik Bian Tirta. Tak mungkin rasanya Erkan membawa Vier kekediaman Brawijaya. Tak ingin menambah masalah dan tak mau semakin di benci Andra karena membawa orang asing.

"Baik den."

Satu jam telah terlewati, Erkan merenggangkan otot kakunya. "Huft, akhirnya selesai, " ujarnya. Pekerjaan hari ini telah selesai, jadi Bian bisa bersantai. Hitung-hitung juga waktu untuk semakin dekat dengan Vier.

"Abang." Vier datang memanggil Bian. Mengucek satu matanya, Vier berjalan mendekat.

Erkan tersenyum, dia berdiri dan mencegah tangan Vier agar tak terus mengucek mata. "Bagaimana tidurmu?"

"Nyenyak!! Hehe makasih ya abang!" Vier menjawab dengan cengirannya. Lalu memeluk Bian mengucapkan rasa terimakasih. Vier merasa dia masih bermimpi. Tidur nyenyak dan memiliki keluarga.

"Ya sudah, ayo kita ke ruang makan. Vier harus makan agar cepat berisi, " ucap Erkan sembari mencubit pipi tirus Vier. Memandu anak itu untuk berjalan ke dapur dan duduk di meja makan.

Makanan telah lengkap, Jadinya.. Erkan langsung menyuruh Vier untuk makan.

Selang beberapa waktu, makan siang selesai. Erkan pun ingin pamit pulang. Namun Vier merengek memeluk Erkan, meminta agar dia tak pergi kemana-mana.

"Hikss abang mau ninggalin Vier sendirian?" isak Vier, dia menatap sendu Erkan.

"Tidak Vier, abang keluar sebentar, nanti abang kembali kesini hm?" Erkan menghapus lelehan air mata Vier.

"Pinky promise?" Vier menjulurkan jari kelingking.

Erkan terkekeh pelan, Vier sangat mirip dengan adiknya. "Pinky promise." Erkan menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Vier. Mengusak rambut Vier kemudian berniat pergi.

"Bibi, saya titip Vier ya. Saya akan kembali nanti setelah mengurus urusan saya."

Bibi Mei di belakang Vier menjawab sopan. "Baik den."

***

"Bukankah kamu bilang sebentar? Kenapa sampai melewatkan makan siang?" Yah, suara itu yang menyambut Erkan. Suara wanita paruh baya yang sekarang berkacak pinggang menatap Erkan menuntut.

"Nenek kan sudah bilang, kondisimu belum pulih. Setidaknya, istirahatkan tubuhmu Bian. Nenek bisa mentoleransi kamu yang tetap bekerja, tapi apa sekarang! Apa kamu membangkang Bian!" Erkan meringis pelan. Naya mengomeli dirinya seperti dia  berusia belasan tahun.

Oh ya ampun, haruskah Erkan menjawab ucapan Naya kalau usia Bian sekarang sudah bersuara 24 tahun?

"Maaf Nek, tadi ada sesuatu yang harus Bian lakukan." Jawaban inilah yang pas. Tak ingin membuat emosi Naya tersulut ataupun sebagai bentuk formalitas tak ingin kurang ajar kepada orang tua.

"Huft, ya sudahlah. Masuk, makan siang lalu minum obat.  Setelahnya pergi ke keruang keluaga, perbanmu harus di ganti. " Erkan pun hanya bisa menuruti ucapan Naya.

Erkan sudah bisa menebaknya, maka dari itu, saat makan siang bersama Vier, Erkan sengaja makan sedikit. Karena Erkan yakin Naya akan menjejali dirinya dengan makan kembali. Jadinya, dia tak akan terlalu kenyang.

"Ini nih bintang utamanya!" seru Andra, pemuda itu bertepuk tangan menatap Erkan remeh.

"Gara-gara lo kita semua kena marah sama Nenek!" Tekannya mendekati Erkan dan menunjuk nya.

"Hanya karena lo!"

"Enak ya di sayangi oleh keluarga yang bukan darah daging lo? Enak hm?" Sarkas Andra. Dia sudah sangat muak dan kesal karena orang di depannya.

"Setidaknya tau diri dong. Jangan bikin kita susah. Lo pikir lo siapa disini? Lo hanya anak angkat. Jangan merasa lo berada di puncak." Andra sudah kesal sejak pagi.

Di pagi hari, dia harus mendengarkan ocehan neneknya yang begitu mengkhawatirkan anak angkat seperti 'Bian'. Memborbardirnya dengan kata-kata pengingat. Lalu siangnya, harus mendengarkan kemarahan Sang nenek karena 'Bian' tak kembali.

Membuat kehebohan seolah salah satu anggota keluarga Brawijaya terkena musibah. Padahal hanya karena seonggok manusia pembawa sial seperti manusia yang berdiri di depannya.

Erkan merasa tersentil, emosi dan moodnya tak terkendali karena masalah Vier. Lalu sekarang Andra datang dengan ucapan pedasnya. Memangnya, Bian ingin di angkat jadi anak? Memangnya Bian mau di khawatirkan seperti ini? Tidak Bian tidak mau.

Alasan mengapa Bian Tirta tak pernah marah ataupun menaruh benci pada Andra itu karena ibu sambungnya. Jika bukan karenanya, sudah lama Bian pergi meninggalkan Mansion. Apalagi, Ibu angkatnya juga menjadi kontribusi terbesar di hidup Bian Tirta.

Tittle 'Anak Angkat' sudah sepenuhnya melekat pada Bian. Tetapi, dia juga tak ingin mendapatkan tittle itu. Jika saja, Bian tau orang tuanya, jika saja Bian tau keberadaan orang tuanya, jika saja dia tak menjadi gelandangan, tak pernah dia mau menjadi anak angkat.

"Apakah aku yang menurutmu 'Anak Angkat' mau menjadi anak angkat? Apa menurutmu aku tidak sedih karena kepergian ibu?" Suara Erkan terkesan datar, dia tak merasa sedih karena ucapan Andra. Erkan adalah pria berusia 27 tahun. Tentu hal semacam ini bukanlah sesuatu yang dapat membuatnya sedih.

Tapi, apa ini? Kenapa air matanya meluruh melewati pipi? Segera, dia menghapus kasar air matanya. Pergi dari saja agar tak ada orang yang mengetahuinya. Dia harus selalu menjaga imagenya. Ya image. Bian Tirta tak pernah menangis di depan keluarga Brawijaya.

Erkan pergi meninggalkan Andra yang berdiri mematung. Tak pernah dia sangka orang yang tidak pernah ia lihat air matanya kini mengeluarkannya tepat di depan matanya.

Terlebih dialah penyebab nya.








TBC.

Anak AngkatWhere stories live. Discover now