15.

8.4K 1K 44
                                    

"Nanti si Sion ngajak taruhan," celetuk pemuda memiliki wajah bulat, Renzi. Pemuda keturunan asli pribumi itu memakan tempe goreng sembari menggigit kecil cabai rawit. 

"Gausah di ladenin lah Dra. Paling hadiahnya kecil, males banget. Mana si Sion kalo ngasih imbalan sama hukuman nya ga imbang lagi." Henry menimpali. Pemuda yang satu ini sedang selonjoran sembari memijat kakinya yang lelah selesai bermain sepak bola. 

"Tapi seru sih.. Tantangan dapat, Hukuman nya jos kalo kalah, mana kalo menang hadiahnya ga main-main," timpal Faris. Cowok lagak preman ini membantu memijat kaki Henry satunya.

"Seru sih seru, tapi taruhan apa dulu nih yang dibilang si Sion?" sahut Andra, dia merebahkan tubuhnya disofa yang berada diatap sekolah.

"Nah ini nih, agak laen taruhannya." Renzi menaruh tempe+ cabainya. Menatap serius kearah tiga temannya. 

Melihat keseriusan Renzi, ketiganya pun berdiri dari posisi juga memandang Renzi serius. 

"Taruhan apa?" Tanya Andra, tangannya mengepal kuat takut Taruhan kali ini merupakan sesuatu berbahaya.

"Kalau berbahaya, jangan diterima, kita ga tau taktik apa yang Sion siapkan kali ini," ujar Henry, alisnya bertaut menandakan seriusnya dia. 

plak!

"Cepat elah! lama kali lo!" Faris yang tidak sabaran menggeplak kepala Renzi. 

"Duh!! sabar dong!" seru Renzi, dia mengelus kepalanya. 

"Si Sion ngajak taruhan, siapa yang bisa menebak warna celana dalam pak Roni bakal dapat nomor mbak Mala janda gang sebelah. Kalo salah nebak, disuruh cium pak Roni waktu dia ngajar di kelas nanti," jelas Renzi panjang lebar. 

Ketiga orang yang mendengar penjelasan 

Renzi langsung mendatarkan wajah. Padahal dari tatapan Renzi barusan begitu tajam syarat akan keseriusan. 

"Gila, si Sion gila, sama kek elo," berang Henry. Dia kembali duduk dan kembali memijat kakinya.

Andra hanya menggelengkan kepala kemudian menghela nafas. Sedikit heran mengapa dia mau berteman dengan orang modelan Renzi. 

"Tapi, hadiahnya mayan. Lo tau mbak Mala gang sebelah kan? bodynya aduhai!" kata Faris, tangannya meliuk memperagakan body gitar spanyol.

"Nah iya itu bro! Makanya eman kalo ini ga di terima, Hadiahnya itu loh! kapal lagi kan dapat nomor tuh janda." Renzi menyahut. 

"Yasudah, mending kalian aja yang nerima, kami tunggu disini." Henry menyayangkan sikap mesum kedua temannya. Mau di buang, barang langka, ditahan.. sikapnya seperti kambing kebelet kawin. 

Faris dan Renzi meledek Henry habis-habisan. Keduanya pun segera pergi saat Henry dan Andra menolak meski di paksa. 

"Gimana sama tu anak? tetep ganggu lo?" tanya Henry memecah keheningan. 

"Hari ini dia ga ada nemuin gue." 

"Baguslah, mungkin tuh bocah udah nyerah." 

"Tapi kayaknya dia ga bakal nyerah semudah itu." 

Henry hanya mengangkat bahu. "Terus gimana lo sama abang lo?" 

Andra memandang langit cerah di atas. "Entahlah gue ga tau.. disatu sisi, gue masih benci sama dia, lo tau alasannya. Disatu sisi gue ga suka dia lebih perhatian sama tu bocah dari pada gue, apalagi akhir-akhir ini dia berubah Hen." 

"Dia udah ga kayak dulu, yang selalu senyum lembut ke gue, yang selalu diam ketika gue ganggu. Perubahannya ngebuat hati gue ngerasa ganjal." Tangan yang ia gunakan untuk bantal, kini terangkat memegang dada. 

"Gue ga suka perubahan dia, Gue pengen dia tetep cari perhatian ke gue, lembut ke gue, dan tetep senyum ke gue. Bukan untuk orang asing yang baru beberapa minggu dia kenal."

Andra mencurahkan isi hatinya kepada Henry, hanya pada Henry, Andra bisa terbuka seperti saat ini. 

"Sebenarnya lo itu sayang sama abang lo. Cuma ego lo tinggi Dra, coba sedikit aja lo turunin ego lo." 

"Gue masih ingat bayang-bayang ibu gue Hen." 

"Iya gue tau, cuma Dra.. lo ga seharusnya tetep di fase yang sama. Sorry nih, Ibu lo udah mati.. tapi lo tetep hidup sampai sekarang. Berarti hidup lo ga harus diam di fase sedih terus." 

"Sedihnya kehilangan emang berat buat siapapun. Tapi, kita ga akan maju kalo tetep sedih karena kehilangan. Ibu lo memang mati, tapi dia tetap hidup di hati lo." 

"Kematian ibu lo juga udah takdir. Mau lo nyalahin abang lo sekuatt tenaga, kalo takdir ibu lo mati dia bakal mati. Lo ga bisa ngubah takdir yang memang seharusnya. "

"Saran gue sih sebelum semakin jauh sama abang lo, mending lo turunin ego. Penyesalan itu selalu datang di akhir. Lo udah ngerasain kan, perubahan dia? Lo mau.. dia makin berubah dan berakhir semakin jauh sama lo?" ceramah Henry panjang lebar.

Andra mendengarkan seksama. Ucapan Henry terdengar sarkas dan pedas, tetapi Andra tau.. Henry melakukannya agar dirinya sadar atas kesalahan yang ia lakukan. 

"Kalo lo udah sadar sekarang, Lebih baik lo berubah. Jangan sampai lo bener bener nyesel di kemudian hari." 

"Yang harus lo lakukan pertama kali adalah minta maaf sama bang Bian. Salahnya bukan di dia, tapi di elo. Semuanya...!!" Henry menekan kata 'Semuanya' Karena semua itu merupakan fakta. 

Sering kali Henry menceramahi Andra ini itu, tapi dasarnya sahabat satunya ini bebal.

Andra dia tak menjawab, namun dia menelan secara perlahan perkataan sahabatnya. 

Mungkin Henry benar, sebelum semakin jauh, adakalanya dia harus menurunkan ego untuk memperbaiki jarak yang telah membentang. 

"Makasih Hen.. gue bakalan lakuin sesuai saran lo." 



*


Erkan bolak balik menatap gerbang sekolah, menunggu Andra sekaligus Vier. Dari kemarin dia kepikiran dan merasa bersalah karena meninggalkan Vier begitu saja.

Padahal itu bukan salahnya.

"Vier!" Dia berteriak sembari melambaikan tangan. Mengabaikan image dan harga diri yang selalu dia jaga. 

Xavier yang terpanggil pun segera berlari mendekat. Senyumnya merekah mengetahui Erkan lah yang memanggil. "Abang!" 

"Vier, bagaimana sekolah hari ini? Maaf untuk yang kemarin ya" Erkan mengusak kepala Vier. 

"Baik abang! Vier dapat banyak teman!" 

"Oh iya? bagus dong. Yang semangat ya belajarnya, jangan suka bolos biar cepet pintar." Vier mengangguk semangat. Lelahnya menghilang seketika.

"Vier mendegarkan guru dengan baik?" 

"Iya abang, tadi Vier mendapatkan nilai sempurna!" 

Erkan tersenyum, kemudian berkata. "Bagus.. sekarang kamu masuk kedalam mobil jemputan kamu, sampai rumah bersihkan badan lalu makan okay?" ujar Erkan mengetahui mobil jemputan Vier sudah datang.

"Okay abang!" Vier tersenyum manis. Dia masuk kedalam mobil yang di bukakan Erkan.

"Ingat kata abang.. nanti abang bakal main-main kesana." setelahnya Erkan menutup pintu mobil.

Senyum Vier menghilang di gantikan tatapan tajam seakan melubangi tubuh sang sopir yang telah menggangu momen bersama abangnya. 

Sang sopir yang tak tau dimana letak salahnya pun hanya bisa pasrah dipandangi sedemikian rupa.








Tbc.

Anak AngkatWhere stories live. Discover now