10.

11.9K 1.3K 82
                                    

"Abangg!!"

Vier berlari ke arah pintu dimana Erkan berdiri membentangkan tangan. Pria itu tersenyum pongah begitu sampai di apartemen telah di tunggu oleh Vier. Padahal bahagia itu sesederhana ini, kenapa orang-orang sulit mendapatkannya.

Mengusak rambut Vier yang memeluk perutnya, Erkan bertanya. "Vier tidak nakal hari ini?" Vier menggeleng semangat menampakkan giginya.

"Vier tidak nakal abang!" Bocah itu menyeru penuh binar.

"Tidak merepotkan bibi Mei?" Erkan kembali bertanya. Menggenggam tangan kecil Vier lalu ia bawa ke sofa. Tubuh Vier kecil meski usianya sudah 14 tahun. Mungkin kurangnya asupan dan nutrisi yang membuat Vier terlihat seperti anak di bawah 10 tahun.

"Tidak abang!" Vier sedang bahagia. Heronya telah datang.

"Vier tadi di buatkan cake strawberry loh. Rasanya enak banget! Vier tidak pernah memakannya!" Vier mulai mengadu apa yang dia lakukan hari ini bersama bibi Mei.

Erkan mendengarkan seksama, perasaan resahnya hilang melihat ke antusiasan Vier dalam bercerita. Mimik wajah berubah-ubah itu berhasil meningkatkan mood baik Vier.

"Vier nanti ikut abang ya?"

"Kemana abang?"

"Ke rumah sakit."

Vier mengerutkan alis. "Untuk apa kita kesana? Abang sakit?"

"Kita kesana untuk mengecek tubuh kamu." Erkan memang sudah berniat dari semenjak dia membawa Vier. Erkan takut jika Vier memiliki riwayat penyakit ataupun lainnya. Erkan juga harus tau semua tentang Vier.

Vier pun mengangguk. Dia tak mungkin menolak jika itu permintaan 'Abang' nya. "Tidak sakit kan abang?"

Erkan tersenyum. "Sakit, sedikit aja."

"Tapi kamu tenang, kan ada abang di sebelah kamu. Jadi, jangan takut okay?" Erkan sedikit menenangkan Vier yang nampak gelisah. Menepuk kepalanya dan memberikan kata-kata penyemangat.

"Sekarang kamu main dulu ya, abang mau ngerjain kerjaan abang."

Vier bukan anak rewel, jadinya dia pun pergi bermain legonya. Sementara Erkan duduk di sofa membuka laptop dan bersiap untuk kerja. Harusnya pekerjaannya selesai siang tadi, tapi Rama tadi menghubungi jika ada data yang tertinggal.

Erkan tak masalah, dia tak harus banyak menganggur dan bisa menambah pemasukan.

Erkan memiliki motto, jika pengeluaran lancar, maka pemasukan harus lebih lancar. Jadi, tak ada waktu untuk nya berleha-leha ketika dia memutuskan untuk bertanggungjawab penuh atas hidup Vier.

Omong-omong dia harus menambahkan nama Vier. Nama bocah itu hanya Vier. Erkan sudah menanyakannya pada Vier, dan bocah itu menjawab Vier saja. Menurut Erkan itu nama panggilan.

Okey, pikirkan itu nanti. Banyak yang harus dia lakukan untuk bocahnya itu. Erkan memutuskan untuk merawat Vier, menjadikan Vier adik dan bertanggung jawab atas hidupnya. Sama seperti ibu sambung Bian, Erkan akan melakukan hal sama.

Matanya melirik Vier di sana, anak itu terlihat fokus menyusun lego. Jika saja Andra punya hati selapang ibunya, Bian Tirta tak akan berada di posisi tak menguntungkan.

Setelah kejadian di Mansion Brawijaya, Erkan memutuskan pergi setelah mengambil berkas-berkas nya, dia terlalu malu untuk sekedar menampakkan wajah. Apalagi, Erkan masih sakit hati karena perkataan Andra. Walau perkataan itu bukan diperuntukkan padanya, tetap saja Erkan sakit hati.

"Abang, Vier lapar." Vier menyeru, anak itu merengek mengadu lapar.

Erkan pun mendongak, menutup laptopnya dan melihat jam tangan. Masih jama 4 sore... Erkan tersenyum maklum. Mendekati Vier dan mengajak anak itu ke dapur. "Ayo, kita minta bibi Mei membuatkan nasi goreng."

"Apa tidak apa Vier makan lagi abang?"

"Makanlah sebanyak apapun yang kamu mau. Adik abang harus tetap sehat."



****


Malam pun tiba, sesuai perkataannya, Erkan membawa Vier ke rumah sakit. Erkan hanya perlu memastikan kesehatan Vier.

"Pintar, Vier tidak menangis." Erkan mengusap-usap kepala Vier. Mata anak itu berkaca-kaca, tetapi sekuat tenaga Vier tahan agar tidak menangis. Oh, terlihat menggemaskan bagi Erkan.

"Uhmm.. Vier kan kuat." Ya kuat, betapa kuatnya Vier hingga suaranya bergetar.

"Vier ingat kata dokter tadi?"

Vier mengangguk lemah. "Tidak boleh makan telat, harus makan makanan bergizi, minum vitamin dan obat pemberian dokter."

"Pintar."

Untungnya tak ada masalah dengan tubuh Vier, hanya Magh ringan. Jika di atasi dengan benar akan sembuh seiring berjalannya waktu.

"Nanti minta bibi buatin soup untuk Vier. Biar Vier cepet sembuh ya."

"Iya abang."

Kedua nya pun beranjak pergi, di temani obrolan kecil antara keduanya. Erkan dan Vier terlihat seperti saudara bahagia. Saling melengkapi satu sama lain dan terkesan harmonis.

Orang-orang yang berasa di sekeliling mereka tersenyum tenang memandang kehangatan tersebut.

Termasuk Andra yang kini menatap tajam orang asing di sebelah 'Kakak Angkat' nya.

"Bukannya itu saudara angkat lo yang Ndra? Ngapain dia dsini?" Tanya Faris, teman Andra. Faris menunjuk kearah dimana Erkan dan Vier berjalan.

"Anak disebelah abang lo siapa pula?" Sahut teman Andra satunya, Henry.

Andra tak menjawab, dia mengepalkan tangan kuat, menatap tak suka akan interaksi keduanya. Saudaranya terlihat begitu dekat dengan orang asing itu. Siapa dia?  Kenapa dia bisa bersama saudaranya? Kenapa mereka sangat akrab. Apa hubungan keduanya.

Pertanyaan itu berada dalam benak Andra.

Melangkahkan kaki lebar, Andra berniat mengejar keduanya. Saat akan semakin dekat, Andra bisa mendengar percakapan mereka.

"Nanti, abang belikan kamu es krim tapi satu Corp kecil."

"Satu Corp itu seperti apa abang?"

"Yang pake krupuk itu. Yang moncong."

"Moncong?"

"Iya seperti bibir kamu waktu ngambek."

"Ih abang!"

Hahahahaa..

Erkan tertawa lepas, menggoda Vier ternyata semenyenangkan ini. Lihat saja, wajah cemberut itu terlihat manis.

Mendengar tawa Erkan, tentu Andra semakin kesal. Dia tarik Vier untuk menjauh dari saudaranya. "Lo siapa?" Tanyanya sengit menatap datar Vier.

Vier yang mendapatkan serangan mendadak menatap Erkan meminta tolong. Dia takut, badannya gemetar. Dia jadi ingat waktu ketika dia di palak oleh preman seusai meminta pada orang-orang.

"Gue tanya lo siapa!!" Andra menaikan suaranya marah ketika bocah di depannya tidak menjawab pertanyaannya.

"A-abang." Vier memanggil Erkan. Tangannya menggapai Erkan.

Erkan mendekati Vier, menyembunyikan di belakang tubuhnya. "Dia Vier, Andra."

Andra menatap nyalang Erkan. "Gue ga tanya sama lo. Gue tanya sama ni bocah. Berani banget dekat sama salah satu keturunan Brawijaya." Sadar atau tidak, Andra menyebut jika Bian salah satu keturunan Brawijaya, otomatis pula dia mengakui jika Bian merupakan saudaranya.

"Andra turunkan nada suaramu. Disini rumah sakit."

Andra mendengus, dia tidak mendapatkan jawaban. Menghentakkan kaki kesal, Andra berlalu dari sana. Sebelum itu dia berucap. "Awas aja! Gue adukan lo ke nenek!"

Melihat kepergian Andra, Vier menyembul dari belakang. "Abang, kakak seram itu siapa?" tanyanya polos.

Erkan terkekeh. "Benarkah dia seram?"

"Iya seram. Vier takut abang. Ayo kita pulang, Vier tidak mau disini."

"Ya, ayo pulang."









TBC.

Anak AngkatWhere stories live. Discover now