19.

5.5K 979 53
                                    




Javier membuka pintu utama Mansion. Waktu sudah dini hari. Alasan mengapa dia yang membuka karena Javier tau siapa yang datang.

Setelah terbuka, Erkan masuk dengan wajah lelah. "Loh paman? Kemana maid?" Merasa bingung karena sang paman yang membuka.

Javier tak mengidahkan ucapan Erkan. Dia bersedekap dada memandang sang keponakan. "Kenapa baru pulang?" tekannya. 

Erkan menggaruk lehernya yang tak gatal. "Tadi sore mau pulang, Cuma Vier tidak mau di tinggal, jadi sekalian menetap untuk makan malam." ia menjelaskan mengapa bisa telat. Walaupun ketakutan juga menyertai.

Wajah Javier tak bersahabat. Erkan tau dirinya salah. Kalau tidak keliru, waktu sudah di atas jam 12 malam, maklum jika Javier terlihat marah.

"Apa kamu tidak ingat apa yang paman katakan?" Javier berkata sembari mempersilahkan Erkan masuk. "-duduk di sofa." Javier melanjutkan ucapannya menyuruh Erkan duduk disofa sementara dirinya berdiri. 

Erkan merasa tak enak hati, dia ingat betul ucapan Javier. Dia merasa tak masalah pulang terlambat, pun jika tak salah ingat keluarga ini aktif meski sudah malam. 

"Maaf paman. Aku larut dalam permainan hingga lupa waktu," sesal Erkan. 

"Kamu membuat adikmu menunggu. Paman juga sudah bilang kalau pulang sebelum makan malam," Ujar Javier. 

"Maaf, aku salah." 

"Minta maaf nanti pada Andra. Adikmu begitu kecewa karena kamu mementingkan orang lain dari pada adikmu sendiri." ucapan Javier begitu menusuk. Pria itu sengaja tidak basa basi agar tak bertele-tele. 

Erkan mengerutkan alis. "Orang lain? Maksud paman, Vier?" 

"Memang siapa lagi yang membuatmu hingga lupa waktu hm?" 

"Vier bukan orang lain. Vier adalah adikku paman." Erkan sedikit tak suka, keluarga Brawijaya terang-terangan tak suka pada Vier.

"Jadi Andra bukan adikmu?" Alis Javier terangkat, Javier berkata seakan mengeruk sesuatu dari Erkan. 

"Dia adikku." 

"Tapi kamu menomorduakan adikmu itu dengan adik palsumu." 

Erkan mengepalkan tangannya kuat. "Tidak usah ikut campur, Paman tidak akan mengerti."

"Apa yang tidak di mengerti olehku? Tidak ikut campur? Kalian keponakan paman, menjadi keharusan bagiku untuk membuat kalian akur apapun yang terjadi." 

"Memangnya kapan kami bertengkar?" 

Oke, Erkan tersulut sedikit emosi. Dia berdiri dari duduknya memandang Javier dengan alis menukik. 

"Aku tidak pernah memusuhi Andra. Aku tidak pernah tak menganggap adik padanya. Seharusnya paman mengatakan hal itu pada Andra, bukan padaku. Kenapa paman berkata seolah menyudutkanku?" 

Javier menghela nafas menatap sang keponakan. Didalam benaknya ia tertegun. Karena baru pertama kali Bian atau raga yang saat ini di tempati Erkan berkata secara emosional. 

Perawakan sang keponakan selalu kalem dengan wajah penuh senyuman. Namun yang kali ini terlihat adalah wajah kusut penuh kerutan. 

Fakta bahwa pribadi keponakannya berubah, menjadi pukulan telak bagi Brawijaya terutama Andra. Juga dijadikan pelajaran bagi mereka yang telah menyakiti batin 'Bian' setelah bertahun-tahun lamanya.

Marah? pada siapa? Pada orang yang telah mereka sakiti tanpa di sadari? Bukankah lebih baik intropeksi diri dari pada menyalahkan? 

"Kenapa kalian seperti begitu membenci Vier? Kedekatanku dengan Vier  seperti masalah besar untuk kalian? selama aku tidak mencemari nama Brawijaya itu tidak masalah kan?" 

Jangan salahkan Erkan yang begitu emosional. Kehangatan keluarga Atmaja membuat dia merindukan sosok orang tuanya. Pun adanya Xavier yang begitu mirip adikk nakalnya.

Erkan keluar dari sikap tenang. Perasaan gundah karena takut pada Javier bercampur resah merindukan keluarga. Kebingungan antara ingin kembali tetapi tidak tau bagaimana caranya. 

Ingin pasrah dan menetap tetapi hati menolak. Keinginan bertolak belakang dengan hati. 

Erkan sudah mencoba untuk terlihat biasa tanpa banyak pikiran. Pikirnya dia adalah orang dewasa yang bisa tenang dalam keadaan apapun. 

Tetapi sedewasa apapun dia, Erkan tetap akan menjadi anak-anak ketika merindukan keluarganya. 

"Kita tidak membencinya. Jangan salah paham Bian. Seharusnya kamu sudah mengerti jika keluarga kita membenci orang asing." Untuk pertama kali, Javier menghadapi kekeraskepalaan Bian 'Erkan'.

"Sikap kalian bertolak belakang dengan ucapan paman." 

Tak ingin berhenti walau nada sang paman melembut, Erkan menuangkan bahan bakar pada api berkobar. 

"Sulit sekali beradaptasi setelah ibu pergi. Keluarga ini acuh, aku di benci oleh adikku. Menurut paman, aku tidak papa?" 

Suasana hening, berpadu dengan keterdiaman Javier yang mendengarkan ujaran Erkan.

"Apa karena wajahku selalu menampilkan senyuman?" 

Nyatanya.. Perasaan gelisah itu dirasakan oleh Erkan. Perkataan yang di ucapkan merupakan perasaan Bian asli. 

"Vier orang asing kan. Aku juga orang asing paman. Aku bukan bagian dari keluarga ini. Aku hanya orang beruntung bisa berada disini hari ini." 

Desiran angin malam menembus tubuh keduanya. Javier mengetatkan rahang ketika Erkan mengucapkan kata demikian. 

Asing katanya? Tidakkah Erkan tau bagaimana mereka menganggap dirinya? 

Aliran darah terasa panas bagi Javier. Rasa benci sekaligus marah pada dia 'Vier' yang total mengubah keponakannya. 

Maka, Javier tarik rahang Erkan yang lebih pendek darinya. Berucap rendah penuh penekanan seolah bisikan ancaman. "Jangan menguji kesabaran paman, Bian Tirta." 

Ada apa?

Mengapa?

Kenapa? 

Sejak awal perdebatan mereka melenceng dari seharusnya. Erkan yang sedang kacau melantur kesembarang arah menjawab pertanyaan Javier dengan maksud lain.

Sisi Javier yang seolah menguak sesuatu dari Erkan berakhir meningkatkan emosi dirinya. 







TBC.

Anak AngkatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang