6. Salah persepsi

4.2K 54 2
                                    

Wanita itu terisak di ruangan tengah yang sepi. Dia duduk dengan badan yang sedikit membungkuk; mengobati telapak tangannya secara hati-hati dengan obat merah yang sudah disediakan oleh pelayan pribadi, sebenarnya itu semua adalah tugas sang pelayan, tetapi dengan tegas wanita itu menolaknya akibat merasa bersalah karena menolak isi perjanjian yang sudah ditetapkan. Namun, bagaimana lagi, jika menolak pun tidak ada gunanya jika nyawa jadi pertaruhan? Yuna juga manusia biasa, masih ingin hidup meskipun memiliki hidup yang monoton.

Sebenarnya, yang menjadi masalah di sini adalah pertanggungjawaban, Yuna tidak berhak melakukan yang sebenarnya tertulis di sana. Itu semua adalah masalah ayahnya yang tiba-tiba menghilang karena begitu banyak berhutang dengan orang-orang yang diduga mafia itu.

Pada awalnya, kehidupan Yuna itu begitu tenang. Dia bekerja sebagai office girl di salah satu perusahaan di kota ia tinggal. Namun, karena ayah bajingannya, tanpa sadar ia terjebak di tempat yang seperti neraka ini.

Setelah selesai mengobati luka-luka di telapak tangannya, Yuna langsung melemparkan pandangan ke arah depan di mana pintu masuk ke gedung utara dapat terlihat jelas. Suasana cukup sepi, sehingga membuat pikirannya melayang kemana-mana.

Sejenak Yuna menarik ingusnya yang sedikit keluar dari hidung dan mulai berdiri secara tiba-tiba sembari berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Malam ini, aku harus bisa, pokoknya harus bisa!"

Namun kepercayaan dirinya langsung luntur saat mengingat kesan pertamanya di malam itu; pada saat Gabriel tidur dengan wanita panggilan. Yuna merasa sangat jijik membayangkan dirinya mengantikan wanita yang berada di sana dan melakukan hal bejat kepada orang yang bahkan tidak ia kenal sama-sekali. Apakah masih bisa memilikirkan harga diri jika nyawa sebagai gantinya?

Seketika Yuna mengigit bibir bawahnya sendiri saat mengingat itu lalu duduk kembali di sofa yang bercorak antik dengan wajah pucat dan tanpa ekspresi. Apa aku melarikan diri saja?

Tiba-tiba ada yang membuyarkan pikiran Yuna yang sedang berkecamuk. Seseorang berlenggang dari arah pintu masuk menuju ke arah ruangan di mana ia berada, sontak wanita itu refleks berdiri karena mengira itu adalah anak buah Gabriel yang datang untuk menyekapnya karena sudah melanggar peraturan.

"Aku mendengar dari Gabriel bahwa ada wanita yang baru saja tinggal di sini, dan dugaanku ternyata benar, kau memang terlihat seperti bidadari!" Mikail berjalan ke arah Yuna sembari mengeluarkan kata-kata; dia tidak menyaring apapun yang ada dipikirannya dan langsung mengutarakan hal itu tanpa basa-basi.

Yuna yang sepenuhnya ketakutan tidak bisa membalas ucapan Mikail melainkan membalas dengan melemparkan sebuah senyuman canggung.

Mikail mengangkat satu alisnya dan langsung berdiri kaku menghadap wanita itu dengan ekspresi bingung. "Kenapa, apa aku terlihat seperti monster sehingga membuatmu cemas dan takut?" Pria itu bisa membaca raut wajah Yuna dengan gampang.

Yuna menundukkan pandangan, bahkan tidak berani untuk melirik wajah Mikail; pria itu agak mirip dengan Gabriel, jadi ia takut kalau Mikail juga memiliki sikap yang sama dengannya. "Maaf, T-tuan."

Mikail ikut menundukan kepalanya dan mendekatkan wajah dari arah bawah sehingga bisa melihat wajah Yuna dari sana. "Cilukba!"

Siapa sangka dia membuat lelucon payah dan bertingkah konyol seperti itu.

Tidak diduga, Yuna bisa tersenyum karenanya, tetapi masih mempertahankan posisi seperti tadi dan menunduk dengan waspada.

"Nah, kamu semakin cantik jika tersenyum." Mikail berhasil membuat suasana yang tadi sepenuhnya kaku berubah menjadi santai. Setelah merasa lega, ia mulai menjatuhkan pantat ke arah sofa tepat berhadapan dengan sofa di mana Yuna duduk tadi. "Kamu bisa bersikap santai denganku, aku bukan Gabriel," ungkapnya memberikan sebuah kalimat singkat.

Yuna yang mendengar itu mulai mengangkat kepalanya dan menatap Mikail dengan wajah yang takut, tetapi tidak separah tadi. "Kalau boleh tahu, Tuan siapa?" Ia bertanya sembari memaksakan diri karena penasaran dengan orang asing yang berhadapan dengannya sekarang.

"Aku?" Mikail menunjuk dirinya sendiri, dalam hitungan detik ia berdiri kembali sembari merapikan pakaian bagian atas dengan percaya diri lalu menunjukan dirinya sembari menepuk dada sekali dan menempelkannya di sana. "Namaku, Gabriel Kang, kakak dari Gabriel dan tinggal di gedung bagian selatan, kamu tahu, 'kan di mana?"

Yuna mengangguk mengerti. Namun, dia pikirannya sedikit terditraksi saat mengetahui bahwa ada di dalam surar perjanjian mengenai larangan baginya untuk ke gedung selatan. Apakah Tuan Mikail lebih berbahaya sehingga aku tidak dibolehkan ke gedung selatan?

Mikail kembali bingung dengn sikap Yuna yang terus menerus terlihat seperti orang linglung. Ia mulai menjentikan jarinya ke arah wanita yang sedang melamun itu. "Hei, ada yang salah, ya?"

Yuna tersentak dan tersadarkan saat Mikail menjentikkan jarinya. Ia bahkan menelan ludah pahit sesaat Mikail menatapnya dengan wajah seperti itu. "Maafkan, saya, Tuan."

Dia begitu ketakutan bahkan meminta maaf terhadap hal-hal kecil, apakah perilaku Gabriel semakin tidak tentu arah sekarang? Mikail bergeming, dia ikut berpikir dan melamun juga. Namun, hanya sebentar karena tujuannya ke sini bukan untuk memikirkan masalah siapapun. "Kalau ada hal yang ingin kamu tanyakan atau sekadar meminta bantuan, boleh temui saya setelah ini," lanjutnya lagi sembari melemparkan senyuman lebar layaknya sedang berperan seperti malaikat.

Yuna mengangguk lagi, dia membalas tawaran Mikail dengan suara rendah, tetapi masih bisa didengae oleh orang yang berada dekat dengannya. "Terimakasih, Tuan."

Mikail tertawa kembali saat melihat tingkah Yuna yang seperti itu. "Eh, ada sesuatu di wajahmu!" ucapnya tiba-tiba sembari menunjuk ke arah yang dituju.

"Ah?" Yuna berusaha mencari benda apa yang berada di pipinya, seketika ia mengira itu adalah tanah dari tempat di mana ia mencabut rumput tadi. "Apakah masih ada, Tuan?"

Mikail langsung mendekat ke arah Yuna dan tanpa basa-basi menyentuh pipi wanita itu. "Sebentar, ya?" Dia meminta izin untuk menyentuhnya sekian detik.

Yuna sedikit mendongak ke arah Mikail dan bertanya kembali untuk memastikan. "Apakah sudah, Tuan?"

Wajah mereka cukup dekat, saking dekatnya kedua orang tersebut bisa merasakan hembusan napas satu sama lain.

Mikail mengelengkan wajah beberapa kali dengan cepat, dia tidak menyangka Yuna secantik itu jika dilihat lebih dekat. Dengan secepat kilat ia mundur dan mengeluarkan sekali lagi kata-kata yang tidak terduga. "Sebenarnya tidak ada apa-apa di wajahmu, melainkan sebuah kecantikan." Rupanya pria itu hanya mengombal dan bersikap modus.

Yuna bergeming, dia hendak mencerna situasi apa yang terjadi saat ini. Bahkan, dia tidak tahu akan mengeluarkan ekspresi apa.

Mikail kembali merasa tegang karena di sudut pandangnya Yuna terlihat hendak menangis. "M-maaf, kalau ucapanku terdengar lancang. Aku hanya ingin menghiburmu."

Yuna yang dikira oleh Mikail akan menangis ternyata melakukan hal sebaliknya, dia bisa tertawa begitu keras karena gombalan Mikail yang terdengar begitu kuno. "Apa yang baru saja kudengar? Itu terdengar sangat konyol!" ujarnya tanpa menghentikan tawa.

Mikail semakin bingung lagi dengan emosi Yuna yang berubah-ubah seperkian detik; dia mematung lagi. Namun, tidak lama, seperti tersihir kembali, dia mulai ikut tertawa bersama-sama dengan Yuna.

Sedangkan di sisi lain, tanpa disadari Gabriel memandang mereka dari balik tembok dengan wajah yang datar; tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan, mungkin tangannya yang mengepal bisa menjadi jawaban.

.
.
.
.
.

Pokoknya vote, kalau gak kelamin kalian ilang😒🔫

DEBT LEGACY 21+Where stories live. Discover now