Bab 5: Jangan Ikut Campur!

55 15 1
                                    


"Kamu hanya manusia biasa, kamu berhak bergantung karena kamu bukan robot yang tak memiliki, jatuh, terluka, dan sakit."

_______

"Belajar yang bener, ya. Baik-baik temenannya," ujar Mentari sembari menatap tiga adiknya yang memasuki lingkungan sekolah.

"Eh, Kakak ipar," sapa seorang teman Langit yang kemarin. Bima dengan semangat menarik tangan Mentari dan salim kepada perempuan itu.

"Kamu beneran mau jadi adik ipar?" tanya Mentari agak menggoda adik bungsunya.

"Kakak!" rengek Awan dari kejauhan.

"Belajar yang bener, jadi orang sukses, bisa jadi imam baik untuk adik saya. Nanti, kalau semua udah kecapai, datang ke rumah lamar langsung."

Setelah berujar demikian, Mentari memasuki mobil. Detik saat mesin mobil dinyalakan, seorang gadis yang waktu itu bernama Aluna. Gadis cantik yang anggun. Dia mendekati Awan dan saat Mentari menoleh, gadis itu menunduk dengan senyum kecil.

Melihat ekspresi wajahnya yang tak kontras dengan wajah tak nyaman Awan membuat hati Mentari berdesir aneh.

***

Sebuah panggilan telepon membuat Mentari mengalihkan perhatiannya ke ponsel yang ada di dashboard mobil. Itu dari teman sekantornya.

'Anissa'

Segera diangkat panggilan itu. "Halo, Nis?" sapa Mentari di awal panggilan.

"Tar, Pak Direktur minta Lo Dateng sendiri ke kantornya nanti buat antar laporan. Katanya, ini karena Lo nggak dateng ke pertemuan kemarin. Dia mau liat Lo."

"Lah? Direktur baru? Kenapa harus gitu?"

"Dia mau liat Lo." Anissa agak menekan kalimat ulangnya.

"Buat apa? Aku juga nggak aneh-aneh."

"Ya, gue nggak tahu. Terserah, intinya gue udah ngabarin. Buruan dateng."

Panggilan dimatikan. Mentari menghela napas dan segera menekan gas untuk menambah kecepatan mobil tua miliknya itu.

"Pak Direkturnya kenapa, sih? Padahal di cabang lain waktu dulu juga nggak kenapa-kenapa kalau aku nggak dateng. Peraturan baru di kantor baru memang agak bikin kurang nyaman." Mentari mulai mengomel karena kesal.

Dia tidak mau berurusan dengan atasan lagi seperti sebelumnya dia berurusan dengan kepala manajer mesum yang gila itu. Bayangan Mentari tentang pria tua mesum yang mirip seperti kepala manajer muncul.

Sungguh, sekarang seluruh tubuhnya merinding. Dia memegang setir dengan erat. Seluruh tubuhnya menjadi dingin karena takut.

"Apa kepala manajer udah ngomong tentang aku? Kalau gini, pasti bakal makin parah."

Hidup di dunia kerja, di mana banyak orang mencari muka dan bersikap munafik membuat Mentari muak sebenarnya. Dia ingin lurus, mengerjakan tugas, menerima gaji, lalu pulang dengan damai. Tetapi, sekarang karena sesuatu yang gegabah Mentari terjebak.

"Tapi, bisa aja direktur mau liat aku karena kemarin nggak dateng. Bisa aja hanya sesimpel itu." Mentari mencoba berpikir baik.

Perfect Family [SELESAI]Where stories live. Discover now