Bab 7: Kita Selesaikan di sini

57 11 0
                                    

"Jangan biarkan lukamu bersarang. Itu hanya akan semakin menyakitimu dan menggerogoti setiap isi hati hingga membusuk nantinya."

_____

Angin sepoi berembus lembut. Suasana damai sore hari itu menciptakan rasa bahagia di saat masalah mereka usai. Awan dan Aluna duduk bersama di rerumputan. Taman belakang sekolah yang hijau adalah tempat pilihan mereka untuk memulai awal baru.

Aluna belajar teknik lukis milik Awan. Lalu Awan melukis dengan teknik baru dan ciri yang baru.

"Gue yakin Lo bisa ngelakuin itu dengan sempurna, Lun." Suara Awan memecah hening. Aluna yang sibuk menggerakkan kuas berhenti. Dia melirik Awan yang masih sibuk menoreh warna di buku sketsanya.

"Lo tahu nggak? Lukisan-lukisan yang gue buat itu adalah hasil dari penuangan isi hati." Awan mulai bercerita di sini.

"Dulu, gue bingung banget mau cerita ke siapa. Abang gue rasanya nggak mungkin dengerin cerita. Ayah atau ibu? Mungkin beban mereka lebih dari gue. Ketika itu jujur gue iri sama orang yang punya kakak perempuan pengertian. Sedangkan gue? Kakak perempuan gue jauh dan dia cuek banget kalau ketemu," tutur Awan. Dia tersenyum lembut sembari kepalanya memutar kembali ingatan lama itu.

"Tapi itu dulu, sekarang gue sama kakak gue nggak gitu." Awan meralat keadaan mereka sekarang.

Aluna hikmat mendengarkan cerita Awan. "Terus?" tanya Aluna.

"Gue yang bingung mau cerita sama siapa. Waktu itu, di usia sepuluh tahun, gue memilih cerita kepada buku gambar dengan alat gambar seadanya. Ada kepuasan ketika gue bisa ngelepasin semuanya lewat gambar dan lukisan. Hal itu gue lakuin sampai sekarang."

Awan tersenyum lembut ke Aluna. Dia memegang bahu gadis itu. "Bahu Lo berat banget, gue tahu. Dan nggak punya tempat cerita itu nggak enak, Lun. Gue ganti teknik dan ciri khas bukan cuma karena cari aman. Tapi juga, karena biar Lo bisa ngerasain hebatnya sama kayak gue. Biar Lo bisa ngelepasin beban berat ini dengan hal yang sama."

Tanpa sadar air mata Aluna menetes. Gadis itu menangis mendengar cerita Awan.

Sedangkan Awan. Dia juga turut menangis. Gadis itu menaikkan buku sketsanya. Menunjukkan ke arah Aluna. "Bahagia dan sedih itu bagian hidup. Tapi, sekarang gue ngerasa hidup gue lebih cerah. Gue bisa cerita, gue punya banyak warna sekarang. Jadi, perubahan ini juga untuk hal itu."

"Cakep banget," puji Aluna melihat lukisan gaya baru Awan.

Lukisan dengan banyak warna. Warna yang harmonis dan indah. Seorang gadis terlihat di gambar itu. Dengan banyak bunga dan senyuman indah gadis itu. Seolah semua beban di hidupnya menghilang.

"Semoga Lo kayak gadis di gambar ini suatu hari nanti."

Tangis Aluna pecah. Dia memeluk Awan dan terisak keras. "Makasih! Makasih, Wan. Maaf gue udah jadi orang jahat di hidup Lo. Maaf."

"Lo nggak jahat. Keadaan yang jahat sama Lo," bisik Awan membalas kalimat Aluna.

***

Di kamar tidur yang mewah. Gadis dengan rambut dikuncir satu duduk berhadapan dengan kanvas yang dipenuhi warna hitam dan abu.

Gambar dengan sedikit noda merah gelap. "Kacau, banget ya hidup gue?" tanya Aluna menatap hasil lukisnya.

"Memang." Suara seorang perempuan dari arah pintu masuk kamar terdengar. Aluna menoleh, mendapati kakak perempuannya ada di depan pintu. "Kacau, sampah, beban."

Perfect Family [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang