Bab 6: Mari, kita cerita

64 16 0
                                    


"Cerita tidak membuatmu lemah. Cerita lah karena bebanmu itu terlalu berat. Cerita lah karena kamu akan merasa baik jika melakukannya. Tapi cerita lah, pada orang yang tepat."

___


Kamar yang terlihat rapi dan sunyi, beberapa buku pelajaran tersusun rapi di rak dan meja. Terlihat Langit duduk mengerjakan tugasnya. Penglihatan yang jelas dari layar komputer.

Netra hazel seorang gadis terlihat melengkung. Bibirnya tersenyum menatap layar yang menampilkan aktivitas Langit.

"Rajin banget, sih. Cowok idaman banget." Dia bergumam sembari menopang dagu. Masih menatap lekat layar komputer.

***

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Langit yang semula sibuk menatap buku. Dia berjalan menuju pintu dan membukanya.

"Awan?" tanya Langit saat melihat adiknya datang dengan mata sembab. Dia memeluk Langit dan memecah tangis. "Kenapa?"

"Awan benci Kak Mentari!" serunya.

Mentari yang baru saja memasuki rumah dengan keadaan yang berantakan. Mendengar kalimat Awan membuat Mentari tersenyum getir.

Gadis itu langsung menuruni tangga dan pergi dari sana. Sedangkan Angkasa langsung keluar dari kamar saat mendengar teriakan Awan.

***

Ketiganya duduk di kursi ruang tamu. Awan bersandar pada Angkasa sembari menatapi potret mendiang kedua orang tua mereka. Sejak tadi gadis itu menangis, sehingga dua saudaranya enggan bertanya.

Dirasa keadaan sang adik mulai tenang. Angkasa memutuskan untuk menyuarakan pertanyaannya. "Sebenernya Lo kenapa, Wan?" tanya Angkasa memulai percakapan.

Awan tidak menjawab. Dia masih terisak.

"Dia ngejual lukisannya. Terus yang beli itu ngerebranding lukisan itu. Entah, orang itu ngebeli atau bahkan mencuri secara terang-terangan." Mentari keluar dari kamarnya. Dengan kacamata yang bertengger. Gadis itu keluar dengan hanya menggunakan baju tidur lengan pendek. Tanpa hijab.

Sontak Angkasa dan Langit tertegun, sempat mereka lupa akan masalah dan memalingkan wajah.

"Kita saudara," ucap Mentari saat melihat dua adiknya memalingkan wajah. Mentari duduk di lantai. Meletakkan laptop yang dia bawa.

"Maksudnya gimana, Kak?" tanya Angkasa.

"Siapa yang gituin Awan?"

"Sahabat dekatnya!" Mentari menekan kalimat. Dia menatap Awan yang sudah tertunduk. "Sorry, Wan. Aku Kakak kamu, mustahil aku diam hanya melihat hal kayak gitu terjadi sama kamu. Melukis bisa jadi jalan terbaik untuk masa depan kamu. Kamu lihat, dia mendapat keuntungan besar dari kebodohan kamu."

"Tapi, kalau Awan nggak ngelakuin itu, Bang Langit bisa susah dapet beasiswa ke luar negeri, Bang Angkasa juga nggak akan masuk timnas Basket kayak yang dia impikan, terus Kakak-"

Awan menggantung kalimatnya. Dia menelan Saliva dan menatap Awan. "Dia bilang bakal bikin posisi Kakak di tempat kerja dalam bahaya."

Mentari menghela napas. "Kakak tahu kamu anak cerdas Awan, Kakak tahu. Seharusnya kamu nggak kayak gini."

"Lo nggak pernah cerita ke kita," ucap Angkasa.

"Karena kalau gue cerita-"

"Dia terus ngancem Lo? Dan Lo bertahan sejauh ini dengan bodohnya?" sarkas Langit.

"Udah, jangan serang Awan." Mentari melerai.

Dia mengarahkan layar laptop ke arah tiga adiknya. "Bisa baca?"

Perfect Family [SELESAI]Where stories live. Discover now