Epilog

102 12 2
                                    

"Ayah, Ibu, kami berhasil."

______

Waktu berjalan tanpa henti, waktu membawa manusia pada saat-saat yang berharga dan berjalan sangat cepat. Waktu membuat manusia bertemu dengan banyak hal di kehidupannya, dan waktu membuat manusia tak sadar tentang waktunya hidup di dunia.

Gedung pameran Sky galery. Begitu ramai, banyak orang menghadiri peresmian gedung itu. Lukisan dari seseorang yang begitu disukai banyak orang akan terpajang di sepanjang dinding ruangan.

Di dalam, seorang gadis dengan gaun putih bersih terlihat sedang bercengkrama dengan orang-orang yang datang.

"Awan!" seru seseorang dari kejauhan. Terlihat, Aluna datang dengan warna gaun putih juga, berhias beberapa manik biru. Dia datang bersama Yara. Dua saudari yang akhirnya akur. Dua saudari yang memilih berhenti dari pergulatan kuasa di keluarganya.

Aluna memeluk Awan. "Selamat!"

"Terima kasih," ucap Awan. Aluna menyerahkan buket bunga tulip putih kepada sahabatnya. Awan menerima dengan senang hati.

Yara membawakan bingkisan. "Dari negara sebelah," ucap Yara.

"Widih, dari Australia nih?" Awan terlihay antusias menerima hadiah dari Yara.

"Yang lain ke mana, Wan?" tanya Yara.

"Biasa Kak, jam orang Indonesia. Jam karet," balas Awan dengan wajah sebal.

Tiba-tiba saja, suara orang-orang terdengar sangat riuh. Dari arah pintu masuk terlihat rombongan dengan gaun putih dan kacamata hitam. Dua anak kecil berjalan paling depan dengan membawa papan bunga dibantu seorang pria di belakang mereka. Kemudian sisanya di belakang menyerukan kata. "Selamat"

Yah, itulah keluarga Awan. Tiga saudaranya, satu Abang ipar, satu kakak ipar, dua keponakan yang aktif, dan satu keponakan bayi yang kalem. Lalu, ada orang tua dari Astra dan Lidya yang sefrekuensi.

"Itu mereka." Awan berujar dengan suara pasrah. Energinya habis karena melihat mereka yang heboh.

"Selamat Mbi Awan!" teriak dua anak laki-laki yang dari tadi membawa papan bunga.

Awan tersenyum. "Makasih, Upin Ipin Mbi yang ganteng!"

Astra menghela napas. Dia meletakkan papan bunga di sudut ruangan. Dia menatap dua anaknya yang sudah bercengkrama dengan Awan.

"Bagus banget, Wan galerinya," puji Ratna.

"Alhamdulillah, Ma. Ini pilihan Kak Lidya, hehe."

"Kak Lidya, aja?" tanya Angkasa yang merasa ditinggalkan.

"Hehe, Bang Angkasa juga."

Angkasa yang menggendong putrinya itu menyerahkan hadiah kepada Awan. "Itu dari kita semua."

"Buatnya berjam-jam itu, Wan." Langit menimpali.

Awan melihat lukisan yang dibuat oleh keluarganya. Lukisan amatir tetapi berharga. "Makasih. Awan suka."

"Jangan dijual, Nak," timpal Laras-ibunda Lidya.

"Nggak, kok, Bunda." Awan tertawa.

Yah, ini keluarga Awan. Keluarga besar yang hangat.

"Eh, belum terlambat, 'kan?" tanya Echa yang baru saja tiba. Dia terlihat kewalahan dengan tiga anaknnya.

"Guntur, tolongin!" seru Echa.

Semua orang menahan tawa melihat pasangan itu. Pasangan getol bikin anak. Dalam waktu enam tahun mereka sudah punya tiga anak, jalan empat.

Enam tahun sudah berlalu, banyak yang berubah. Banyak yang berkembang, banyak kebahagiaan juga masuk ke kehidupan mereka.

"Ekhem." Seorang pemuda datang dengan pakaian kantor serba putih.

"Mau nikah Lo, Bim?" cibir Langit.

"Iya, sama adek Lo. Lo kapan?"

Bima yang baru datang mengedip mata pada Awan. Melihat itu Awan hanya bergidik ngeri.

Bima berjalan mendekati Awan. "Cil, apaan tuh di tangan kiri Lo!" teriaknya heboh. Awan reflek mengangkat tangan kirinya. Bima cepat menahan tangan itu dan memasangkan cincin di jari kelingking Awan.

"Oke, kita nikah."

"Apaan, sih?" sinis Awan.

Bima memasang wajah memelas. "Lo nolak gue, cil?" tanya Bima.

"Iya, nggak, sih."

Bima tertawa. "Oke kita nikah!" serunya sembari ingin memeluk Awan.

Akan tetapi, dicegah Langit. "Nikah dulu baru dipeluk!"

"Iri aja Lo lajang tua!" ejek Bima.

***

Dua pusara kubur yang ditumbuhi rerumputan segar. Dua pusara milik kesayangan Awan, Mentari, Angkasa, dan Langit.

"Ayah, Ibu, hari ini Awan buka galery lukis kayak impian Awan waktu kecil."

Awan menahan tangisnya. "Awan senang, bisa jalan sejauh ini. Awan hebat 'kan, Bu, Yah?"

Mereka menaburi bunga di atas puasara itu.

"Ayah, Ibu, kamu berhasil." Mentari mengusap nisan orang tuanya. "Kami mencapai kebahagian itu. Kamu mengatasi masalah kami dengan baik. Tapi tetap, yang kami inginkan adalah kehadiran kalian dalam setiap langkah." Mentari menghapus air mata yang luruh.

"Tapi, waktu nggak bisa diubah." Angkasa menimpali.

"Meskipun jauh, Ayah sama Ibu selalu ada di hati kami. Di dalam doa kami," ungkap Langit.

"Terima kasih, Ayah Ibu. Karena kalian kami tumbuh dengan cinta. Kami rindu Ayah dan Ibu. Kami sayang kalian."

Tamat



Perfect Family [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang