Bagian 0 - Logika dan Cinta

1.3K 52 11
                                    

Namaku Phobia, aku adalah seorang siswi kelas 2 akselerasi di sebuah SMA swasta. Aku mungkin terlihat seperti gadis remaja pada umumnya, tapi kenyataannya tidaklah seindah itu.

Ada beberapa hal dalam diriku yang tak biasa, dan itu menjadi masalah bagi orang lain saat mereka mengetahuinya.

Terkadang aku berharap agar orang-orang berhenti memperdulikan urusan orang lain seperti masyarakat pada umumnya sekarang.

Bukankah akan menyenangkan ketika masyarakat hanya hidup mementingkan diri mereka sendiri, dan tidak memperdulikan apa yang orang lain lakukan asal hal itu tidak berbahaya bagi diri mereka?

Semenjak aku dilahirkan di dunia ini, aku sedikit merasa kesulitan berkomunikasi dengan orang lain, khususnya dalam mengemukakakan emosiku, khususnya pada orang-orang yang tak kukenal.

Tapi sebaliknya, ketika ada sesuatu yang menggangguku, aku terkadang akan mengamuk sejadi-jadinya.

Satu-satunya orang yang bisa bersabar dengan kondisi tak biasaku ini adalah kakakku, Damian. Ia lebih tua dua tahun dariku, akan tetapi aku dan dia kini sama-sama duduk di bangku kelas 2 SMA, meski kelas kami berbeda.

Sejak kecil, hanya kakakku saja yang ada disampingku untuk menenangkanku.

Kedua orangtua kami mati, untuk beberapa alasan dan kini kami tinggal bersama orangtua angkat kami yang tidak peduli pada kami selain demi hanya untuk melihat nilai sempurna di rapot kami.

Hal itulah yang menyebabkanku menganggap bahwa Kakak Laki-lakiku adalah segala-galanya dalam hidupku.

Entah kenapa setiap berada di dekatnya aku bisa mengontrol emosiku menjadi mudah. Tapi sayangnya, hal ini membuatku terlalu bergantung pada kakakku.

Aku tidak bisa lepas dari kakakku, bahkan untuk urusan pribadi seperti mandi dan tidur.

Tanpa Kakakku aku bukanlah apa-apa, jika ia tidak berada di dekatku, denyut jantungku akan berdetak semakin kencang, keringat dingin membasahi tubuhku, dan aku menjadi sangat gelisah.

Sampai akhirnya aku sampai pada tahap histeria dan melakukan hal mengerikan seperti memecahkan kaca jendela, memukulkan tanganku ke lantai, sampai membenturkan kepala temanku ke tembok.

Untuk mengatasi keganjilan dalam diriku ini, Kakak mencoba mensugestiku agar berpikir kalau Ia selalu bersamaku.

Denga memberikanku sebuah liontin yang berisi foto kami Kakak berhasil mengatasi keganjilanku ini.

Cara ini berhasil! Aku bisa pergi ke sekolah seperti anak perempuan normal lainnya dan jika penyakitku mulai kumat, akan kupandangi wajah kakak dalam foto itu sepuasnya.

Awalnya semua baik-baik saja, sampai kemudian teman-teman sekelasku mengetahui kebiasaan anehku itu.

Teman-temanku menganggapku aneh, dan beberapa dari mereka mencoba menggangguku. Aku pernah berniat untuk membalas mereka, tapi kakak selalu berkata kalau aku harus bisa menahan emosiku.

Aku tidak ingin jika Kakak sampai membenciku, untuk itulah aku menuruti kata-katanya.

Bagiku di dunia ini hanya ada aku dan kakak, dengan begitu aku akan bisa bersikap tak acuh terhadap setiap gangguan yang ada di sekitarku.

Yap, selama tanganku memegang kalung liontin berisi foto kakak.

Namun tidak untuk hari itu...

Salah satu teman sekelasku yang berbadan bongsor merenggut kalung itu dengan paksa saat aku lengah, lalu babi itu melemparkan kalung liontin itu pada temannya.

Ketika kalung itu lepas dariku, aku serasa terbangun dari mimpi indah dan melihat kenyataan yang mengerikan.

Kakak tidak ada di sampingku

Detak jantungku berdebar dengan cepat, dadaku menjadi sesak dan nafasku tersengal, seolah-olah udara di dalam kelas ini terhisap begitu saja dan menghilang dalam kegelapan.

Kurasakan kepalaku berdenyut dengan kerasnya, kucoba mengurangi rasa sakit itu dengan memijit ubun-ubunku yang tertutup rambut panjangku. Akan tetapi hal itu malah membuatku merasakan sakit.

Aku berteriak, menatap nanar pada babi gila dan teman-temannya, lalu berdiri beranjak dari kursiku setelah kudorong meja dan kulempar buku-buku pelajaranku keseluruh kelas.

Sambil memegangi kepalaku, aku mulai berjalan mendekati sebuah kursi kayu yang tergolek di lantai.

Kupandangi kursi dan babi-babi sialan itu bergantian, lalu semuanya berubah menjadi gelap

Rumah-rumahanWhere stories live. Discover now