Bagian 9 - Dunia yang menjadi gila

328 22 0
                                    

"Selamat malam anak-anak...

Kuharap aku tak mengganggu kalian."

Tunggu, sepertinya suara itu adalah suara yang sama dengan suara ayah angkat Ian dan Phobia?

Kenapa dia ada disini? Bukankah seharusnya dia ada diluar kota? Bukankah itu yang Ian katakan di telepon kemarin?

"Ahh Papa Hendra... Bagaimana patung buatanku? Apakah Papa menyukainya?"

Phobia tak mengacuhkanku, ia berbicara dengan sosok yang tak terlihat olehku itu. Membiarkanku tergeletak di atas lantai. Bermandikan darah dan rasa sakit yang terus-terusan membuatku mengerang kesakitan.

"Jangan seenaknya memanggilnya Papa, Phobia. Kalau dia sudah tidak membutuhkan kita, dia pasti akan membuang kita"

Ian menginjakku dengan sepatunya, membuat beban yang ada di punggungku semakin berat. Ia kini berbicara dengan Ayah angkatnya, aku cukup terkejut melihat perbedaan yang sangat jauh dalam dirinya.

Ketika di sekolah ia nampak seperti anak baik yang berbicara dengan sopan pada ayah angkatnya, Tapi sekarang.

"Kamu memang tak pernah berubah ya bocah, mulut kotormu memang susah dijaga kalau tidak ada orang lain di sekelilingmu selain kita.

Ahh aku hampir lupa untuk berterimakasih padamu Phobia, kau bekerja dengan sangat keras.

Mengeksekusi lima orang, memotong-motong tubuh mereka tanpa membunuhnya, lalu mengubah mereka menjadi patung?

Brilian sekali! Aku tak pernah menyesal memutuskan untuk menjadikanmu anak angkatku.

Tunggu, jadi patung-patung tadi berasal dari tubuh manusia asli?

Tidak mungkin! Bagaimana gadis sekecil itu melakukannya? Aku tidak melihat orang lain selain kami berempat. Hal seperti itu tidak mungkin dilakukan oleh gadis sekecil itu bukan?

"Terimakasih Papa..."

"Ngomong-ngomong, siapa anak perempuan yang sedang kalian mainkan itu? Entah mengapa wajahnya tidak terasa asing dimataku."

Untuk sejenak Phobia dan Damian terdiam, sementara aku yang tengkurap diatas lantai yang dingin dengan paku-paku dibawah tangan dan kayu salib dipunggungku juga terdiam.

Ian menjambak rambutku, lalu menunjukkan wajah menyedihkanku dihadapan Ayah Angkatnya.

"Papa, ingat anak perempuan yang sering menggoda Kakak?"

"Ahh aku ingat, sayang sekali ya, gadis itu sepertinya memiliki rasa simpati yang kuat.

Sayang sekali rasa simpatinya harus kepada orang yang salah."

Mahendra tertawa terbahak-bahak, ia lalu kembali berjalan meninggalkan kami, langkah kakinya diatas lantai logam terdengar bergema disetiap sudut ruangan.

"Nah... Sampai dimana tadi Kak?"

Ian tiba-tiba membalikkan tubuhku beserta kayu salib di punggungku. Aku terlalu lelah untuk berteriak, Aku sudah menyerah, dan aku berharap Ian segera membunuhku.

Setidaknya hal itu lebih baik daripada harus terus menderita seperti ini.

Dengan luka-luka mengerikan di kedua tanganku, hanya amputasi jalan terbaik untuk menyelamatkanku. Tidak pernah sekalipun dalam hidupku aku memikirkan akan hidup tanpa kedua tangan. Lebih baik aku mati saja daripada harus menderita untuk kedua kalinya.

Ian melepaskan ikatanku. Dengan kasar ia menarik tanganku, ia lalu menyeretku diikuti oleh Phobia.

Kami berhenti di dekat meja dengan gesper-gesper hitam. Di meja itulah Ian kembali mengikatku.

"Cabut semua pakunya kak..."

Ian menurut, ia ambil sebuah penjepit besi dari kotak perkakas. Dengan susah payah, ia berusaha mencabut paku-paku di tubuhku dengan susah payah.

Rasanya dua kali lebih menyakitkan daripada ketika paku-paku itu masuk. Kugigit bibirku sampai berdarah, Ian hanya melirikku. Ia terus menerus melakukan pekerjaannya tanpa bicara.

Setiap paku itu keluar, darah kemerahan dan cairan putih keluar dari tanganku, warnanya seputih salju tetapi baunya tercium amis dan anyir.

"Sial, baunya busuk sekali."

Setelah semua pelerjaannya selesai, Ian terdiam. Kemudian ia mendekati Phobia yang telah menunggunya tak jauh dari meja tempatku berbaring.

"Aku sudah menyelesaikannya Phobia, kali ini apa yang harus kulakukan?"

Kulihat Phobia tersenyum, Seringainya keluar berkali lipat lebih mengerikan.

"Cukup kak... Kali ini akan kuurus sendiri. Kakak tak mau melihat tubuh telanjang sampah itu bukan?"

Ian hanya mengangguk, ia lalu berjalan keluar.

Meninggalkanku dengan mimpi buruk paling mengerikan dalam hidupku.

Aku ingin berteriak pada Ian.

Kalau saja tadi Ian menyiksaku di gudang. Pasti kini aku sudah mati dengan tenang. Aku tak perlu menyaksikan pemandangan patung-patung monster yang tersusun dari tubuh manusia. Aku juga tak perlu kehabisan nafas dan menahan rasa sakit berulang-ulang selama berjam-jam.

Namun yang lebih penting dari itu adalah, aku tidak perlu berhadapan dengan gadis kecil yang sedang memainkan gunting bedah sambil menyeringai dihadapanku.


Rumah-rumahanحيث تعيش القصص. اكتشف الآن