Bagian 2 - Namaku Damian

611 45 2
                                    

Namaku adalah Damian, kelas 2 SMA di sebuah sekolah swasta, sementara itu umurku yang sekarang adalah 16 tahun.

Semua orang di dunia ini memiliki sesuatu yang dinamakan keluarga, tak peduli apakah mereka saling memiliki ikatan darah atau tidak.

Konsep keluarga adalah lembaga sosial pertama yang tercipta setelah Adam dan Hawa bertemu, dan sampai hari kiamat nanti aku yakin lembaga sosial yang akan tetap bertahan hanyalah keluarga.

Satu-satunya orang yang kuanggap sebagai keluarga dalam hidupku ini hanyalah adik kecilku.

Aku dan adikku hidup telah hidup bersama dalam waktu yang lama bersama ayah angkat kami, apakah kami bahagia?

Mungkin iya, dan aku berharap begitu. Hubunganku dengan adikku sepertinya cukup dekat jika dibandingkan dengan keluarga orang lain, terlalu dekat malah.

Bahkan karena kedekatan kami itu, terkadang aku pernah berharap agar aku tidak pernah menjadi kakaknya.

Siang itu adalah jam sosiologi, biasannya aku bisa menikmatinya dibandingkan pelajaran lainnya dengan mendengarkan ceramah tentang penyimpangan sosial atau kriminalitas.

Akan tetapi tidak untuk kali, ada suatu hal yang menggangguku, firasat aneh yang tiba-tiba menyeruak dalam diriku.

Bel istirahat masih beberapa menit lagi berbunyi.

Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa pelajaran akan segera diakhiri.

Berkali-kali kumengetuk meja dengan ujung kukuku, mataku menatap lembar buku tulisku yang kosong.

Firasatku terasa makin memburuk, seakan ada sesuatu yang memanggilku, terus memanggilku dalam kegelapan. Kuremas batang pensil kayu dengan kencang sampai nyaris patah, tapi kuurungkan karena pensil itu adalah pemberian Adik kecilku.

Kuatur nafas agar tidak ada hal gila yang aku lakukan saat menunggu jam pelajaran berakhir.

Aku ingin segera pergi. Terpikir olehku untuk izin ke kamar mandi, tapi sepertinya rencana itu akan gagal. Guru Sosiologi tua itu pasti akan memintaku menunggu sampai jam pelajaran selesai.

Setelah detik-detik penantian panjang, akhirnya lonceng pertanda pergantian jam berbunyi. Kumasukkan buku pelajaran dan alat tulisku dengan segera tepat saat guruku sedang mengakhiri pelajaran.

Ketika guruku beranjak keluar, aku segera berdiri dan berjalan cepat keluar.

Namun sayangnya, sesosok gadis yang lebih pendek dariku datang menghalangi jalanku. Gadis itu memiliki rambut panjang sebahu dengan sepasang mata yang polos menatapku.

"Mau kemana Ian?"

Sesosok gadis yang menggangguku adalah Clara, teman sekelasku. Rambut hitamnya tergerai panjang kebelakang tubuhnya.

Akhir-akhir ini ia sering sekali menyapaku, ia juga sering terlihat mencoba untuk ramah dan akrab denganku, hal itu terasa sedikit menggangguku

Bukannya aku tak menyukai perhatian darinya, akan tetapi terkadang semua hal itu terasa menyebalkan.

"Maaf Clara, aku harus..."

"Jangan..."

Sebelum kakiku sempat beranjak dari lantai, Clara memegang tanganku, membuatku tertahan beberapa detik bersamanya.

Haruskah ia melakukannya? Aku sangat berterimakasih dengan semua perhatiannya padaku, tapi aku akan benar-benar membencinya jika semua perhatian itu malah menggangguku.

"Berhentilah menemui gadis itu Damian!"

Ekspresi wajah ceria Clara berubah menjadi muram, ia menatap wajahku dengan tatapan serius.

Perlahan-lahan aku mulai menyadari kemana arah pembicaraan ini, pada awalnya semuanya hanyalah kabar burung, sampai kemudian teman-temanku mulai membicarakannya di belakang punggungku.

"Kau mau menemuinya bukan?

Kau tidak harus melakukannya Ian, kalau terus seperti ini, ia akan terus bergantung padamu."

Aku membuang wajahku, mengalihkan mataku pada tumpukan buku di meja guru. Aku benar-benar membenci hal ini, kenapa orang-orang selalu memiliki banyak waktu untuk memikirkan urusan orang lain?

Tak ada seorangpun di dunia ini yang akan mengerti, bahkan Clara sekalipun, Adik kecilku itu selalu membutuhkanku, ia takkan pernah bisa hidup tanpaku.

Seadainya saja aku bisa menjelaskan semua hal itu pada orang-orang. Akan tetapi meskipun aku telah menjelaskan semuanya kepada mereka, akankah mereka akan mengerti?

"Kau juga sudah dengar sendiri bukan?

Gosip tentangmu dan juga dia?"

Kata-kata Clara membuatku terdiam. Kami berdua sama-sama diam membisu, teman sekelas kami yang masih di kelas berpura-pura melakukan aktivitas lain sambil dengan diam-diam mencuri dengar pembicaraan kami.

Tiba-tiba, terdengar sebuah suara nyaring dari luar kelas.

Aku langsung mengambil langkah seribu menuju arah suara yang membuat jantung ini berhenti berdetak.

Tak kuhiraukan panggilan dari Clara. Aku bergegas secepat mungkin sebelum semuanya terlambat.

Langkahku berpacu cepat melewati gerombolan anak-anak kelas 1 yang berlari menuju kantin sekolah.

Sesampainya aku di sana, kulihat kondisi kelas milik Adik perempuanku seperti kapal pecah.

Kursi-kursi, pecahan kaca jendela, dan buku-buku, semuanya tergeletak tak beraturan di atas lantai kelas. Sebagian besar siswa berada di luar, membaur bersama yang lain sambil menonton dari kejauhan.

Anak-anak yang masih di kelas hanya berdiri merapat ke tembok tak berkutik sama sekali. Mereka hanya dapat menutup mata ketika seorang bocah gemuk dipukuli dengan kursi dihadapan mereka.

Tubuh besar bocah itu tak berdaya ketika ada sebuah kursi kayu dari kayu jati menghantam tubuhnya berkali-kal.

Tak jauh darinya sesosok gadis kecil berambut panjang terlihat terengah-engah dengan sebuah kursi kayu ditangannya

Melihat semua hal itu aku hanya terdiam dan bersikap tenang, aku tahu cepat atau lambat hal itu akan terjadi, dan aku tak terkejut karenanya.

Di kerumunan keramaian itu kulihat seorang gadis berpita merah mencoba mencuri pandang lewat jendela, beruntung aku mengenali gadis itu sebagai salah satu teman Phobia.

"Anita! Apa kau tahu apa yang terjadi pada Adikku?"

Gadis itu menatapku dengan wajah ketakutan, ia terlihat terkejut dengan kehadiranku.

"Maaf Ian, aku sudah mengatakannya pada teman-teman, tapi mereka tak mau mendengarkanku...

Tadi Jony dan yang lainnya mengganggu Phoby, awalnya dia cuek seperti biasa.

Tapi semua berubah saat Jony mengambil kalungnya dan ia gunakan untuk bermain lempar tangkap."

Aku menghela nafas panjang. Dengan santai, aku menembus kerumunan yang menghalangi jalan menuju kelas yang porak poranda.

Kucoba tak mengacuhkan tatapan mata, dan suara bisik-bisik yang perlahan terdengar.

Ketika jarakku semakin dekat dengan Adikku Phobia, Gadis kecil itu terkejut menyadari keberadaanku. Kursi di tangannya jatuh begitu saja dan sesuatu seperti Kristal yang bening menetes dari sudut matanya.

"Kak Ian..."

Ia memanggilku dengan terbata-bata, kuelus kepalanya degan lembut sembari tersenyum.

"Ayo kita pulang, Phobia......."

Rumah-rumahanWhere stories live. Discover now