Bagian 5 - Pacar Untuk Sahabatku

437 31 0
                                    

Kini aku berdiri di sini, menunggunya dalam remang-remang taman kota. Berdiri dibawah pohon rindang yang hanya disinari lampu taman berbentuk bola kuning.

Beberapa jam lalu aku menelponnya, bertanya tentang keadaannya, juga adiknya Phobia.

Dalam telepon itu aku memintnyaa untuk menemuiku. Menawarkan bantuan agar semua masalah yang Ia dan Phobia hadapi bisa baik-baik saja, seakan tak pernah terjadi apapun.

Itulah bagaimana aku bisa berada di sini, di taman kota pada pukul 10 malam.

Semenjak kejadian itu, Ian menjadi sangat pendiam. Ia berkali-kali menggunakan handphonenya di kelas dan tidak memperdulikan pelajaran. Tak ada satupun guru di kelas yang berani menegurnya, dan hal itu membuat teman-teman membencinya.

Untuk itulah aku ingin segera membicarakan semuanya dengan Ian, dan dengan begitu aku harap semua masalah ini akan selesai.

Setelah menunggu selama beberapa menit, aku mencoba membunuh kebosanan dengan memainkan handphoneku. Melihat beberapa blog misteri dan mencoba memecahkan beberapa riddle di dalamnya.

Aku sedang berkonsentrasi untuk memecahkan salah satu cerita riddle, sampai kemudian sebuah tepukan lembut di bahu kananku membuatku terkaget-kaget sampai hampir membuat handphoneku terjatuh ke atas lantai beton.

"Astaga, Ian?! Bikin orang kaget saja !"

Ia benar-benar datang, tapi tak kusangka akan secepat itu. Beberapa menit lalu Ian berkata kalau ia akan datang, dan aku benar-benar tak menyangkanya.

Bagaimana caranya agar ia bisa lepas dari adik kecilnya?

"Menunggu lama?"

Aku menggeleng, kami duduk di salah satu kursi taman. Memandangi air mancur di depan kami sambil mulai berbagi cerita

"Gimana kabarnya Phobia? Dia ngga apa-apa kan semenjak..."

"Dia baik-baik saja, selama liontin itu ada bersamanya. Adikku Phobia kini mungkin sedang tertidur nyenyak di kamarnya"

Aku tersenyum kecil sambil mengangguk pelan, kubayangkan gadis kecil itu kini sedang tertidur pulas sambil memeluk bonekanya.

Wajahnya pasti sangat manis ketika ia sedang tertidur.

Wajah yang sangat mirip dengan kakaknya Damian.

"Tapi sayang sekali ya, Ian dan Phobia harus mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan..."

Ian hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya. Aku tidak bisa melihat kedua matanya, entah ekspresi apa yang kini ia buat.

"Clara, memanggilku malam-malam begini...

Tentu ada hal penting yang ingin kamu sampaikan padaku bukan?"

Sekali lagi aku menganggukkan kepalaku, hari itu langit cerah berbintang. Entah kenapa langit malam hari ini begitu cerah.

"Aku...

Ingin meminta maaf pada Phobia, tidak seharusnya aku mencoba memintamu untuk menjauh darinya.

Karena hal itu takkan menyembuhkannya."

"Jadi , pada akhirnya kamu memilih menyerah?"

"Tidak Ian, aku memikirkan hal yang lainnya.

Adikmu membutuhkan seseorang yang berada dalam satu lingkaran dengan kalian, seseorang yang dekat dengan Phobia dan juga denganmu.

Dengan begitu setidaknya Phobia takkan terlalu bergantung padamu"

Ian memandangku, ada tanda tanya besar diwajahnya. Ketika mata kami saling berpandangan, aku melihat mata cokelat emas milik Ian. Mata yang indah, tapi ada luka disana.

"Apakah Phobia akan keberatan kalau kakaknya memiliki pacar?"

"Hah?"

Ian menjauhkan wajahnya dariku, ia berpaling, lalu menutupi sebagian wajah dengan tangan kanannya.

"Apa ada yang salah? Dengan ini setidaknya kamu memiliki teman untuk mengawasi adikmu. Selain itu...

Gosip-gosip yang menyebar itu mungkin akan..."

Aku terdiam, entah kenapa aku merasa sedang memanfaatkan keadaan. Tapi aku tak bisa menarik kata-kataku. Lagipula pemikiran ini terlintas begitu saja.

"Aku mengerti maksudmu Clara. Tapi bagaimana kalau Phobia menolaknya?"

Ian menatapku, ia tersenyum meskipun dengan terpaksa. Entah kenapa aku merasa wajahnya memucat dan keringat dingin menetes di pipinya.

"Mungkin kita bisa mencari cara lain"

Aku terdiam, kami terdiam seakan dinginnya malam membekukan kata-kata kami.

"Rasanya sedikit canggung ya? Aku sedikit haus, mau aku belikan kopi di dekat mini market ?"

"Eh?"

Aku memandang Ian yang kini berdiri, bersiap untuk pergi. Ia mungkin merasa tidak nyaman, aku telah menyinggung hubungan antara ia dan adiknya.

"Ka... Kalau begitu, boleh aku memesan espreso?"

Ian mengangguk kecil, lalu setengah berlari ia pergi. Melompati semak-semak dan menghilang di tikungan jalan.

Kini aku sendiri, menunggu Ian datang sambil membawa dua espreso hangat untuk melelehkan kebekuan kami.

Aku selalu benci menunggu tanpa melakukan apapun. Karena itulah aku kembali membuka handphoneku untuk membuka riddle yang belum sempat aku selesaikan.

Namun sebelum itu terjadi, sebuah panggilan dari nomor tak dikenal muncul.

Refleks kugerakkan jariku untuk menekan tombol penerima telepon.

Sayangnya disaat yang sama, tiba-tiba aku merasakan sengatan listrik di tengkukku. Aku tak sempat berteriak karena sangat terkejut, aliran listrik itu terasa menusuk dan membakar leher bagian belakangku.

Semuanya berlalu begitu cepat.

Tubuhku lemas, terkulai diatas tanah. Namun, kesadaranku masih ada, kucoba untuk berpura-pura pingsan.

Namun kilatan listrik kedua muncul tanpa kuduga lalu semuanya menjadi gelap

Bola lampu kuning remang-remang itu, perlahan padam.

Rumah-rumahanWhere stories live. Discover now