Bagian 4 - Namaku Clara, dan Aku Ingin Membantu Mereka

520 38 0
                                    

Tidak ada yang tahu siapakah sosok sebenarnya dibalik topeng itu.

Manusia adalah makhluk yang rumit, tak ada satupun dari mereka yang benar-benar baik atau benar-benar jahat.

Memahami mereka lebih menyusahkan daripada mengerjakan satu soal aljabar

Prasangka-prasangka tentang mereka hanya akan menyebabkan kesalahpahaman, dan hal-hal buruk lainnya.

Namaku Clara, aku hanyalah seorang siswi biasa dari sekolah yang biasa.

Tak ada yang menarik dariku, apa yang kumiliki hanyalah wajah biasa dan juga rambutku yang hitam panjang.

Awalnya kehidupanku baik-baik saja, bahkan malah membosankan menurutku, sampai kemudian aku bertemu dengan seseorang laki-laki di kelasku.

Damian, itu namanya. Tapi, teman-teman sekelasku lebih suka memanggilnya Ian. Ia sebenarnya sama seperti yang lainnya, mudah bergaul dan juga cukup ramah. Ian sering terlihat membantu teman-teman yang lain dalam mengerjakan tugas, Ian juga selalu bersikap baik kepada Guru, dan dia juga cukup populer di angkatan kami.

Namun meskipun begitu, Damian tidak memiliki pacar. Aku pernah melihat ada anak perempuan dari kelas sebelah yang menyatakan cinta kepadanya, akan tetapi ia menolaknya.

Aku tidak pernah tahu kenapa ia menolak gadis manis yang menolaknya itu, tapi mungkin aku sedikit tahu alasan mengapa Damian melakukan hal itu.

Semua itu karena Damian sedikit "berbeda" dengan anak laki-laki lain.

Hal yang membuatnya berbeda adalah gadis kecil yang sering terlihat bersamanya ketika jam istirahat.

Gadis kecil itu adalah adik kecilnya, terpaut dua tahun dibawahnya. Seperti Damian, gadis kecil itu memiliki nama yang tak biasa.

Nama gadis itu adalah Phobia, setiap mendengar namanya, aku jadi teringat nama kelainan psikologis yang sering aku baca di blog misteri.

Namun Ian pernah berkata kalau nama itu adalah pemberian darinya. Sementara namanya adalah pemberian dari adiknya. Aku tak pernah tahu masa lalu apa yang telah membuat kakak beradik itu sampai menjadi sosok yang terlihat di depanku kini. Tapi meskipun aku mengetahuinya, aku mungkin takkan mempermasalahkannya

Semua yang ada pada diri Ian dan adiknya terasa begitu misterius, tak ada yang pernah mengetahui siapa orangtua aslinya, bagaimanakah kehidupan SMP mereka, atau bahkan bagaimanakah masa kecil mereka.

Aku pernah bertanya pada Ian kenapa ia memberikan nama Phobia pada adiknya sendiri. Tetapi Ian hanya diam dan pertanyaanku tenggelam diantara perbincangan-perbincangan lain yang kami lakukan.

Ian selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku mulai mengorek masa lalu dan kehidupan pribadi kedua kakak beradik itu.

Bagiku, ada sesuatu yang menarik dari Phobia, entah apa itu...

Lalu perlahan entah bagaimana aku mulai menyadarinya. Ada sesuatu yang ganjil diantara kedua kakak beradik itu, hubungan mereka terlalu dekat, bahkan untuk seorang saudara.

Phobia memiliki ketergantungannya pada kakaknya. Awalnya aku tidak menyadarinya, tetapi saat mengamati mereka berdua, ternyata memang ada sesuatu yang berbeda.

Apakah seorang kakak itu harus selalu menemui adiknya pada waktu jam istirahat? Apakah seorang kakak itu harus memeriksa kondisi adiknya setiap satu jam sekali?

Ada sesuatu yang benar-benar tidak beres, aku sudah meminta Ian untuk memperiksakan adiknya ke Psikiater, tapi ia menolaknya sampai kemudian insiden itu terjadi.

Sesaat sebelum kejadian itu, aku juga sudah berbicara pada Ian, tentang teman-teman yang mulai menyadari perilaku tak biasa yang Ian dan Phobia lakukan.

Waktu itu Ian menanggapiku setelah berkali-kali ia menghindar, ia juga sedikit bercerita tentang masa lalunya.

Tentang ia yang mengalami penyiksaan oleh ayah kandungnya di usia masih belia. Sampai akhirnya ia dan adiknya berada di panti asuhan, lalu hak pengasuhan mereka diambil oleh seorang pejabat kaya yang tak punya anak.

Itu mungkin adalah rahasia terbesar Ian, selama ini kami hanya mengira kalau Ian dan adiknya hanyalah siswa biasa yang keluarganya sedikit lebih beruntung dari kami.

Siapa dan bagaimana orang tua mereka, tidak ada seorang pun yang tahu.

Sampai akhirnya kejadian itu terjadi, dan membuat ayah mereka datang ke sekolah kami.

Tak ada yang menyangka kalau ayah Ian dan Phobia adalah Bapak Mahendra, seorang tokoh politik yang wajahnya sering muncul di tv.

Gosip menyebar dengan cepat, setelah insiden mengamuknya Phobia, yang menyebabkan satu orang korban luka Phobia masih tetap dapat sekolah dengan pengawasan dari psikiater.

Sementara Jony terancam pasal perlakuan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik.

Semenjak kejadian itu, aku jarang berbicara dengan Ian, selain itu teman-teman juga menjauhinya.

Tapi meskipun begitu aku tidak membencinya.

Aku tidak membenci mereka berdua...

Karena hal yang aku inginkan hanyalah untuk membantu mereka.


Rumah-rumahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang