ZAINAB BINTI RASULULLAH (Bag 1)

2.3K 107 3
                                    

Diskripsi : "Dia adalah putri terbaikku, ia dirundung musibah disebabkan olehku."(sabda Rasulullah SAW mengenang Zainab pada sebuah Hadist).

Tersebutlah kisah tentang seorang putri pemimpin umat manusia yang bernama Zainab binti Rasulullah SAW. Terlahir dari rahim ibundanya, seorang wanita Quraisy bernama Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushay Al-Qurasyiyyah, dengan ayahnya yang bernama Muhammad bin Abdullah. Di tengah keluarga yang mulia itulah Zainab kecil dididik dan dibesarkan.

Kehidupan Masa Kecil
Zainab dilahirkan ketika Rasulullah SAW berusia 30 tahun dan merupakan putri pertama buah perkawinan Rasulullah SAW dengan Khadijah binti Khuwailid. Sebagai anak terbesar, Zainab terbiasa membantu meringankan tugas ibunya dalam urusan rumah tangga, dari merawat rumah sampai mengasuh adik-adiknya, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Ibunya, yakni Khadijah saat itu sudah berumur lebih dari lima puluh tahun, sehingga agak kerepotan jika mengurus rumah tangga sendiri sedangkan anak-anaknya banyak. Keadaan ini membuat Zainab menjadi lebih dewasa walaupun sebenarnya umurnya masih muda.
Sebagai buah dari didikan keluarga yang mulia, maka tak heran bila Zainab menjadi wanita pilihan dan idola bagi pemuda Quraisy pada masa itu. Dari keluarganyalah Zainab belajar hidup dalam kesabaran dan keteguhan, sampai-sampai Fatimah yang merupakan putri bungsu Rasulullah SAW menganggap Zainab yang merupakan kakaknya seperti ibu kecilnya.

Pernikahan dan Buah Hati
Abul Ash bin Rabi bin Abdil Uzza bin Abdisy Syams bin Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi adalah seorang pemuda gagah yang merupakan putra dari saudara perempuan Khadijah yang bernama Halah binti Khuwalid. Sehari-harinya Abul Ash adalah seorang pedagang yang membawakan barang dagangan penduduk Mekkah ke Syam.
Ketika usia Zainab menginjak sembilan tahun, Abul Ash bin Rabi yang masih merupakan sepupu Zainab binti Rasulullah SAW dari pihak ibu menaruh hati pada Zainab dan melamar Zainab kepada bibinya (yakni Khadijah) untuk dijadikan istri. Khadijah dan Rasulullah SAW menerima pinangan Abul Ash dengan gembira. Rasulullah SAW kemudian menikahkan Abul Ash dengan Zainab.
Rasulullah SAW menikahkan Zainab dengan Abul Ash sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Tiga hari setelah pernikahan, Abul Ash bin Rabi memboyong Zainab ke rumahnya untuk tinggal bersamanya. Khadijah kemudian pergi menemui kedua suami istri yang saling mencintai itu dan mendoakan agar keduanya mendapatkan berkah. Khadijah melepas kalungnya dan mengalungkannya ke leher Zainab sebagai hadiah perkawinan.

Zainab hidup dengan damai dan sejahtera bersama suaminya. Ketika Abul Ash pergi berdagang ke Syam sesekali Zainab masih menengok ke rumah orang tuanya dan bercengkrama dengan adik-adiknya. Dari pernikahannya dengan Abul Ash, terlahirlah putra pertama Zainab yang diberi nama Ali dan kemudian menyusul lahir Umamah putri mungil mereka. Ali meninggal ketika masih kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa dan kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Fatimah.

Ayahnya Seorang Nabi
Pada suatu ketika, di saat Zainab ditinggal pergi oleh Abul Ash bin Rabi untuk berdagang, tersebarlah di Mekah sebuah kabar bahwa telah muncul seorang nabi yang bernama Muhammad bin Abdullah, yaitu ayah Zainab. Ketika mendengar kabar itu, Zainab segera pergi ke rumah orang tuanya untuk mencari tahu kebenaran berita tersebut. Sesampainya di sana ia pun mendapatkan suatu fakta dari ibunya yang diperkuat pamannya Waroqoh bin Naufal bahwa ayahnya akan menjadi nabi utusan Allah dan akan terusir dari negerinya serta diperangi oleh kaumnya.
Zainab beserta saudaranya yang lain merasa sangat senang dan gembira mendengar bahwa ayah mereka adalah nabi utusan Allah. Zainab mendengarkan keterangan tentang Iman dan Islam dari ibunya, Khadijah. Keterangan ini membuat hatinya lembut dan menerima hidayah Islam. Dengan segera zainab dan adik-adiknya menyatakan keimanan atas kenabian ayah mereka dan memeluk agama Islam. Zainab sangat memegang teguh keislamannya itu, walaupun ia belum menerangkan keislamannya kepada suaminya, Abul Ash.
Abul Ash bin Rabi adalah termasuk salah seorang dari kaum Quraisy yang menyembah berhala. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai pedagang. Ia sering meninggalkan Zainab untuk keperluan dagangnya. Ia sebenarnya sudah mendengar tentang pengakuan mertuanya Rasulullah Muhammad SAW sebagai Nabi, namun ia tidak mengetahui bahwa istrinya, Zainab sudah memeluk Islam.
Sepulangnya Abul Ash dari perjalanan dagang, Zainab segera menyampaikan kabar keislamannya itu kepada suaminya. Dengan penuh semangat ia menceritakan semua yang terjadi dengan harapan akan membuat suaminya tertarik dan masuk Islam. Akan tetapi, sayangnya tawaran untuk masuk Islam dari istrinya itu ditolak oleh Abul Ash karena takut dikatakan oleh kaumnya bahwa ia masuk Islam hanya karena ingin mencari keridhaan istrinya.
Zainab pun bersedih karena suaminya tidak mau masuk Islam, namun ia tetap berdoa agar Allah SWT akan membuka hati suaminya untuk beriman pada Allah dan Rasul-Nya pada suatu saat nanti. Dua insan ini akhirnya berjalan di atas dua jalan yang berbeda meskipun tetap tinggal dalam satu rumah. Zainab dengan keislamannya dan Abul Ash dengan agama leluhurnya.

Ketika kaum Quraisy makin keras dan brutal dalam menentang Rasulullah SAW beserta pengikutnya, orang-orang Quraisy mendesak Abul Ash untuk menceraikan Zainab, namun Abul Ash dengan tegas menolak mentah-mentah permintaan mereka. Sebagian orang Quraisy yang menghasut Abul Ash tersebut berkata : "Ceraikanlah istrimu wahai Abul Ash! Pulangkan ia rumah ayahnya dan kami akan menikahkanmu dengan wanita mana saja yang engkau sukai dari wanita-wanita Quraisy yang terbaik."
Karena begitu murni dan dalam cinta Abul Ash kepada Zainab, maka ia pun menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan menceraikan istriku, aku tidak ingin menggantinya dengan wanita mana saja di dunia ini."
Dari hari ke hari, penyiksaan dan ancaman terhadap kaum muslimin makin keras. Kaum Quraisy menganiaya pengikut Islam dengan sangat brutal. Ada yang diseret dari rumahnya hingga cedera, ada yang dirampas harta bendanya, ada yang disiksa hingga meninggal dan berbagi bentuk penyiksaan lainnya. Pada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, kaum Quraisy melakukan embargo dan pembaikotan yang pengumumannya tercantum dalam lembaran yang tertempel di dinding Kakbah.
Di saat ayah dan keluarganya diembargo (baikot), Zainab hanya mampu berdoa untuk keselamatan ayah, ibu, dan keluarga serta saudara-saudara seimannya. Ia tidak ikut karena masih dibawah perlindungan suaminya yang belum masuk Islam. Setiap hari ia mencari kabar dan terkadang mendapat laporan di rumah suaminya tentang keadaan keluarganya. Hatinya sangat sedih mendengar penderitaan kaum muslimin dan keluarganya. Embarko dan pembaikotan ini berlangsung selama 3 tahun.
Setelah embargo dan pembaikotan selesai, datang musibah baru yang tak kalah beratnya, yaitu wafatnya paman ayahnya, Abu Thalib, yang disusul dengan wafatnya ibu yang sangat ia cintai yakni Khadijah. Zainab pun dirundung kedukaan, ditambah lagi suami tercinta belum juga luluh hatinya untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan wafatnya 2 pembela Islam tersebut, Kaum Quraisy semakin leluasa melakukan penyiksaan dan penganiayaan terhadap kaum Muslimin.
Akibat aksi kaum Quraisy yang makin keras dan membabi buta, akhirnya pengikut-pengikut Rasulullah SAW mulai berhijrah meninggalkan Mekkah menuju Madinah. Disusul dengan Rasulullah SAW dan kedua adik Zainab yakni Ummu Kultsum dan Fatimah. Adiknya yang lain, yakni Ruqayyah sudah lebih dahulu hijrah bersama suaminya Usman bin Affan. Saat itu negeri Mekah terasa sepi bagi Zainab. Ibundanya yang biasa ia jenguk sekarang telah tiada, sementara keluarganya yang lain sudah hijrah ke Madinah.
Pada saat perang besar antara kaum muslimin dan kaum Quraisy berkecamuk di Badar, Abul Ash berada di barisan kaum Quraisy dan akhirnya menjadi tawanan kaum muslimin di Madinah. Zainab menanti kabar hasil peperangan dengan gundah gulana. Tak beberapa lama berita pun datang, kaum muslimin telah memenangi peperangan. Zainab merasa sangat bergembira akan kemenangan ayahnya, tetapi bagaimana dengan suaminya?. Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya Zainab mendapat informasi bahwa suaminya tertawan oleh Kaum Muslimin di Madinah. Berita ini tentu sangat menyedihkannya.
Kaum muslimin meminta tebusan yang sangat mahal untuk para tawanan. Keluarga Abul Ash yang kaya ingin segera menebusnya, tetapi Zainab ingin ia yang membayar tebusan untuk suaminya. Zainab menebus suaminya dengan seuntai kalung yang terbuat dari batu onyx Zafar pemberian ibunya. Zafar adalah sebuah gunung di Yaman dan harganya saat itu tentu juga mahal. Khadijah binti Khuwaylid telah memberikan kalung itu kepada Zainab sebagai hadiah pernikahan dengan Abul Ash bin Rabi. Zainab mengirimkan kalung itu sebagai tebusan atas kebebasan suaminya, Abul Ash.
Amar bin Rabi saudara laki-laki Abu Ash diutus ke Madinah untuk memberikan tebusan dan membawa saudaranya pulang. Sesampai di Madinah, Amar menemui Rasulullah SAW dan memberikan tebusan tersebut seraya berkata, "Zainab mengutusku untuk mengirimkan ini sebagai tebusan untuk suaminya."
Ketika Rasulullah SAW melihat kalung itu, beliau segera mengenalinya sebagai milik putrinya. Kalung itu mengingatkan beliau kepada istrinya yang sangat ia sayangi, yakni Khadijah. Kalung itu adalah pemberian istrinya kepada Zainab sebagai hadiah di hari pernikahan.
Rasulullah SAW merasa tersentuh hatinya, lalu beliau berkata kepada para sahabat, "Seorang Mukmin adalah penolong bagi orang Mukmin lainnya. Setidaknya mereka memberikan perlindungan. Kita lindungi orang yang dilindungi oleh Zainab. Jika kalian bisa mencari jalan untuk membebaskan Abul Ash kepada Zainab dan mengembalikan kalungnya itu kepadanya, maka lakukaniah."
Para sahabat menjawab, "Baik, ya Rasulullah"
Setelah itu mereka segera membebaskan Abul Ash dan mengembalikan kalung tebusan kepada Zainab. Saat bertemu Abul Ash, Rasulullah SAW meminta Abul Ash untuk berjanji agar membiarkan Zainab pergi bergabung bersama Rasulullah SAW meninggalkan kota Mekkah menuju kota Madinah. Abul Ash pun menyetujui permintaan tersebut walaupun dengan berat hati.
Ketika Abul Ash dilepaskan dan tiba di Mekkah, Nabi SAW mengutus Zaid bin Haritsah dan seorang dari kalangan Anshar untuk mewakilinya. Beliau berpesan,
"Pergilah kalian hingga berada di daerah Ya'jaj (sebuah tempat di dekat Mekkah) hingga Zainab melewati kalian berdua. Maka hendaklah kalian menemaninya hingga kalian berdua datang padaku dengan membawanya!"
Zaid bin Haritsah dan seorang temannya tersebut mengiyakan perintah Rasulullah SAW.

HIKAYAT MUSLIMAH TELADANWhere stories live. Discover now