Bagian tanpa Pemimpin, Bahasa Toilet dan Caci Maki

41 2 0
                                    


Kamis dini hari, 26 Maret 2015, sebuah SMS, mampir ke handphone saya. Pengirimnya, seorang pejabat eselon II, di Kementerian Dalam Negeri. Saya lumayan cukup mengenalnya, karena sering menjadikannya sebagai narasumber untuk berita yang saya buat. Apalagi, ketika lagi ramai-ramainya pro kontra Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakat, keterangan dan pernyataan dia banyak dikutip media. Termasuk oleh saya yang bekerja di sebuah media cetak harian yang terbit di Jakarta.

Kementerian Dalam Negeri sendiri adalah salah satu pos liputan saya. Di kementerian itu, rutinitas saya sebagai wartawan banyak dihabiskan.

Menteri Dalam Negeri, tentu jadi buruan utama saya. Tapi di luar menteri, tentu buruan lainnya adalah para pejabat di kementerian tersebut, mulai dari Direktur Jenderal, Kepala Pusat Penerangan, sampai Direktur. Nah, yang mengirim pesan via telepon genggam Kamis dini hari itu, adalah seorang Kasubdit di Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik atau biasa para wartawan menyingkatnya dengan sebutan Kesbangpol. Namanya, Bachtiar. Masih cukup muda. Dia doktor pemerintahan dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Saya biasa memanggilnya Bang Bachtiar, untuk menghormatinya.

Ketika ramai-ramainya polemik RUU Ormas, Bang Bachtiar, lelaki kelahiran Bugis itu, bisa dikatakan, salah satu orang di Kesbangpol yang berdiri paling depan menangkis setiap 'serbuan' komentar yang tak setuju dengan RUU tersebut. Kesbangpol, memang jadi sasaran para pengkritik RUU Ormas.Maklum, direktorat ini yang memang menangani masalah ormas di negeri ini.

Pesan yang dikirimkan Bang Bachtiar, lumayan panjang. Jadi sebenarnya, bukan lagi pesan pendek. Tapi, pesan panjang. Dalam pesannya, saya tangkap, ada semacam kegundahan, atau kemasygulan dari Bang Bahtiar, melihat apa yang terjadi akhir-akhir ini. Saya baca, tertera sebuah judul dalam pesan Bang Bahtiar. "Perilaku ormas dan perilaku masyarakat", demikian judul dari pesan Bang Bachtiar yang saya terima Kamis dini hari.

Bang Bahtiar, memulai pesannya dengan sebuah pertanyaan, "apakah ada pengaruh perilaku ormas terhadap perilaku masyarakat? Kata Bang Bachtiar, jawabnya pasti iya. Menurut dia, pengaruh tersebut dapat positif, tapi juga bisa sebaliknya, membawa dampak negatif.

"Mana diantara pengaruh tersebut yang lebih dominan, positif atau negatif, perlu dilakukan ppenelitian yang lebih mendalam,"kata Bang Bachtiar dalam pesannya.

Tapi kata Bang Bachtiar, melanjutkan pesannya, hari ini dalam kehidupan sosial, masyarakat cenderung sudah tidak suka lagi bermusyawarah, tapi lebih suka voting. Masyarakat lebih suka demo dan mempermalukan orang lain dimuka publik, ketimbang berdialog. Menurut Bang Bachtiar, kondisi seperti itu, juga terjadi dalam dunia ormas, dimana para aktivis umumnya tak suka bermusyawarah. Mereka lebih suka demonstrasi, bahkan dengan cara mencaci maki.

" Mereka sepertinya lebih suka mempermalukan orang lain diruang publik. Entah siapa yg dominan yang mempengaruhi, masyarakat atau ormas," kata Bang Bachtiar.

Namun yang pasti, kata Bang Bachtiar di pesannya, fenomena perubahan perilaku sosial seperti itu telah terjadi pada hampir semua lapisan masyarakat, baik di kota maupun di desa, orang kaya ataupun kaum yang belum beruntung. Padahal, budaya caci maki, bukanlah ciri masyarakat di negeri ini. Musyawarah mufakat, itu ciri aseli dari negeri ini. Ia pun bertanya-tanya, kenapa yang diproduksi, justru yang menurutnya merusak tatanan.

"Apakah kerusakan tersebut kita biarkan terus berlanjut? Mari kita merenung bersama,"katanya.

Bang Bachtiar pun melanjutkan pendapatnya. Ia heran, dan bertanya-tanya, mengapa saat ini masyarakat suka kepada pimpinan yang suka mencaci orang lain di muka publik. Apakah ini, sudah jadi kriteria nilai baru dari masyarakat? Bachtiar merasa heran. Ia mengaku gundah dengan fenomena ini. Ia pun berharap, jangan sampai nilai baru "suka mencaci maki" dianggap dan diterima sebagai kebenaran baru atau bahkan menjadi kebiasaan baru.

" Saya harap hal itu jangan menjadi nilai baru yang kita introdusir menjadi perilaku masyarakat Indonesia baru. Jika itu kita biarkan, maka tunggulah kehancuran bangsa ini,"kata Bang Bachtiar, mengakhiri pesan panjangnya.

Saya pun coba menebak, siapa pemimpin yang suka mencaci di depan publik itu. Sepertinya, apa yang dikatakan Bang Bachtiar dalam pesan panjangya mengarah kepada sosok Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta, yang biasa di sapa Ahok tersebut. Ya, Ahok memang tengah jadi sorotan, pasca 'insiden' bahasa toilet yang dilontarkannya ketika di wawancara secara live oleh Kompas TV. Bahasa kasar Ahok pun menuai pro kontra. Banyak yang mendukung dan tak mempermasahkan, tapi tak sedikit yang mengkritik dan menyayangkannya.

Ahok sendiri sudah minta maaf. Saya pun teringat sebuah pernyataan dari seorang pengamat politik. Kata dia, tegas itu tak perlu dengan marah-marah. Cukup dengan tindakan, sikap dan perbuatan. Saya sepakat dengan pernyataan itu. Ketegasan seorang pemimpin, pembuktiannya adalah tindakan dan kebijakan. Bukan kata-kata. Saya sejuta persen mendukung Pak Gubernur yang berani tanpa kompromi, melawan 'para pembegal' duit rakyat. Tindakan Pak Gubernur, wajib hukumnya untuk didukung. Pembegal memang harus dilawan dan ditindak.

Tapi terus terang, saya kurang suka dengan kata-kata kasarnya. Saya berharap, Pak Gubernur bisa belajar dari kesalahan dalam menuturkan kata. Permohonan maaf yang diucapkannya, anggap saja itu itikad baik untuk berubah. Sekali lagi, tegas tanpa kompromi, tak perlu dengan marah-marah. Semoga, tak ada bahasa toilet lagi di kemudian hari.

# Dimuat di Ceritamu.com, 13 April 2015 : http://www.ceritamu.com/cerita/Pemimpin-Bahasa-Toilet-dan-Caci-Maki

Bukan Catatan Pinggir Goenawan MohamadWhere stories live. Discover now