Pak Jaksa Agung, Mungkin Sedang Gundah Gulana

10 0 0
                                    


Sejak Mas Rio Capella jadi tersangka, nama Pak HM Prasetyo, Jaksa Agung, banyak disebut. Pak Prasetyo dikait-kaitkan dengan kasus yang melilit Mas Rio, yakni kasus korupsi dana bansos di Provinsi Sumatera Utara. Kasus ini, selain menyeret Mas Rio, juga menyeret Gubernur Sumatera Utara, Pak Gatot Pudjonugroho bersama istri keduanya Ibu Evi Susanti. Kasus ini juga, membuat pengacara senior Pak OC Kaligis mesti duduk di kursi pesakitan. Adalah, operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK, yang membuat kasus ini kemudian mencuat ke permukaan.

Operasi tangkap tangan sendiri, terjadi di komplek pengadilan tinggi Sumatera Utara. Saat itu, orang kepercayaan Pak OC Kaligis, Mas M Yagari Bhastara alias Mas Gerry, hendak memberikan uang kepada hakim PTUN Medan, yang menangani kasus bansos tersebut. Kasus korupsi dana bansos itu sendiri awalnya ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Kemudian setelah operasi tangkap tangan yang menghebohkan itu, satu persatu, pelaku lainnya ditetapkan jadi tersangka, mulai dari Pak OC Kaligis, lalu Pak Gatot dan istri mudanya, terakhir yang ditetapkan adalah Mas Rio Capella, Sekjen Partai Nasional Demokrat, yang juga anggota DPR. Mas Rio sendiri diduga menerima semacam hadiah atau gratifikasi berupa uang Rp 200 juta.

Keterlibatan Mas Rio sendiri diduga untuk memuluskan keinginan Pak Gatot, agar kasus dugaan korupsi dana bansos ditangani langsung Kejaksaan Agung. Asumsi Pak Gatot, jika kasus dugaan korupsi bansos dipegang gedung bundar, ia setidaknya aman, karena yang sedang 'berkuasa' di Kejaksaan Agung adalah Pak Prasetyo. Dan via Mas Rio, rencana pengalihan kasus ke gedung bundar dilakukan. Uang 200 juta diduga sebagai 'tanda terima kasih' dari pihak Pak Gatot untuk Mas Rio yang akan membantu rencana itu.

Nah, karena alur kasus itulah kemudian nama Pak Prasetyo diseret-seret. Desakan pun kemudian muncul, agar Pak Prasetyo ikut diperiksa KPK. Bahkan, ada juga desakan agar Pak Prasetyo diganti alias dicopot dari jabatannya sebagai Jaksa Agung. Pak Prasetyo sendiri sudah dengan gagah berani menyatakan, siap diperiksa komisi anti rasuah. Beberapa hari yang lewat, Pak Prasetyo diberitakan mendadak dipanggil Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla ke Istana. Tak ada wartawan yang tahu. Entah mengapa pemanggilan itu dilakukan dengan diam-diam. Pak Prasetyo baru diketahui awak media datang ke Istana, saat ia keluar dari 'pintu rahasia'. Tak pelak pemanggilan diam-diam Pak Prasetyo ke Istana jadi pertanyaan. Dugaan dan perkiraan pun bermunculan. Banyak yang menerka, Pak Prasetyo dipanggil karena akan dicopot. Apalagi bersamaan dengan itu, muncul isu tentang rencana reshuffle kabinet jilid II. Dan, salah satu posisi yang ramai disebut akan diganti adalah Jaksa Agung.

Pastinya Pak Prasetyo mencermati semua itu. Dan, hari-hari terakhir ini bisa dikatakan hari yang membuat tidur Pak Prasetyo tak nyenyak. Itu menurut terkaan saya. Mungkin saya keliru. Ya, menurut saya, ketika ramai isu bahwa posisi yang sedang dijabat akan berpindah tangan, itu adalah situasi yang sangat menganggu pikiran. Apalagi itu ramai diberitakan media. Dan, bila saya ada di posisi Pak Prasetyo, gundah gulana yang akan dirasakan. Makan jadi tak enak. Berangkat kerja jadi malas. Pikiran ruwet, menunggu kepastian, apakah tetap bertahan di gedung bundar, atau terpaksa angkat kaki.

Bila pada akhirnya harus angkat kaki, ini tentu seperti kiamat kecil. Jabatan terhormat hilang. Tuah pun ikut terbang. Karena, dengan jabatan seperti Jaksa Agung, tuah yang didapat begitu besar. Sebagai Jaksa Agung, Pak Prasetyo adalah komandan ribuan jaksa di seluruh Indonesia. Dan, ia adalah panglima dari semua penuntutan kasus hukum yang terjadi di Tanah Air. Jadi, bukan jabatan yang sembarangan. Ini jabatan yang membuat siapa pun terkencing-kencing. Jabatan yang membuat banyak orang, tak terkecuali pejabat, gemetar. Karena lewat tangan jaksa, nasib sebuah kasus berlanjut atau tidak.

Wajar, bila Pak Prasetyo gundah gulana menghadapi ketidakpastian nasibnya di gedung bundar. Ya, bisa saja untuk menunjukan ketegaran, Pak Prasetyo akan bilang, dirinya akan manut apapun titah Presiden, karena jabatan hanya amanah. Pernyataan yang tawadhu memang dan nampak seperti bentuk keikhlasan tiada tara. Namun, pasti rasa kecewa dan sedih tak bisa ditolak. Yang namanya kehilangan jabatan, apalagi ini jabatan penting dan bertuah, pasti akan sedih. Wong kehilangan jabatan RT saja, banyak yang berduka. Apalagi ini, kehilangan jabatan Jaksa Agung. Dicopot dari jabatan jaksa agung, persis sama di PHK dari perusahaan. Walau kadar rasa sedihnya mungkin berbeda. Kalau si pulan di PHK dari sebuah perusahaan, mungkin ia bisa kembali cari pekerjaan lain. Atau kemudian mencoba berwirausaha, entah berjualan baso atau pakaian. Atau jadi pengemudi Go-Jek. Lha ini di PHK dari kabinet, di copot dari Jaksa Agung, masa kemudian jualan baju atau jadi pengemudi Go-Jek?

Ya, minimal posisi pengganti yang agak setara. Misalnya jadi Duta Besar, atau staf khusus Presiden. Kalau itu bisa sedikit menghibur duka hati karena kehilangan jabatan. Tapi bagaimana kalau sudah dicopot, diperiksa penegak hukum pula? Ah, kalau itu sih amit-amit jabang bayi. Bila itu yang terjadi, malunya yang tak ketulungan. Meski belum tentu juga bersalah. Namun 'vonis sosial' pasti tak bisa dicegah. Apalagi, yang meriksa itu adalah KPK. Wah, sudah dipastikan semua mata akan menyorot. Cibiran pun tak bisa dihindari. Pada titik inilah, pengadilan sudah berlangsung. Bahkan vonis telah dijatuhkan, meski hakim belum mengetok palu.

#Dimuat di Kompasiana.com, 22 Oktober 2015 

Bukan Catatan Pinggir Goenawan MohamadWhere stories live. Discover now