Mates

102K 7.5K 107
                                    

"Tidak! mereka belum mati! mereka masih hidup! aku yakin itu!" Teriak gadis itu dan matanya mengeluarkan cairan bening yang mengalir di kedua pipinya, ia mulai menangis histeris dan menjambak rambutnya sendiri. Ia terus menangis dan terus memukul kepalanya sendiri berharap ini semua hanya mimpi, dan tiba-tiba terbangun begitu saja. Awalnya aku hanya memperhatikannya, tapi lama-kelamaan aku jadi tak tega. Hatiku terenyuh melihat gadis ini seperti itu.

"Berhenti melukai dirimu sendiri!" Kataku yang tidak di gubris karena ia tetap menangis seperti itu tanpa berniat untuk menghentikan tangisnya, "Jika kau mau, besok akan kuantar untuk melihat mayat mereka." Balasku meninggikan suara karena entah kenapa aku benci melihatnya menangis. Aku memutuskan untuk pergi keluar dengan membanting pintu. Aku diam dan tidak tahu harus berbuat apa, aku tidak suka melihatnya menangis, seolah itu menyakitiku dari dalam dengan perlahan.

'Peeta, jangan bodoh seperti tidak punya otak.' Sager berbicara sarkastik melalu mind-link. Aku hanya menghela napas mencoba bersabar menghadapi kata-katanya.

'Dia Mate kita bodoh! Tentu saja kau tidak suka jika ia bersedih. Dan mengapa kau pergi meninggalkannya dalam keadaan seperti itu? tidak inginkah kau menenangkannya? kembali kesana dan peluk dia! dia membutuhkan kita!' teriak Sager-wolfku yang berbicara dipikiranku.

'Diamlah! aku benci manusia! lagipula kita sudah punya Jena, kau ingat itukan?' jawabku sarkastik, dia menghela napas kasar lalu mengunci dirinya, sepertinya ia sangat marah padaku. Aku hanya diam dan berjalan dengan perasaan kacau. Entahlah, hanya karena gadis itu menangis aku jadi merasa sangat kacau seperti ini.

Aku duduk di sofa yang langsung menyambutku dengan rasa nyaman, lalu mengacak rambutku frustasi. Aku menghela napas lelah dan mengusap wajahku kasar. aku bingung setengah mati, apa yang harus kulakukan?

gadis berambut coklat di kamar itu memang mateku. Dia seorang manusia dan dia sangat mempesona, kuakui aroma Vanilla dan coklat serta bau bunga Lily yang menguar dari tubuhnya benar-benar memikat. Apalagi percikan-percikan yang terasa saat kulitku bersentuhan dengan kulitnya, membuat diriku sangat ingin mendekapnya dalam-dalam. Kejadian tiga hari lalu saat aku menemukannya dengan punggungnya terbentur keras ke batang pohon, adalah saat pertama kali aku melihatnya dan langsung membuat tubuhku bereaksi, jantungku berdetak hebat bukan main, padahal selama ini Jena tak mampu membuatku bereaksi seperti itu. Tapi aku membenci Manusia, karena mereka telah membunuh Ayahku, dan kenapa juga mateku harus dari ras itu. Lagipula aku sudah memiliki kekasih.

Namanya Jenashia Lorri, aku memang tidak pernah mencintai Jena, tapi aku sangat menghargai dan menyayangi wanita itu. Aku bertemu dengannya karena sebuah perjodohan. Mate Jena mati sehari setelah bertemu dengannya, sehingga karena ia anak dari seorang Alpha teman dekat Ayahku dulu, ia dijodohkan denganku. Mengapa aku tidak menolak? karena aku adalah seorang Alpha sejak usiaku 20 tahun saat Ayahku meninggal dunia. Sekarang usiaku 26 tahun, dan selama 6 tahun anggota packku menuntut untuk memiliki seorang Luna, mereka beranggapan bahwa mateku sudah mati, sehingga aku tidak segera menemukannya. aku sempat ingin menolak tapi pada akhirnya aku menyerah, sehingga lima bulan lagi aku akan mengangkat Jena menjadi Lunaku sekaligus Istriku. tapi mengapa saat sebentar lagi aku akan mengangkat seorang gadis menjadi Lunaku, tiba-tiba mate atau Lunaku yang sesungguhnya datang ke kehidupanku? apa yang harus kulakukan? apalagi ia seorang Manusia biasa yang lemah, makhluk yang sangat aku benci.

"Dricky, kau kelihatan lelah? bagaimana keadaan gadis di dalam kamarmu itu sayang?" Suara lembut itu memanggilku dengan nama kecilku, ia tersenyum hangat lalu duduk disebelahku. ia mengelus lenganku dan mencoba membuatku lebih tenang.

"Dia menangis Mom," jawabku sambil mengusap kasar wajahku, "Ia menangis karena semua temannya mati." lanjutku dengan kesal, aku bisa melihat tatapan cemas dari Mom.

"Dan parahnya... Dia Mateku mom." mom tersentak kaget dan langsung menatapku tak percaya, seolah-olah aku baru saja memberi tahunya bahwa aku memenangkan lotre atau judi.

"Ohh Goddes..." Lirihnya lalu menatapku khawatir dan cemas. "Apa yang akan kau katakan pada Jena nanti?" Tanyanya dan aku menggeleng menandakan aku sendiri tidak tahu jawabannya.

"Entahlah Mom, aku tidak tau." Jawabku dengan putus asa, ia mengelus lenganku dan wajahnya menunjukkan senyum yang menenangkan.

"Hanya MoonGoddes yang mengetahui jawabannya, sekarang pergi dan tenangkan gadis itu dulu, dia membutuhkanmu saat ini." ucap Mom masih dengan senyum menenangkannya yang selalu memberikan aura positif padaku. aku mengangguk lalu berdiri. "good luck." ucapnya pelan dan aku tersenyum lalu mengangguk.

***

Vina masih menangis saat seseorang sudah berada di hadapannya. Peeta berdehem, lalu jantungnya mulai bereaksi saat menatap gadis dihadapannya. Vina mendongak dan menatap Peeta dengan mata sembab yang memiliki bulu mata indah juga hidung yang memerah.

"Namaku Peeta Acerdric, siapa namamu?" Tanya Peeta mencoba untuk bersikap lembut, namun perasaan gugup justru berefek padanya saat ini, tapi ia menahan setengah mati rasa gugupnya, hatinyapun mulai luluh melihat matenya dalam keadaan kacau seperti ini.

"Vi-vina Rahuta." jawab Vina terbata-bata dengan suara paraunya. Peeta mengangguk lalu perlahan mengulurkan tangannya, Vina diam sesaat dan menatap uluran tangan itu hingga beberapa detik. Dan akhirnya ia menerimanya dengan ragu. Peeta menariknya hingga berdiri dan langsung memeluknya. Tubuh Vina menegang saat kedua tangan Peeta melingkar di tubuhnya dan mencoba menenangkannya dengan mengelus rambut coklat milik Vina. Perlahan tubuh Vina mulai kembali rilex karena rasa aman dan nyaman yang menyelimutinya saat ini.

"Vina, kau mateku." ucap Peeta to the point dengan suara lirih, yang langsung membuat Vina perlahan mendongak dan menatap wajah Peeta. Ia diam dan mencerna kata-kata Peeta, ia seorang Arkeolog dan pasti ia mengerti tentang kehidupan werewolf, sehingga ia 100% pasti mengerti apa yang diucapkan Peeta barusan.

"Kenapa kau diam? Apa kau tidak tau artinya mate?" Tanya Peeta dengan kaku dan dingin, membuat Vina langsung menunduk lagi.

"Aku tau..." lirih Vina namun masih dapat didengar dengan jelas oleh laki-laki yang masih memeluknya.

"Nice." gumam Peeta.

Brakk

Tiba-tiba pintu dibuka dengan kasar membuat Vina dan Peeta langsung menoleh kearah pintu. Terlihat seorang gadis berambut merah sepanjang pinggang dengan gaun peach-nya menatap kearah dua orang yang sedang berpelukan itu dengan tatapan kecewa dan tersakiti. Gadis itu tampak mencoba mengatur nafasnya yang tidak teratur dengan kedua tangan yang mengepal.

"Jena?"

***

Sorry ya chapter sebelumnya pendek, soalnya tiba-tiba tulisannya ilang gitu aja pas di publish. Tapi thanks buat yang udah vomment dan baca :)

And thanks for :
Alstromeira, alawiyahnida, anjarify karena comment kalian sangat berharga, chapter ini didedikasikan untuk kalian ;) and thanks for all :)

Charen Samuel Tengker

Jakarta. 2 Maret 2016

Creature WolfWhere stories live. Discover now