Sorry

72.5K 5.4K 85
                                    

"Peeta, aku ingin jalan-jalan." Kataku pada Peeta yang sedang mengganti-ganti channel Tv. Aku berdecak kesal karena ia mengabaikan permintaanku. "Peeta.." panggilku dan dia tetap diam tak menghiraukanku. "Peeta! Apa kau mendengarku?!" Teriak ku dan ia baru menengok. "Bahkan duduk saja kau belum mampu," balasnya yang membuatku memutar bola mataku. Aku memang masih sangat lemah dan semua anggota tubuhku akan terasa nyeri jika digerakkan. Peeta berdiri dan mendekatiku, keningnya berkerut dalam saat menatap tanganku, aku mengangkat tangan kananku dan memperhatikan hal yang juga diperhatikan Peeta.

"Sejak kapan kau punya tatto Bintang?" Tanyanya dan aku mengedikkan bahu, "entahlah, saat aku tidak sadarkan diri, aku hanya mendapatkan mimpi dan tato ini muncul saat aku bangun." Jelasku dan ia masih menatapku bingung.

"Mimpi? Mimpi apa?" Tanyanya dan aku menghela napas. Aku lalu menceritakan mimpiku yang bertemu dengan pelindungku itu, ia menyimak dengan serius dan sesekali mengangguk-angguk.

"Arashi..." gumamnya dan aku hanya diam. "Kau keren, punya pelindung." Lanjutnya yang membuatku menatapnya heran. Ia berdiri dari duduknya lalu berjalan keluar.

"Hei! Bagaimana dengan jalan-jalanku?!" Teriakku saat ia masih diambang pintu.

"Aku akan membawamu jalan-jalan jika kau sudah tidak seperti bayi lagi." Jawabnya dengan senyum menyebalkannya dan pergi begitu saja. Menyebalkan.

*

"Agrhh! Susah sekali mengambil gelas itu!" Erangku frustasi saat tidak berhasil mengambil gelas air putih diatas nakas disamping ranjangku. Bahkan untuk meraih gelas itu saja aku harus menahan perih dan nyeri yang luar biasa. Tapi aku tidak akan menyerah! Aku pasti berhasil! Karena aku tidak seperti yang dibilang Peeta, aku bukan bayi!

Aku kembali mencoba meraih gelas itu, dengan sekuat tenagaku, aku menggerakkan sedikit pundakku dan menahan sakit yang luar biasa, hingga ujung jari telunjuk kananku dapat menyentuh gelas kaca itu. Aku terus mencoba agar bisa menggenggamnya, tapi yang ada malah gelas itu jatuh kelantai dan pecah. Tubuhku ikut jatuh kelantai dan lututku terkena pecahan gelas. Jarum infusku tertarik dan rasanya sangat sangat sakit dan perih. Aku berteriak kesakitan dan saat itu juga seseorang mendorong pintu dengan kasar.

"Vina!!" Teriaknya lalu mendekatiku dan mengangkatku kekasur. "Dokter!!" Teriaknya marah dan detik itu juga dokter dan para perawat datang.

"Alpha, tenanglah." Kata dokter itu menenangkan Peeta. Para perawat itu membersihkan luka dilututku dan membenarkan jarum infus di tangan kiriku yang sedikit mengeluarkan darah. Mereka juga membenarkan beberapa perban yang terlepas dan membereskan pecahan gelas itu. Setelah selesai mereka keluar, dokter itu menepuk pundak Peeta dan keluar mengikuti para perawat tadi, meninggalkan aku dan Peeta yang menatapku marah.

"Aku haus, dan aku bukan bayi." Kataku lalu memalingkan wajahku tidak mau menatapnya. Ia menghela napas lelah dan mengacak rambutnya frustasi. Ia duduk disebelah ranjang dan menatapku.

"Dengar ya, aku tidak mau sampai kehilanganmu. Jantungmu bahkan pernah berhenti dihari kelima saat kau koma. Aku tidak mau kau terluka lagi, kumohon mengertilah bahwa aku sangat mengkhawatirkan mu." Katanya seraya menunduk dan mencengkeram rambutnya.

Aku menatapnya dan menemukan kesungguhan di nada bicaranya. Ia takut kehilanganku? Memangnya aku berharga ya untuknya? Akukan cuma matenya yang tidak akan berguna jika nanti ia sudah menikah dengan Jena.

"Maaf," lirihku dan ia menatapku sendu. "Kau tidak perlu meminta maaf, ini salahku. Sekarang istirahatlah, aku tau luka luka itu sangat menyakitkan." Katanya dan aku mengangguk lalu memejamkan mataku, mencoba melupakan kejadian barusan yang membuat Peeta mengakui kekhawatirannya padaku.

*

"Ini," kata Peeta lantas memberiku kapsul obat dan segelas air putih. Aku mengambilnya dan memasukkannya kedalam mulutku, setelah itu Peeta membantuku meminum airnya.

"Kau ingin jalan-jalan?" Tanyanya dan aku mengangguk antusias serta tersenyum lebar, tentu saja, sudah tiga hari aku disini dan yang kulakukan adalah terbaring dan diam. Ia tersenyum dan mengambil kursi roda disudut ruangan, lalu mengangkat tubuhku dan menaruhnya di kursi tersebut. Aku menahan mulutku agar tidak meringis saat tubuhku terasa sakit karena dia mengangkatku, aku tidak mau acara jalan-jalanku dibatalkan hanya karena aku meringis dan Peeta melihatnya.

Peeta mendorong kursinya keluar kamar dan melewati koridor rumah sakit pack, yang banyak orang orang berlalu lalang sedang melakukan aktivitas masing masing. Mereka tersenyum dan menunduk sebentar ketika melewati Alpha mereka, beberapa dari mereka juga menyapa dengan ramah.

Ohya, jangan kalian pikir aku belum memakai baju, aku sudah tiga hari dirumah sakit dan sudah diperbolehkan memakai atasan, jadi sekarang aku memakai setelan baju rumah sakit yang berwarna hijau tua dan agak kebesaran.

"Apa ini Luna?" Seorang anak kecil berambut kribo berwarna coklat dengan sweater pink dan leggingnya menghampiriku dengan senyum cerianya dan wajah polosnya. "Iya sayang," jawabku lalu mengelus sayang rambutnya.

"Si kriting, ouw.. Aku sangat merindukanmu."

"Uncle Peeta!" Teriaknya lalu menghambur ke Peeta dan memeluknya. Peeta menggendongnya dan mencubiti pipinya, sedangkan aku hanya tersenyum bingung. Tak lama seorang laki-laki sepadan Peeta datang dan memeluk Peeta sebentar.

"Vina, ini Ares Harold, sahabatku. Dan ini anaknya, Vika Harold. Nama kalian mirip." Kata Peeta lalu terkekeh dan menciumi pipi gadis kecil yang kuperkirakan usianya sekitar 8 atau 9 tahun. Ares menjabat tanganku sebagai tanda perkenalan.

"Senang berkenalan dengan mu Luna Vina," katanya dan aku tersenyum. "Aku juga." Balasku. Kami melepaskan jabatan tangan kami.

"Aku harus pergi dulu karena harus menjenguk temanku yang sedang dirawat disini, nanti aku akan mampir kerumahmu." Kata Ares dan Peeta mengangguk lalu menurunkan Vika. Mereka berpelukan sebentar, lalu melepaskannya.
"Ayo Vika." Ajak Ares dan gadis kecil berambut kribo itu menggandeng tangan Ayahnya dan ikut pergi. "Dadah uncle! Dadah Luna!" Teriak Vika dan aku terkekeh mendengar panggilannya padaku yang formal, sedangkan dengan Peeta tidak.

"Kau menyukainya?" Tanya Peeta lalu kembali mendorong kursiku. "Tentu saja, ia sangat lucu." Jawabku gembira.

"Kita akan membuatnya satu nanti, yang lebih lucu dari dia."

"Apa yang kau ucapkan! Pikirkan Jena! Jangan sembarangan berbicara" pekikku dan ia tertawa.

"Aku hanya bercanda." Jawabnya ditengah tawanya, sedangkan pipiku sudah memerah.




TBC


Akuu update dua kalii, biar happy :D

Rainytale. «11.4.

Creature WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang