Prolog

11.9K 653 100
                                    

Aku menatap tajam lelaki berkumis tipis yang duduk di hadapanku, sambil berusaha menahan amarah yang memuncak di dadaku. Namun ia tak gentar dengan intimidasiku. Bahkan ia tak meladeni tatapanku, hanya memandangku dengan santai, seakan-akan ia tak bersalah.

"Jelaskan, Pak," ujarku, mencoba agar tetap tenang, "apakah arti dokumen ini?"

Aku menunjukkan beberapa lembar kertas yang distaples menjadi satu. Pinggir kertas itu sedikit lusuh akibat cengkeramanku yang terlalu kuat.

"Inilah sebabnya kenapa uang saku anak-anak nggak langsung turun. Dicegat dari atas rupanya," tegasku tanpa basa-basi.

"Oh, Danar, Danar," sahut lelaki berkumis tipis itu dengan suara nyinyir-nya, "sepertinya kamu belum mengerti cara permainan ini."

Aku menggebrak meja. "Permainan? Bapak bilang ini semua permainan? Anak-anak berjuang dengan susah payah. Mereka terus berlatih di mana pemuda-pemudi sebaya mereka asyik jalan-jalan, pacaran, dan mengeluh soal kejombloan mereka. Mereka rela menahan rasa rindu akibat jauh dari keluarga, semua demi membanggakan nama Indonesia tercinta. Dan apa yang negara ini berikan kepada mereka? Bukan, bukan negara! Tetapi oknum-oknum bangsat semacam Bapak ini! Untuk makan yang cukup bergizi saja, mereka kadang harus menalangi dengan kocek mereka sendiri. Sekarang, uang saku bulanan pun dicegat? Dasar bajingan nggak tahu malu!"

Aku benar-benar muak dengannya. Mencari pejabat yang benar dan jujur bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Ini bukan pertama kalinya aku berhadapan dengan orang sepertinya. Boleh dibilang, sepanjang hidupku yang tiga puluh satu tahun ini, aku ditindas, dikacaukan, dan dihancurkan oleh orang sepertinya. Waktu kecil, aku digusur oleh pejabat. Waktu masih berusia awal duapuluh tahun, mantan kekasihku berpindah hati kepada anak pejabat. Dan adikku tersayang, Wulan, diperkosa oleh anak pejabat sehingga lahirlah keponakanku, Chandra. Ia sendiri mengalami sakit mental hingga bertahun-tahun. Tetapi aku terus bangkit. Aku tak pernah menyerah.

Dan kali ini pun harus demikian.

"Mulutmu itu, Danar. Santun sedikit. Kamu ngomong dengan pejabat."

Tak ada gunanya buang-buang waktu dengan lelaki ini. Ia takkan memberikan kesaksian apapun, juga takkan mendengarkan ceramahku. Berdasarkan pengalamanku, ia hanya akan menuturkan pernyataan panjang lebar yang tak ada isinya.

Aku menegakkan tubuhku dan menurunkan kedua tanganku dari atas meja.

"Saya permisi dulu."

Lelaki berkumis tipis itu bangkit dan mencegat lenganku. "Kamu berani mengancam saya? Satu orang seperti kamu melawan sistem?" Kemudian ia tertawa mengejek.

"Saya adalah seorang petarung. Saya tidak gentar."

.

.

.

Eksplor POV 1 pikiran Danar yang super pendiam uhuy XD. Eh tapi dia gak selamanya pendiam loh. Sekalinya mau menyampaikan sesuatu, bisa panjang lebar (seperti di JV bab 18). Hitung2 latihan POV 1... di mana kebebasanku berkurang dari POV 3 :"

Hati-hati, Danar bisa ngumpat loh kalau mau. Tapi khusus ke orang2 yang memang pantas diumpat. #weleh XD

Sang PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang