Bab 8: Potensi

1.7K 151 58
                                    

Melatih sekumpulan atlet profesional dan pehobi amatir jelas berbeda. Jika di klub Poomsae Ragunan aku seringkali memperbaiki gerakan dan posisi mereka (makanya namanya Poomsae), di pelatnas aku lebih banyak berperan menjadi analis. Analis gerakan, kekuatan, stamina, dan strategi.

Dalam pertandingan olahraga apapun, tiga hal mendasar yang menentukan kemenangan adalah teknik, kekuatan, dan stamina. Tanpa menguasai teknik yang mumpuni, jurus kita akan mudah terbaca oleh lawan, dan ia akan kewalahan menghadapi variasi serangan dari lawannya. Teknik dan kekuatan saja tanpa stamina juga tidak menjamin kemenangan. Lawan dapat mengulur waktu untuk menghabiskan stamina kita, lalu menghabisi kita saat sudah lelah. Namun, tanpa kekuatan, hanya mengandalkan teknik dan stamina saja, sama saja sulit menang.

Apabila ketiganya imbang di antara kedua pihak, mental, strategi, dan pengalaman-lah yang menentukan kemenangan. Malahan, pertandingan atlet papan atas umumnya menampilkan dua lawan yang cukup seimbang dalam teknik, kekuatan, maupun stamina. Maka kemenangan tergantung pada kecerdasan sang petarung menyadari kelebihan dirinya dan membaca kelemahan lawan.

Dan peranku sebagai pelatih adalah membantu anak asuhku mempelajari strategi tersebut, mengenali kekuatan diri dan mencari celah lawan yang dapat ditembus.

Semalaman, aku menghabiskan waktu menonton video pertandingan anak-anak asuhku sambil menulis catatan mengenai kelebihan dan kekurangan mereka. Mana saja yang perlu diperbaiki dari teknik, kekuatan, stamina, mental, dan strategi. Aku berdiskusi dengan Heri, asisten pelatih atlet putri, yang menyediakan rekaman-rekaman pertandingan para atlet putri.

"Cuma video Shella sama Dahlia yang dikit, soalnya jam terbang mereka emang nggak sebanyak senior-senior mereka," tutur Heri. "Tapi ada sedikit catatan Mas Galih tentang performa mereka selama di pelatnas." Galih adalah kepala pelatih atlet putri sebelum aku menggantikan posisinya.

"Baiklah, makasih, Mas Heri," ujarku sambil menerima buku catatan Galih dari tangan Heri. "Besok aku akan perhatikan mereka ekstra." Lebih enak melihat langsung daripada mencerna catatan orang lain.

"Kalau begitu saya pamit dulu, ya, Nar. Udah malam," kata Heri, matanya melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

"Oke, sampai ketemu besok," ujarku.

Di luar ruang video, aku melihat Elka duduk di salah satu meja panjang di ruang makan. Buku catatan, buku pedoman gizi, dan laptop terbuka di hadapannya. Sesekali ia membetulkan kacamatanya yang melorot dan menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya. Meskipun penampilannya polos tanpa riasan, dengan kaos oblong longgar dan celana training panjang, ia terlihat menarik. Ternyata benar, seorang perempuan paling rupawan saat sedang menekuni bidang keahliannya.

Ketika ia mendengar langkahku, ia menoleh dan tersenyum. "Malam-malam belum tidur," ujarnya.

"Kamu juga," balasku, mengambil posisi di hadapannya dan berusaha membaca tulisan di buku-buku yang terbalik itu.

"Lagi hitung kebutuhan gizi sama bahan makanan apa aja yang perlu disiapin," jelasnya sambil merapikan beberapa bukunya. "Catatan lama menunjukkan semua bahan makanan organik yang dipesan. Tapi sebenarnya nggak semua makanan harus organik. Kadang harganya terlalu mahal, nggak worth it."

Elka menyodorkan catatan yang dimaksud. Satu kolom menunjukkan nama bahan makanan, beberapa kolom lainnya menunjukkan kandungan gizi seperti karbohidrat, protein, dan mineral, sedangkan kolom terakhir menunjukkan harga bahan makanan tersebut. Di baris paling bawah tercantum biaya total dan anggaran yang tersedia.

"Ini kalau nggak pakai organik," ujar Elka sambil menyerahkan catatan lain. Total harganya jelas berbeda jauh.

"Wagyu," tawaku membaca nama daging sapi di catatan lama yang memuat bahan-bahan organik.

Sang PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang