Bab 10: Masalah

2.9K 167 98
                                    

Elka bergerak cepat. Suatu sore di awal minggu, ia memberitahuku bahwa ia akan memanfaatkan waktu sholat Jum'at untuk menyelidiki kantor para pelatih dan petinggi di pelatnas. Sementara itu ia memintaku mengabarkannya jika mereka sudah kembali ke pelatnas. Lalu hari Sabtu ia akan menyambangi pertanian adik ipar Pak Andika di luar kota Bogor untuk mencari informasi tambahan.

"Apakah aku harus ikut hari Sabtu?" tanyaku.

Elka mengangkat bahu. "Nggak harus. Kurasa penyelidikan kali ini bisa kukerjakan sendiri. Kalau kamu ingin mengunjungi keluargamu, boleh, kok."

Kupertimbangkan kata-katanya. Bagiku, ini bukan masalah ingin atau tidak ingin, melainkan harus atau tidak harus. Penumbra sudah menunjuk kami sebagai rekan, maka aku harus mendukung penyelidikan Elka kapanpun juga.

"Aku akan ikut," ujarku. "Aku nggak tahu bisa membantu apa, tapi dua pasang mata lebih baik daripada sepasang. Siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu yang terlewat olehmu."

Sekalian, aku dapat belajar dari pengalaman ini.

Elka tersenyum. "Baiklah, rencananya kita berangkat pagi dan pulang sore. Tapi kalau terpaksa harus menginap, persiapkan juga, ya."

"Apa? Menginap?"

"Kalau terpaksa," ulang Elka, masih dengan senyumnya.

PRAK!

Suara benda terjatuh itu mengejutkanku dan Elka. Kami segera menoleh ke sumber suara. Elka meletakkan telunjuk di bibirnya, mengisyaratkanku untuk diam. Ia beranjak dari tempat duduknya dan melongokkan kepalanya. Aku mengikuti gerakannya. Tiang bendera Indonesia yang biasanya berdiri di sudut ruangan kini roboh. Tak jauh dari benda tersebut, sosok punggung seorang perempuan dengan rambut dikuncir kuda bergegas menjauh.

"Shella?" aku bertanya dengan suara kecil.

"Sejak kapan dia mendengar pembicaraan kita?" balas Elka.

"Ini gawat?"

"Tergantung seberapa jauh dia mendengarnya. Atasan nggak bilang anak-anak patut dicurigai ... tapi aku akan mencari tahu apakah dia punya hubungan dengan target kita. Kamu coba amati dia saja, siapa tahu dia nggak sengaja bilang sesuatu tentang kejadian ini."

Elka memintaku melakukan sesuatu yang sangat sulit. Mendekati orang, apalagi berbasa-basi, sangat sulit bagi orang pendiam sepertiku. Namun rasa tanggung jawabku lebih besar daripada rasa ketidaknyamananku.

"Aku akan berusaha," tuturku.

"Kalau begitu aku pulang ke kos dulu, ya. Sampai besok," ujar Elka. Tidak sepertiku, ahli gizi, terapis, dan staf lain yang bukan merupakan atlet atau pelatih memang tidak tinggal di asrama.

***

Sepanjang minggu ini, aku mengamati Shella tanpa ketahuan olehnya. Namun beberapa kali mata kami saling bertatapan. Aku bersikap biasa saja, malah dia yang selalu menundukkan kepalanya setiap kali itu terjadi. Kata Elka, aku harus berterimakasih pada wajah datarku dan tatapan dinginku sehingga orang lain sulit membaca apa yang ada di pikiranku.

Sayangnya, akibat pengamatanku, performa Shella kembali menurun. Beberapa kali ia melakukan kesalahan konyol, padahal sudah kuingatkan strategi jurus yang harus dikerahkannya apabila menghadapi serangan seperti itu. Sepertinya ia gugup dan banyak melamun.

Terpaksa, aku memanggilnya untuk bertemu empat mata di kantorku. Kami berhadapan, namun ia hanya menundukkan kepala dan menggigit bibir bawahnya.

"Shella," ujarku, menggunakan suara lembut, "apakah ada masalah?"

Sang PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang