Bab 5: Rembulan

2.7K 166 80
                                    

"Kamu asalnya dari mana?" tanyaku.

"Aku dari Sukabumi. Cuma setelah kuliah di Bogor, nggak pernah menetap di sana lagi. Kerja di Bogor dan Jakarta," jelas Elka.

"Hmm," aku menanggapi. "Sekarang tinggal di mana?"

"Di Bogor. Tapi aku sering pindah-pindah juga, tergantung pekerjaan. Misalnya waktu dulu aku kerja untuk PBSI, ya, aku ngekos di dekat Cipayung."

Aku mengangguk paham. "Aku lahir, besar, dan tinggal di Jakarta Selatan. Tapi mungkin kamu sudah tahu itu."

"Ya, ada enaknya juga tinggal di tempat yang sama terus. Kamu mudah bertemu keluargamu, kan? Dan kamu juga sering jalan-jalan ke luar negeri waktu masih menjadi atlet."

"Iya, sih," sahutku.

Padahal keluargaku di Jakarta hanyalah Mas Prad dan keluarganya, serta Wulan dan Chandra. Orangtuaku sudah meninggal. Mereka juga orang perantau sehingga kerabat asli mereka masih ada di daerah asal masing-masing. Ayahku orang Jawa dan ibuku orang Minang. Makanya Mas Prad pernah merantau ke Sumatera Barat dan bertemu Uni Ratna.

"Paling nggak, lumayan, kan, PB TI lokasinya di Senayan? Jadi kamu nggak harus pindah. Atau malah bosan, pengen tempat baru?" ujar Elka.

Aku tersenyum kecil dan menggeleng. Tentu saja sangat menguntungkan bagiku karena lokasi PB TI berada di Senayan, sangat dekat dengan Sudirman, tempat tinggalku sekarang. Aku masih tinggal bersama Mas Prad dan Uni Ratna. Mas Prad yang sudah pulih kini dapat kembali bekerja, sedangkan Uni Ratna mengurusi toko online-nya dari rumah dan menjaga Chandra dan Hapsari. Wulan masih direhabilitasi di salah satu pusat rehabilitasi di Sudirman, namun ia boleh pulang setiap akhir pekan. Tugasku adalah antar-jemput Wulan ke pusat rehabilitasi tersebut.

"Habis ini kamu ke mana, Elka?" tanyaku.

"Ke kosan baru, beres-beres barang," sahut Elka.

Aku melihat jam tanganku. Pukul setengah empat sore. Aku harus menjemput Wulan pukul lima. Tapi rasanya tak enak jika aku tak membantu Elka.

"Em, kalau perlu bantuanku, aku bisa bantuin setelah jemput adikku," aku menawarkan diri.

"Makasih, Nar, tapi tinggal baju-baju sama bukuku aja," ujar Elka.

"Oke," sahutku.

Kami tiba di puncak Suryajati Tower setengah jam kemudian. Begitu aku, Pak Alfred, dan Elka turun dari pesawat, aku melihat seorang lelaki berkacamata hitam dan mengenakan pakaian serba putih di tepi helipad yang dialih-gunakan menjadi landasan pesawat jet. Aku yakin dia adalah agen Penumbra yang akan membawa pulang pesawat ini ke markas.

"Baiklah, kita berpisah di sini," ujar Pak Alfred ketika kami tiba di lobby Suryajati Tower. "Semoga berhasil dengan tugas kalian."

"Makasih, Pak," ucapku.

Elka mengatakan hal yang sama. Pak Alfred menyalami kami, lalu keluar dari gedung. Aku menatap Elka, merasa bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Namun tidak dengan perempuan itu.

"Sebaiknya simpan dulu dokumen dari Bu Gisella," ia memberitahuku. "Setelah itu kamu bisa leluasa ke mana-mana?"

"Kamu langsung pulang ke kosan?" tanyaku.

Ia mengangguk. "Ini lagi pesan taksi online."

"Ya udah, aku temani sampai taksinya datang."

"Nggak usah, Nar. Kamu, kan, harus jemput adikmu. Buruan."

Aku mengangkat bahu, lalu bergegas menuju gedung lain di kompleks Suryajati Tower ini. Aku memang tinggal di salah satu gedung apartemen di Suryajati Tower, tentu saja yang tidak terlalu mewah. Tiara memberikan diskon khusus untukku. Awalnya aku enggan menerimanya, namun ia bersikeras bahwa ini adalah bentuk ucapan terima kasih darinya. Mana kutahu ujung-ujungnya ia membeli klub taekwondo di Ragunan dan menunjukku jadi pelatih kepala.

Sang PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang