Bab 9: Perubahan

1.8K 146 88
                                    

Walaupun aku kembali ke Senayan, ke dunia yang sangat kukenal, ternyata banyak hal baru yang kupelajari di masa kepelatihanku di sini. Menjadi pelatih sangat berbeda dengan menjadi atlet.

Dulu aku hanya memikirkan diriku sendiri, bagaimana aku dapat meningkatkan performaku. Sekarang aku harus memikirkan limabelas atlet putri dengan segala kemampuan dan motivasi mereka yang beragam, membimbing mereka kepada satu tujuan.

Asian Games tahun depan.

Setelah penilaian hari pertama, aku menyusun rutinitas baru untuk mereka. Pagi hari, lari keliling kompleks olahraga Senayan, diikuti dengan peregangan dan fitness hingga siang hari. Setelah makan siang, mereka berlatih gyeorugi. Berenang tiga kali seminggu. Setiap minggu pertama dan ketiga, aku membuat turnamen untuk menyiapkan mental tanding mereka. Turnamen pertama dimenangkan oleh Dewita Sandria Putri, atlet taekwondo andalan nasional. Turnamen kedua dimenangkan oleh Jeanna Mulyani, saingan terberat Dewita.

Masih wajah-wajah lama yang mendominasi. Aku mengharapkan kejutan dari atlet lainnya, namun tampaknya kondisi status quo masih bertahan.

Setiap akhir bulan, aku menyuruh mereka menimbang berat badan untuk mencapai target kelas mereka. Di sini aku bekerja sama dengan Elka yang mengatur makanan mereka.

"Bulan ini kamu baru turun setengah kilogram," ujarku pada Shella yang turun dari timbangan. "Targetmu dua kilo, sih, jadi aku nggak terlalu maksa ... tapi makannya tetap dijaga, ya."

"Em, Mas Danar, aku sempat lihat Shella jajan bakso di luar sore-sore," celetuk Dahlia sambil tertawa.

Spontan Shella melotot pada rekannya. Aku hanya menggeleng.

"Cuma sesekali! Lagian aku kan stres, masa nggak boleh hiburan sama sekali?" gerutu Shella.

"Bukannya nggak boleh. Tapi harus izin dulu. Takaran gizi kalian sudah kusesuaikan untuk kebutuhan sehari. Kalau kamu makan bakso, berarti ada asupan yang nggak seimbang. Kamu tahu kalau kandungan lemak di bakso itu mencapai enampuluh persen? Belum lagi minyak di kuahnya," tegur Elka.

"Tenanglah, El," ujarku. "Kali ini kumaafkan, tapi lain kali bilang sama Mbak Elka, yah. Oke selanjutnya, Anita, silakan naik ke timbangan."

Dalam dunia olahraga, tak ada yang namanya privasi berat badan. Biasanya perempuan ogah menunjukkan berat badan mereka, namun di dunia taekwondo, mereka diwajibkan menimbang diri sendiri di hadapan kami.

"Oke, kerja bagus semua. Silakan bubar dan istirahat malam ini. Kita lanjutkan besok," ujarku kepada anak-anak asuhku.

"Nar, bisa bicara sebentar?" tanya Elka begitu mereka sudah pergi.

"Aku beres-beres bentar dan mandi dulu, ya," sahutku.

"Oke, kutunggu di teras asrama."

***

Aku mengusap rambut basahku dengan handuk. Tak perlu repot-repot disisir, aku mengalungkan handukku di leher dan mencari Elka di teras asrama. Ia sedang duduk di bangku kayu, menikmati senja di Jakarta. Begitu melihatku, ia melemparkan senyum manisnya.

Aku menempatkan diriku di sebelahnya. Elka tak langsung berbicara. Ia menghirup udara dalam-dalam, seakan-akan ingin menyampaikan suatu hal penting.

"Jadi persediaan bahan makanan bulan ini udah mau habis," ia memulai. "Sisa pesanan Mas Kenzo, ahli gizi sebelum aku."

Ia berhenti sejenak. Aku menunggu ucapan selanjutnya.

"Giliranku yang memesan bahan makanan untuk bulan depan. Aku mengusulkan pesan di tempat berbeda, mengurangi bahan organik untuk memotong anggaran. Penumbra bilang sebaiknya dana dialokasikan untuk insentif atlet daripada dihabiskan buat belanja."

Sang PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang