✉ DUA: Yang Tak Pernah Pergi

24.4K 1.5K 188
                                    

---o0o---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---o0o---

Kebanyakan seniman tak pernah melewatkan satu malam pun dengan cepat. Selalu ada milyaran warna-warna terang yang mengisi kepalanya sampai dia harus bangkit dari tempat tidur, mengambil peralatannya, and then, magic will show how incredible their souls are.

Malam itu seorang laki-laki yang tinggal di griya tawang sebuah rumah di Chippendale melakukan sebagaimana seniman di tengah malam. Ketika gerakan alam semakin lambat, meski Sydney tak pernah terlihat lelap, dia menghidupkan hasratnya pada sebuah kanvas. Menghadap ke arah Surry Hills dan darinya sebuah potret wajah tanpa pipi, hanya alis, mata bundar yang cantik, hidung mancung, bibir yang dibuat oleh garis menyambung, dan sedikit kisi-kisi lembut untuk rambut, terlahir pada kanvas. Lalu dituliskannya di bagian atas kanvas 'Yang Tak Pernah Pergi' dan di pojok kanan bawah goresan tak begitu jelas tertulis namanya, Keanu.

Suara ketukan langkah berjalan mendekat. Kean tahu itu pasti Bruce yang tidak bisa tidur. Bertahun-tahun pemilik rumah yang tuli itu mengaku mengalami insomnia, dan akibatnya dia selalu memergoki penyewa griya tawang rumah miliknya itu sedang melukis di malam hari. Bangunan kecil di lantai teratas, atau malah tepat di atap itu menjadi penawaran paling murah yang bisa Keanu dapatkan untuk hunian di Chippendale.

Bruce mengetuk pundak Kean untuk berbicara dengan bahasa isyaratnya. "Kenapa kau selalu melukis di malam hari?" tangan dan gerakan semu bibirnya sibuk membahasakan.

"Jutaan kaleng cat minyak tumpah di dalam kepalaku setiap malam. Kau juga, harusnya melatih insomniamu," jawab Kean yang sudah ngelotok dengan bahasa isyarat. Bukan karena sudah sejak lama dia menyewa di griya tawang milik Bruce, tapi karena ayahnya yang nun jauh di Jakarta sana juga mengalami nasib yang sama. Tuli.

"Kau bisa saja," wajahnya tersenyum.

Kean membalas senyum itu, "Aku lapar, apa kau punya sesuatu untuk dimakan? Aku tidak sempat membeli apapun karena pulang lebih lambat. Harusnya malam ini aku lembur, tapi aku tunda untuk besok."

Bruce menggeleng heran, "Harusnya kau bilang dari tadi, sobat."

"Aku kira kau sudah mendengkur,"

"Pukul sebelas malam masih terlalu sore buatku." Bruce meninju pundak Kean. "Kau tunggu di sini, akan kuambilkan sesuatu. Sepertinya tadi Eliza masih menyisakan makan malam."

"Yo, dude, kau punya pacar yang keren sekali! Bawa semuanya ke sini, kita makan bersama."

Bruce memutar bola matanya, "Lihat, kau yang menyewa di tempatku, tapi aku yang melayanimu seperti raja."

Kean tergelak, "Lain kali aku yang akan mengabdi padamu, Tuan," dia membungkuk sambil bersikap seperti abdi.

Tak lama kemudian Bruce kembali dengan sepiring pasta dengan saus tomat dan seplastik penuh kaleng soda. "Aku minum saja, kau habiskan pasta itu." kata tangan Bruce.

Sydney Retrouvailles (Pemenang Wattys 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang