✉ TUJUH: Satu Dan Lain Hal

9K 979 52
                                    

***
TUJUH
***

Sydney, 2012

“Jika dihitung sepertinya sudah satu semester yang lalu kamar ini ditinggalkan penghuninya. Bruce sudah mempersiapkan kamarmu, menata ulang, dan sedikit banyak melakukan bersih-bersih,” Kean menjelaskan sedikit tentang kamar Merida setelah bolak-balik menuruni tangga sebanyak dua kali demi mengangkut barang-barang.

“Iya.”

“Itu kamarku,” dia menunjuk ke arah pintu yang berhadapan cukup jauh. Hanya berbeda belok dari ujung tangga. “Aku ada di rumah ini dan akan tetap terjaga sampai pukul dua pagi, kurasa.”

Merida mengangguk.

“Sekarang kau bisa beristirahat. Atau lakukan apa saja yang perlu kau lakukan.”

“Terima kasih.”

Kean tersenyum sebentar lalu berniat pergi dari sana menuju kamarnya. Akan tetapi langkahnya tidak dilanjutkan saat Merida berujar, “Apa ada aturan di rumah ini? Karena aku suka menyetel musik selagi mendesain.”

Keanu tertegun dengan alis yang terangkat sebelah.

“Aneh, ya?” ucap Merida.

Dengan cepat Kean menggeleng, “Oh, tidak ada aturan di rumah ini. Kau mau menyetel musik apapun, atau mabuk, merokok, atau mengundang teman, atau apa saja itu terserah. Asal tetap menjaga keamanan sesama. Mungkin hanya ada beberapa informasi yang perlu kau tahu karena ini cukup mendasar dan ... penting.”

Gadis itu mengangguk, “Katakan.”

“Pertama, aku yang waktu itu menjawab teleponmu ketika reservasi, atas nama Bruce. Karena dia tidak bisa mendengar suara apapun kecuali isi hati dan desingan dalam kepalanya. Jadi cara berkomunikasi dengannya, kau tahu, harus menggerakkan tangan untuk berbahasa.”

Deaf?” katanya seperti berbisik dengan kedua mata yang melebar terkejut.

Kean mengiyakan dengan anggukan disertai kerjapan. Dia memasukkan kedua tangannya ke saku jins untuk lebih rileks. “Tapi kau bisa minta bantuanku untuk keperluan yang menyangkut dengannya. Aku sudah beberapa tahun di sini dan sangat paham bagaimana cara berbicara dengannya.”

“Yang kedua?”

“Aku seroang muslim. Jadi, kurasa kau tahu beberapa hal tentang informasi ini. Apa yang bisa kau lakukan, dan apa yang tidak.”

“Yeah, kaum kalian cukup aneh. Aku tahu.”

Kean merasa terganggu dengan kalimat itu. Tapi dia sudah terbiasa dengan hal semacamnya. Jadi pikirnya diam dan tak begitu resposif menjadi keputusan yang lebih baik.

“Ketiga, ada satu lagi ruangan di atas sana. Itu griya tawang yang disewa olehku juga.”

“Kau punya dua kamar?”

“Itu bukan kamar, tapi galeri. Ada satu lagi ruang kecil di sisi luarnya, itu studioku.”

“Jadi kau mendominasi di sini, ya.”

“Tidak juga.”

Merida tidak menanyakan untuk apa laki-laki yang baru saja ditemuinya itu harus memiliki tiga ruangan dalam satu rumah. Dia mengangguk sebentar, tak peduli, lalu mendorong kopernya sampai akhirnya pintu itu tertutup.

“Sama-sama,” gumam Kean menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Tersenyum tak habis pikir, lalu melengos ke kamarnya. Setidaknya gadis itu harus mengucapkan terima kasih.

***

Jakarta, 2016

“Kita lanjut besok kalau memang kalian masih ada waktu buat kumpul lagi,” Kean berkata begitu setelah melihat Bondan menguap beberapa kali di sela ceritanya. Sementara penyanyi di panggung sana sudah berbeda dan mereka bertiga tak ada yang mengenali.

Sydney Retrouvailles (Pemenang Wattys 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang