Bab I (part 1)

2.8K 226 73
                                    

"Pagi, Neng Rinai," sapa Pak Bambang –satpam sekolah– seperti biasa dengan gayanya yang santai.

"Pagi, Om Bams," jawabku sembari tersenyum kepada Pak Bambang.

Om Bams; panggilan itu hanya dipakai oleh murid-murid di SMA Insan Brilian, termasuk aku, Dirga, dan Luna. Kami cukup akrab dengan Pak Bambang, apalagi Dirga yang sering mohon-mohon dibukakan pintu gerbang karena terlambat.

"Om, Bu Rumi udah datang, ya?" tanyaku penasaran setelah melihat di parkiran guru sudah ada mobil matik berwarna abu-abu metalik yang kalau tidak salah itu adalah mobil Bu Rumi.

"Udah Neng, itu mobilnya udah ada," jawab pak Bambang sambil menunjuk ke arah mobil yang sejak tadi sudah kuperhatikan.

"Oke, Om. Rinai ke kelas dulu, ya."

*****

Pagi yang cukup sejuk. Mentari sepertinya masih malu-malu untuk memancarkan sinarnya. Angin segar mengiring dedaunan kering yang jatuh dengan indahnya menuju arah gravitasi. Kicauan burung-burung bersahutan seolah tak mau kalah untuk menyambut hari. Keindahan suasana nyaman seperti inilah yang aku sukai, menenteramkan dan tidak bising.

Aku membolak-balik lembaran buku tata busana yang tidak terlalu tebal. Ya, kuberitahu saja bahwa sekolahku memiliki mata pelajaran yang cukup unik. Terbungkus dalam silabus muatan lokal, kami mendapat pelajaran tambahan seperti tata busana, tata boga, dan desain grafis. Pagi ini aku ada janji dengan dua orang sahabatku, Dirga dan Luna untuk belajar kilat beberapa menit sebelum ulangan dimulai.

Sejak hari pertamaku menjadi siswi di salah satu SMA terfavorit Kota Industri, aku berkenalan dengan mereka. Luna, siswi periang dengan rambut sebahu yang gaya bicaranya ceplas-ceplos, suka sekali minum susu kotak rasa cokelat dan makanan kesukaannya adalah pisang goreng. Dirga, siswa laki-laki dengan perawakan tegap mirip polisi, tetapi gayanya selalu santai dan cuek. Mereka berdua adalah sahabat yang baik, selalu saja ada tawa canda yang tercipta ketika aku sedang bersama mereka.

"Pagi, Ri, udah belajar? Aku bingung mau belajar apa." Luna tiba-tiba sudah berada di hadapanku sembari meminum susu kotak rasa cokelat kesukaannya. "Bu Rumi itu kalau ulangan soalnya pasti susah," sambungnya dengan menghela napas pasrah.

"Hai, pagi juga, Lun. Enggak susah sih sebenarnya, cuma detil, perfeksionis dan sistematis," ujarku menanggapi celotehan Luna dengan tenang.

"Justru itu, aku orangnya nggak detil, apalagi perfeksionis dan sistematis, boro-boro deh. Lagipula hasil praktik tata busana pun udah menguap kayaknya dari seminggu yang lalu, otakku nggak bisa menyimpan pelajaran terlalu lama," racau Luna asal sembari mengetuk-ngetukkan pensil berulang kali ke keningnya.

Aku tertawa pelan melihat ekspresi wajahnya yang lucu. Jelas sekali kalau air mukanya memancarkan aura gelisah dan pasrah yang bercampur menjadi satu. Ulangan mata pelajaran yang diampu Bu Rumi memang tidak susah sebenarnya. Karena cukup dengan mengerjakan semua tugas dan melakukan praktik dengan sungguh-sungguh, pasti akan dengan mudah menjawab soal-soal lisan yang beliau berikan.

Lisan? Iya, Bu Rumi adalah satu-satunya guru yang tidak pernah memberikan ulangan harian secara tertulis. Beliau guru muda yang sangat cerdas dan berwawasan luas. Ah iya, satu lagi, beliau sangat perfeksionis. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya ketika namamu dipanggil untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan, face to face.

Sebenarnya Bu Rumi tidak menakutkan karena tidak pernah marah-marah atau kasar kepada kami. Hanya saja sifat perfeksionis dan sorot matanya yang cukup tajam mampu mematikan mental kami saat ulangan. Senyum beliau saja sudah membuat kami sesak napas. Senyum yang sangat sulit diartikan. Bisa jadi senyuman itu memang karena jawaban kami sudah benar, tetapi bisa juga karena jawaban kami ngelantur tanpa arah.

"Ah, aku bangun kesiangan. Masih ada waktu berapa lama untuk bernapas sebelum eksekusi mati?" tanya Dirga yang muncul di hadapanku dan Luna dengan napas tersengal serta wajah penuh keringat.

"Lima menit. Eh, dipikir-pikir kamu nggak pernah terlambat kalau hari Rabu ya, Ga," ucap Luna dengan menampilkan ekspresi wajah innocent.

"Murid mana yang berani terlambat masuk kelas pas pelajaran Bu Rumi, hah?" sahut Dirga kesal dan melempar tisu bekas keringatnya ke arah Luna.

"Ih, jorok! Harusnya setiap hari ada pelajaran Bu Rumi di kelas kita pas jam pelajaran pertama, biar seorang Dirgantara Arya nggak ngerepotin Om Bams karena telat." Tidak mau kalah, Luna menimpali perkataan Dirga sambil tertawa terbahak-bahak.

Luna tiba-tiba menghentikan tawanya ketika ada sosok dengan sorot mata yang tajam berjalan ke arah kami. Aura di sekeliling semakin terasa mencekam ketika sosok itu sudah begitu dekat dengan kami. Tidak salah lagi, dia adalah Gema Adinata Samudra. Siswa kelas XI Sosial 4 yang terkenal dingin, tegas, kaku, dan cuek seantero sekolah.

"Mati aku, tamat sudah riwayatku pagi ini," desis Luna yang pura-pura sibuk dengan buku catatannya dan tidak berani bersuara lagi sedikit pun.

Gema berjalan dengan langkah pasti menuju ke arah kami. Bisa dipastikan bahwa dia akan menegur kami lagi. Dia terus berjalan melewati kerumunan murid-murid perempuan heboh yang sepertinya tergila-gila dengan pesonanya. Ya, memang kuakui bahwa dia cukup tampan. Namun, ketampanannya bisa hilang seketika jika dia sudah berbicara. Jangan bayangkan kalau dia seperti kakak kelas yang terkenal di novel-novel kesukaanku, yang meskipun dingin tetap memesona.

Bagiku dia cenderung menyebalkan. Aku masih ingat bagaimana rasanya ketika hari pertama masa orientasi siswa, dia memarahiku karena tidak memakai dasi. Ingin sekali kutinju wajahnya waktu itu karena dia tidak mau mendengar penjelasanku sama sekali. Padahal di SMP tempatku bersekolah dulu tidak pernah memakai dasi, lalu aku harus memakai dasi siapa, papaku?

"Sudah puas tertawanya? Ini ada titipan tugas dari Bu Rumi, beliau ada urusan jadi tidak bisa masuk kelas," ucap Gema.

Nada bicara Gema masih sama seperti ketika menjadi ketua Master of Dicipline pada saat masa orientasi siswa; tegas dan dingin. Tidak ada satu senti pun senyum yang tercetak dhhpi wajahnya.

"Oh iya, ma– makasih, Kak," respons Luna dengan suara bergetar. Tangan Luna sedikit gemetar ketika menerima kertas dari tangan Gema yang kemudian pergi ke arah kelasnya di lantai dua.

"Dia itu sarapannya KBBI kali setiap hari, bahasanya baku banget. Mukanya kaku juga. Ya Tuhan, aku bingung mau senang atau takut, senang karena nggak jadi ulangan, tapi takut karena abis ketemu monster," ucap Luna sembari memelukku dengan sangat kencang, dan Dirga tertawa tanpa suara melihat Luna yang ketakutan. Sedangkan aku, masih sibuk dengan isi kepalaku sendiri yang entah kenapa jadi terus saja menerka-nerka memikirkan tentang Gema.

*****

to be continue....

Ps: Alhamdulillah, APH lolos di tahap pertama GMG Hunting Writers 2021. Yuk, dukung terus dengan selalu setia baca dari awal dan kasih vote. Jangan lupa juga komen dan share ke teman-teman kalian di seluruh semesta ini, ya. Biar Gema dan Rinai semangat menceritakan kisahnya hehehe. Terima kasih, mwaaahhh :* :*

Anugerah Patah Hati [COMPLETE] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang