BAB II (Part 2)

910 127 12
                                    

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi sekitar tiga menit yang lalu, tetapi sudah ada tamu tak diundang yang menungguku di depan pintu kelas. Siapa lagi kalau bukan Gema. Sepertinya tidak ada kata santai di dalam kamus hidupnya, yang ada hanya disiplin dan kaku. Itu saja mungkin. Aku menghampiri Dirga dan Luna sebentar untuk berpamitan. Lalu dengan langkah cepat tetapi tidak bersemangat menghampiri Gema.

"Kak, harus ya dijemput ke kelas begini?" Begitu sampai di hadapan Gema, aku menyampaikan pertanyaan yang menyiratkan bahwa aku risih dengan sikapnya.

Bukan menjawab pertanyaanku, Gema malah menampilkan senyum asimetris sambil menaikkan sebelah alisnya. Setelah itu dia menatapku dengan lekat, aku menundukkan wajah karena takut dengan sorot matanya yang tajam. Seperti biasa, tatapan yang mengintimidasi.

"Kalau saya tidak jemput kamu ke kelas, nanti kamu kabur dari agenda hari ini." Gema berbicara dengan suara pelan, tetapi sangat menusuk di telingaku.

Kabur? Memangnya dia pikir aku orang seperti apa sampai kabur-kabur begitu. Aku hanya bisa sesak menahan sabar di hadapannya. Tanganku mengepal, rasanya ingin sekali meninju wajahnya yang sok itu.

Tanpa banyak basa-basi, Gema menarik tanganku seraya berkata, "Kalau nunggu kamu diam mematung kayak prasasti begini bisa-bisa kita pulang tengah malam."

Aku berusaha melepaskan genggamannya di pergelangan tanganku, tapi rasanya sulit. Tidak terlalu kuat, tetapi rasanya membelenggu. Sama sekali tidak kasar, tetapi seolah ada magnetnya, susah dilepaskan. Mau tidak mau aku harus berjalan cepat menyamai langkahnya yang cepat menuju perpustakaan.

Aku dan Gema duduk di bagian pojok ruang baca, ditemani setumpuk buku-buku tebal di hadapan kami. Kemarin Gema sempat bilang kalau siswa berprestasi wajib menguasai wawasan umum juga, terutama tentang teknologi yang sedang berkembang pesat saat ini.

"Ri, kamu tolong kuasai yang bagian bioteknologi ya, saya anak IPS tidak terlalu paham Biologi." Aku menoleh ke arah Gema yang sedang berbicara tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dibaca.

"Oke," jawabku singkat.

Tidak banyak bicara adalah pilihan terbaik saat bersama orang seperti Gema. Tetapi kerja tim harus selalu berdiskusi, bagaimana caranya diskusi dengan baik kalau saling diam. Apa ini definisi diskusi menurut Gema? Menggunakan telepati? Aku mendengus pelan setelah larut dengan pikiranku sendiri, lalu mencoba fokus untuk membaca kembali.

Setelah membaca puluhan lembar buku, aku melirik jam tangan. Ternyata sudah hampir satu jam kami berada di perpustakaan. Aku memperhatikan Gema yang masih serius membaca buku Algoritma Pemrograman. Serius sekali, rasanya kalau detik ini ada gempa dia tidak akan merasakannya.

Kata Luna, menurut kabar yang beredar di sekolah, Gema adalah satu-satunya anak IPS yang berhasil menjadi pemenang dalam berbagai lomba, terutama yang berhubungan dengan teknologi bahkan mampu mengalahkan anak IPA. Kalau dilihat-lihat sebenarnya dia berpotensi untuk menjadi idola di sekolah, dengan syarat dia tidak cuek dan galak seperti biasanya. Apalagi dia adalah siswa yang sangat aktif di berbagai kegiatan sekolah. Jangan-jangan memang sudah jadi idola, tetapi para pengagumnya tidak ada yang berani mendekat karena takut kena semprot.

"Bukunya ada di meja Ri," tegur Gema membuyarkan lamunanku. "Bukunya belum pindah ke wajah saya, jadi jangan memperhatikan wajah saya, hati-hati naksir nanti bertepuk sebelah tangan."

Aku mengalihkan pandanganku ke buku, salah tingkah mendengar pernyataan Gema barusan. Pasti wajahku terlihat panik dan seperti orang bodoh sekarang. Malu, takut, bingung, semua bercampur menjadi satu. Jantungku berdebar kencang dan napasku mendadak sedikit sesak. Aku meminum air mineral botol yang ada di meja untuk menghilangkan kegugupanku.

Naksir? Dia itu manusia yang terlewat percaya diri atau bagaimana sih? Siapa juga yang akan naksir dengan orang yang aneh dan hobi marah-marah sepertinya. Dibayar pun tidak mau rasanya. Jika hanya tersisa satu laki-laki di dunia ini dan itu adalah dia, rasanya lebih baik sendiri saja tanpa pasangan daripada bersamanya.

"Sepertinya kamu lapar, Ri. Sudah semakin sore juga, perpustakaan sebentar lagi tutup. Kita pindah ke gazebo saja, sekalian makan bekal." Gema mulai merapikan barang-barangnya kemudian melangkah keluar perpustakaan.

Buru-buru aku merapikan barang-barangku lalu berjalan di belakangnya sambil menunduk. Di dalam hati aku berharap semoga kejadian tadi tidak menimbulkan masalah apapun. Berulang kali aku memukul-mukul pelan keningku dan membatin kesal. Bodoh banget kamu, Rinai. Mempermalukan diri sendiri, dasar bodoh!

Gema menghentikan langkah tiba-tiba, sehingga membuatku menabrak punggungnya karena sedari tadi aku kurang fokus berjalan. Buku-buku yang kubawa jatuh berantakan. Aku memejamkan mata rapat-rapat, bersiap akan mendapat teguran pedas dari mulut Gema. Saat-saat seperti ini rasanya aku membutuhkan earphone agar tidak mendengar ucapan yang menusuk hati.

"Lain kali jalannya hati-hati," ucap Gema sambil menyerahkan buku-buku ke tanganku."Kamu duduk dulu di gazebo, saya ada urusan sebentar ke ruang OSIS, langsung makan duluan saja, Ri," sambungnya.

Nada bicara Gema terdengar aneh barusan. Lebih santai dan bersahabat. Aku masih terpaku, sedangkan Gema sudah melangkah jauh menuju ruang OSIS. Hari ini rasanya tidak jelas sekali. Terutama sikap Gema barusan, sangat berbeda. Mungkin hanya perasaanku saja. Ah, aku mendadak seperti orang linglung, mungkin karena kurang tidur. Anggap saja begitu.

Anugerah Patah Hati [COMPLETE] ✔Where stories live. Discover now