BAB II (Part 1)

1K 152 11
                                    

Sudah lebih dari dua jam aku berbaring di kasur, mencoba tidur tetapi tidak bisa. Mataku menelusuri setiap inci langit-langit kamar. Aku menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya dengan berat. Masih sangat terekam jelas kejadian tiga hari yang lalu di kantin. Entah kutukan apa yang diberikan semesta kepadaku sampai harus berpasangan dengan orang paling kaku seantero sekolah dalam seleksi siswa berprestasi.

Gema Adinata Samudra, berkali-kali nama itu terus berlarian di dalam kepalaku. Berkejaran dengan tatapan matanya yang mengintimidasi dan kata-kata yang tak banyak tetapi selalu menyebalkan. Ah, membayangkannya saja sudah membuat mood-ku tidak baik. Lalu bagaimana nasibku beberapa waktu ke depan, harus berdiskusi dengan Gema perihal banyak hal. Sepertinya aku yang harus melarikan diri ke Merkurius, setelah menendang Gema ke Pluto tentu saja. Pikirku bertemu makhluk luar angkasa akan lebih baik daripada harus berurusan secara intensif dengan Gema.

"Aaaakk ...."

Aku berteriak sambil menyembunyikan wajahku di balik bantal agar tidak terdengar dan menghebohkan sekitar. Semua ini gara-gara Gema, tidak mau tahu, pokoknya dia harus membayar mahal waktu tidurku yang terbuang sia-sia untuk memikirkan kekesalanku ber-partner dengannya. Dosa apa yang telah aku perbuat selama hidup sampai harus menebusnya seperti ini.

Tiba-tiba notifikasi Line di ponselku berbunyi, nama yang sejak tadi mengganggu pikiranku muncul di layar. Aku terperanjat dan hampir saja menjatuhkan ponselku. Gila, tengah malam begini dia harus menghubungiku? Lagipula dia dapat kontakku dari mana coba.

Gema Adinata Samudra

Malam.
Besok jangan lupa bawa
buku biografi tokoh yang
saya bilang kemarin,
jangan lupa juga kalau
besok kita sampai malam
jadi bawa perbekalan
biar tidak repot.
Thanks.

Aku berdecak kesal membaca pesannya. Tidak bisakah orang itu berbasa-basi dengan lebih baik, atau minimal menggunakan emot senyum dalam pesannya. Aku membalas pesan dari Gema dengan malas, tetapi sebagai adik kelas aku tidak berani untuk bersikap tidak sopan. Meskipun kesal, setidaknya aku harus membalas pesannya dengan pura-pura ramah.

Gema Adinata Samudra

Baik kak, besok yang
bawa buku astronomi
dan teknologi kak Gema, 'kan?

Cuma memastikan saja kak,
takut aku salah
menangkap informasi.

Iya.

Oke kak 👌👌

Jawaban obrolan macam apa itu. Singkat, hemat karakter. Kalau zaman dulu sewaktu aku kecil, ada provider yang menghitung penggunaan pulsa berdasarkan jumlah karakter yang dipakai saat berkirim pesan. Nah, Gema akan jadi salah satu orang yang amat sangat sedikit riwayat penggunaan pulsanya. Aku terus merutuk sebal di dalam hati. Kalau saja Dirga yang lolos seleksi, aku pasti tidak akan begini. Dia pasti tidak akan melakukan hal-hal yang menyebalkan. Pengalamanku juga pasti akan lebih menyenangkan.

Aku menutup wajahku dengan tangan. Mencoba menenangkan emosi yang sedari tadi menguasai pikiranku. Semoga semesta mau berpihak padaku untuk memutar waktu lebih cepat, agar aku tidak berlama-lama bekerja sama dengan Gema. Ya Tuhan, Pemilik semesta Yang Maha Kuasa dan Maha Baik, kumohon tolong aku.

*****

Keesokan harinya, aku menahan kantuk di kelas pada pelajaran sejarah. Semalam durasi tidurku hanya kurang lebih 1,5 jam. Itu pun aku baru bisa terlelap setelah membaca novel kesukaanku sampai tamat. Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Aku hanya bisa berharap semoga aktivitas hari ini tidak membuatku mood-ku semakin memburuk.

Luna dan Dirga menghampiriku yang memilih menyandarkan kepala di meja selama jam istirahat. Aku tidak berminat keluar kelas sama sekali, rasanya ingin cepat pulang ke rumah. Tidak kusangka terpilih menjadi siswa berprestasi untuk mewakili sekolah bukannya membuatku bahagia, tetapi malah tersiksa batin seperti ini.

"Ri, kamu sakit?" ucap Luna sambil meletakkan punggung tangannya ke dahiku lalu berpindah ke pipi dan leherku.

Aku menggeleng. Dirga dan Luna saling tatap penuh tanya, bahkan bisa dibilang tatapan penuh kekhawatiran. Aku menceritakan semua kegundahan hati yang kualami sejak beberapa hari lalu. Luna hanya mengangguk-angguk paham mendengar ceritaku, sedangkan Dirga menampakkan raut wajah penuh kekesalan. Mungkin dia masih kecewa karena tidak lolos seleksi, apalagi yang mengalahkannya adalah orang yang sering membuatnya sebal.

Entah, sejak kejadian di perpustakaan tempo hari, Dirga begitu membenci Gema. Aku tidak tahu pasti apa alasannya, mungkin karena sikap Gema yang cenderung kaku dan hobi mengritik orang lain. Dirga dan Gema memang terlihat sangat bertolak belakang. Dirga dengan pembawaan yang sangat santai dan suka bercanda, sedangkan Gema kaku sekali seperti kanebo kering.

"Doain ya, semoga aku sama kak Gema bisa menang mewakili sekolah kita, biar aku juga nggak sia-sia harus berurusan sama orang nggak jelas macam dia." Aku menutup cerita panjangku dengan helaan napas berat disusul satu kalimat penuh pengharapan.

"Iya, Ri. Pasti selalu kudoain." Luna menyahut penuh keyakinan. "Lagian ya, kamu sama kak Gema 'kan satu tim, masa iya kalian mau bersitegang terus, jadi anggap aja ujian kesabaran hehehe."

Dirga masih terdiam. Aku menatap ke arahnya, dan hanya disambut dengan senyum tipis yang menurutku terkesan dipaksakan. Andai saja Dirga yang lolos seleksi. Ah, Rinai, masih saja berandai-andai. Lebih baik hadapi kenyataan ini dengan lapang dada. Jangan lemah!

*****

Ada yang bisa menyelamatkan Rinai? Kasihan nih dia. Cara menolongnya gampang kok. Cukup baca terus cerita ini sampai selesai, lalu vote, dan komen. Hehehe Rinai pasti bahagia ~~

Anugerah Patah Hati [COMPLETE] ✔On viuen les histories. Descobreix ara