BAB I (Part 4)

1.1K 144 19
                                    

Keesokan harinya, sampai bel masuk berbunyi Dirga belum ada di dalam kelas. Paling-paling dia sedang memainkan lakon drama bersama Om Bams karena penyakit terlambat Dirga yang tidak sembuh-sembuh. Aku sibuk memainkan ponsel, membuka beberapa laman sosial media hanya untuk melihat-lihat postingan orang lain di beranda.

Luna sedang sibuk mengerjakan tugas yang akan dikumpulkan pada praktikum jam ketiga nanti. Beberapa hari belakangan Luna lebih banyak menghabiskan waktu di ruang OSIS, entah apa saja yang dikerjakan sampai-sampai dia menganggap sekolah seperti rumahnya sendiri. Bagaimana tidak, PR tidak lagi dikerjakan di rumah, tetapi di sekolah.

Pagi ini cuaca sedang sendu, sejak subuh tadi hujan sudah mulai membasahi sebagian wilayah bumi. Murid-murid di sekolahku tidak berlalu lalang di koridor seperti biasa. Musim hujan sepertinya membuat kami lebih senang berdiam diri saja di kelas. Musim kemarau juga sebenarnya karena di dalam kelas bisa merasakan sejuknya AC. Ah, masa bodoh urusan musim.

"Ah, akhirnya selesai juga. Bisa bernapas dengan normal lagi aku sekarang." Luna menghela napas lega setelah mengerjakan 25 soal yang cukup membuat tangan pegal.

"Lun, kemarin aku lewat ruang OSIS, kamu ada di dalam. Wajahmu capek banget kayaknya, terus juga wajah-wajah kakak kelas menyeramkan semua."

"Iya, Ri. Secara nih ya, sekolah kita sebentar lagi ngadain makrab tahunan dan ada pensinya juga, tapi persiapan baru sekitar 45 persen. Lebih parahnya lagi, ketua pelaksananya itu banyak mau dan semuanya harus perfect. Kamu tahu siapa ketuanya?"

Aku menggeleng. Ya, karena aku memang tidak tahu sama sekali urusan internal OSIS. Lebih tepatnya aku tidak mau tahu. Bukan karena tidak peduli, tetapi aku tidak suka terlalu ikut campur ke dalam hal-hal yang bukan urusanku.

"Ketua pelaksananya itu Gema, orang paling dingin, rapi, teratur, kaku, cuek bebek, tegas, perfeksionis, dan semua orang tahu kalau dia itu hobinya mengomel kayak ibu-ibu galak yang lagi PMS." Luna melanjutkan ceritanya dengan penuh penekanan pada saat mendetil sifat-sifat Gema.

Sejujurnya aku juga heran, karena baru kali ini aku menemukan manusia berjenis kelamin laki-laki tetapi kesehariannya sangat rapi dan terstruktur. Aku saja kalah. Padahal aku sudah termasuk ke dalam tipikal orang yang repot dalam segala kerumitan sifat keteraturanku yang menurut orang lain membosankan. Mulai dari aktivitas yang selalu kutulis di buku agenda, mengerjakan sesuatu penuh persiapan, bahkan waktu luang saja sudah kupersiapkan supaya tidak terbuang sia-sia.

Entah itu suatu kelebihan atau kekurangan. Permasalahannya adalah Gema itu memang terlalu menyebalkan. Aku sering secara tidak sengaja menguping obrolan murid-murid perempuan tentang Gema. Ternyata banyak yang menyukainya, tetapi mereka sepertinya terlalu takut karena Gema itu terlalu dingin dan galak. Bagiku, menyebalkan pokoknya.

Buru-buru kuusir pikiran tentang Gema. Hanya buang waktu memikirkan orang yang menyebalkan. Aku kembali fokus mendengarkan Luna yang masih bercerita tentang kesibukannya akhir-akhir ini. Aku salut dengannya, karena masih bisa bersikap ceria dan menyenangkan meskipun jelas sekali rasa lelah sedang menyerangnya bertubi-tubi. Kalau aku yang ada di posisinya, pasti sudah pusing tujuh keliling Gelora Bung Karno. Boro-boro bisa ceria, senyum saja rasanya sudah malas mungkin.

Dirga tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas dan langsung menyambar botol minum milik Luna, lalu meneguk airnya sampai hampir habis. Selalu begitu setiap pagi, seperti kaset rekaman yang menyiarkan reka adegan berulang-ulang. Luna hanya melipat kedua tangannya di depan dada sembari menatap kesal ke arah Dirga.

"Udah hilang hausnya? Bilang apa, Dirga? Terima kasih, Luna yang cantik dan baik hati, gitu," sindir Luna dengan ekspresi wajah cemberut.

"Sama-sama." Dirga merespons perkataan Luna dengan santai disertai senyum lebar.

Aku terkekeh melihat mereka. Sejak berteman dekat dengan mereka hidupku semakin lengkap. Selalu ada canda tawa sehingga hari-hariku jadi lebih menyenangkan. Selalu ada saja kekonyolan yang mereka perbuat.

"Hari ini hukumannya apa, Ga?" Aku meledek Dirga yang sedang fokus menyeka keringat di keningnya.

"Squat jump 55 kali, ditambah harus menyapu UKS pas jam istirahat pertama. Makin berat hukumannya. Nggak apa-apa sih, sekalian olahraga, apalagi hari ini pelajaran olahraga pasti kosong karena hujan."

"Rasain, sukurin! Harusnya hukumannya mengepel lantai seluruh kelas," sahut Luna sambil tertawa terbahak-bahak, "by the way, ke kantin, yuk! Aku lapar belum sarapan. Susu kotakku juga ketinggalan tadi." Luna beranjak dari tempat duduknya, lalu menggandeng lenganku dan menarik tangan Dirga.

Aku mengangguk setuju. Kami bertiga menuju kantin melewati koridor depan ruang UKS. Padahal biasanya kami cukup menyeberang lapangan basket secara diagonal untuk sampai ke kantin. Kami terpaksa memilih rute jalan yang lebih jauh karena tidak mau hujan-hujanan. Sesampainya di kantin, kami duduk membicarakan banyak hal yang akhir-akhir jarang dilalui bersama. Kami bersenda gurau sembari menikmati beberapa potong pisang goreng dan teh manis hangat pada saat jam kosong olahraga.

Tawa keras Dirga memecah keheningan di tengah suara hujan deras. Dia tertawa puas mendengar cerita tentang kekonyolan Luna yang pura-pura pingsan saat rapat, tetapi akhirnya ketahuan karena Luna histeris saat ada kecoa terbang dan hinggap di hidungnya. Aku menyikut lengan Dirga, takut tawanya akan mengganggu orang lain lalu memicu keributan, Prinsip senioritas dan junioritas tidak berlaku di sekolahku, tetapi bukan berarti kita bisa bersikap seenaknya 'kan? Saling menghargai keberadaan orang lain di tempat umum itu penting.

"Rinai Barsha Saabira!" Seketika suasana menjadi semakin hening saat terdengar ada suara orang memanggil namaku dengan sangat lengkap, dan segera aku menoleh ke arah sumber suara.

Pemilik suara itu melangkah menuju meja kami, dan menyampaikan maksudnya. Aku hanya diam mendengarkan, mengangguk tanpa perlawanan, dan setuju tanpa penolakan. Namun, tidak berlaku dengan nuraniku yang masih memberontak dan terus merutuk. Oh Tuhan, bisakah hal berat ini cepat berlalu? Kumohon.

*****

Happy weekend, yeeeaaayyy! Itu Rinai kenapa ya? Dia dapat masalah apa? Siapa yang manggil dan merusak suasana tiba2 itu? Dirga sih mulutnya nggak bisa dikontrol, ketawanya kenceng banget. Nantikan kelanjutannya, ya. Lafyuuuuuu 😘😘

Anugerah Patah Hati [COMPLETE] ✔Where stories live. Discover now