Bab I (Part 3)

1.4K 162 19
                                    

Kurang lebih 45 menit menempuh perjalanan, kami sampai di suatu tempat. Dirga membawaku ke pusat kota, tidak ada yang berbeda seperti kondisi pada umumnya. Banyak toko-toko dan gedung perkantoran. Dirga mengajakku berjalan menuju ke arah Barat, menyusuri trotoar yang tidak terlalu ramai. Beberapa kali aku bertanya ke mana tujuan kami, dan sebanyak itulah Dirga hanya menjawab dengan senyuman.

"Yeay, kita udah sampai, Ri." Dirga bersorak ceria saat menghentikan langkah di depan sebuah bangunan.

Tidak terlalu besar bangunannya, desainnya pun sederhana seperti toko-toko lain. Ada satu hal yang menarik perhatianku dari tampak luar bangunan ini, yaitu perpaduan warna cat hijau toska dan merah muda, sehingga terlihat mencolok di antara bangunan lain yang mayoritas bernuansa krem atau cokelat. Aku mengamati bangunan itu dengan saksama, mengerutkan kening karena bingung menebak tujuan Dirga mengajakku ke sini. Aku hanya mengangkat kedua alisku, mengisyaratkan agar Dirga mau menjelaskan.

"Kamu pasti bingung, ya, Ri? Ya ... ini sisi luar bagian belakang bangunan. Kita lewat pintu belakang aja karena kalau lewat pintu depan jauh dari tempat parkir males jalannya hehehe." Dirga tersenyum lebar menampilkan barisan giginya yang sangat rapi.

"Ini tempat apa sih, Ga?"

"Yuk, masuk! Biar nggak penasaran." Dirga mengetuk pintu kaca yang sepertinya dikunci dari dalam. Aneh, sudah tahu ada tulisan 'STAFF ONLY', tetapi Dirga malah justru mengajak masuk lewat sini.

Tidak perlu menunggu lama, ada seorang laki-laki muda mungkin kisaran umur dua puluh tahunan membukakan pintu. Dia menjabat tangan Dirga, lalu mengulurkan tangan kepadaku. Aku menyambut uluran tangannya sembari menyebutkan nama untuk berkenalan. Tanpa banyak berbasa-basi, dia mempersilakan kami masuk. Baru melangkahkan kaki beberapa centi, Dirga tiba-tiba menahanku.

"Tunggu tunggu, Ri. Kamu tutup mata dulu sekarang, aku bimbing masuk ke dalamnya. Oh iya, nggak boleh ngintip, kalau ngintip nanti ulanganmu remedial semua hahaha."

"Dih, ancamannya nggak seru. Harus banget tutup mata nih?"

"Iya, tutup mata dulu, Rinai." Dirga mengulangi permintaannya sambil tersenyum lebar. Kenapa sih dia harus tersenyum terus hari ini, ingin menunjukkan kegantengannya di depanku? Kalau memang itu tujuannya, dia berhasil.

Aku memejamkan mata sesuai permintaan Dirga, lalu Dirga menuntunku berjalan pelan memasuki bangunan itu. Udara di dalam cukup dingin, kalau aku tidak salah menebak ini karena suhu dari mesin pendingin ruangan. Suasana di sini tidak ramai, bahkan cenderung sunyi, hanya terdengar bunyi instrumen musik karya Yiruma yang mengalun lembut. Aku masih berjalan dibimbing oleh Dirga, dan belum dipersilakan membuka mata.

"Oke, kita hampir sampai. Setelah hitungan ketiga, kamu buka mata, ya. Satu... dua... tiga...."

Aku membuka mataku pelan-pelan, dan terpukau kagum dengan apa yang kulihat di hadapanku sekarang. Aku berada di ruangan yang ukurannya sekitar 5 x 5 meter, terdapat beberapa rak berisi buku-buku di ruangan itu. Di sudut kanan dekat jendela, ada dua set meja bundar dilengkapi empat kursi di sekelilingnya. Interior ruangannya mirip seperti ruang baca di perpustakaan kampus ternama di Depok, hanya terlihat lebih sempit tetapi elegan.

"Bagus banget, Ga. Kok bisa kamu nemuin tempat sekeren ini?" Aku masih melihat ruangan ini dengan tatapan kagum, seolah-olah tidak percaya bahwa ada tempat senyaman ini di tengah hiruk pikuknya aktivitas di pusat kota.

Dirga menjelaskan bahwa tempat ini adalah perpustakaan mini, dibuat oleh sepupunya –seorang laki-laki muda yang membukakan pintu untuk kami tadi– yang baru saja menyelesaikan kuliah di Belanda. Sepupunya itu sangat menyukai buku dan sekarang sedang merintis beberapa usaha seperti menjual alat-alat traveling secara online, membuka kedai kudapan, dan dalam waktu dekat dia juga akan membuka perpustakaan mini ini. Kata Dirga, perpustakaan ini nantinya akan diberi nama Taman Baca Spektrum Literasi.

Aku hanya mengangguk-angguk kagum mendengar cerita Dirga. Pada jaman modern seperti ini masih ada orang seperti sepupunya, seorang lulusan universitas luar negeri, tetapi mau memulai usaha dari nol. Tidak berambisi untuk bekerja di perusahaan-perusahaan besar ternama di ibukota yang notabene banyak mencari tenaga ahli seperti dirinya.

Bang Aksa, begitu sapaan yang biasa dipakai oleh Dirga kepada kakak sepupunya yang berambut cepak dan agak ikal itu. Tadi aku sudah sempat dibuat tercengang ketika berkenalan dengan Bang Aksa. Bagaimana tidak, nama lengkapnya benar-benar bernuansa sastra; Aksara Senandika. Wajahnya bisa dibilang cukup tampan, kalau saja kakakku perempuan sudah kujodohkan dengannya.

Aku dan Dirga menghabiskan waktu di perpustakaan mini dengan membicarakan beberapa buku yang ada di sana. Sesekali Bang Aksa ikut menimpali obrolan kami, apalagi jika yang dibicarakan buku-buku sastra legendaris. Sama seperti Dirga, Bang Aksa juga memiliki wawasan yang luas. Bedanya, wajah Bang Aksa lebih terlihat serius dan seperti orang jenius.

Saking asyiknya menikmati banyak buku dan larut dengan berbagai topik obrolan, ditambah lagi berteman wafer cokelat dan es teh manis, tak terasa sudah hampir jam enam sore. Sudah waktunya pulang, kalau terlalu malam nanti kasihan Dirga juga kemalaman sampai rumah.

"Dirga, pulang, yuk! Takut kemaleman, aku juga mau merangkum catatan Fisika tadi siang."

"Iya, pulanglah kalian. Besok-besok kan bisa main ke sini lagi, bebas kok, pintu taman baca ini terbuka lebar untuk kalian kapan aja," sahut Bang Aksa dari balik layar komputer yang sejak tadi diperhatikannya dengan khusyuk.

Aku bersorak senang mendengar respons Bang Aksa, karena itu tandanya aku punya tempat membaca dan mengobrol yang nyaman. Tidak perlu jauh-jauh, dan tentu saja tidak perlu ditegur Kak Gema kalau berisik. Aku mengemasi buku-buku yang boleh kupinjam dari rak perpustakaan Bang Aksa, lalu beranjak pulang diantar Dirga.

Berbeda dengan suasana perjalanan tadi siang, kali ini aku dan Dirga lebih banyak membicarakan banyak hal. Aku banyak bercerita tentang cita-citaku yang berbanding lurus dengan buku-buku sains yang sering kubaca. Begitu pun Dirga, dia juga banyak berbagi informasi tentang dunia politik dan kehidupan militer.

"Udah sampai, Ri. Salam buat mamamu sama papamu, ya."

"Oke, makasih. Kamu nggak mau mampir dulu, Ga?"

"Enggak deh, udah malam. Lain kali aja. Good night, Rinai."

Setelah melambaikan tangan, Dirga bergegas memacu motornya. Aku masuk ke dalam rumah dengan senyum penuh rasa bahagia. Sesampainya di kamar, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur. Menatap langit-langit kamar sambil senyum-senyum sendiri. Dirga, terima kasih untuk hari ini.

*****

Selamat menjelang weekend, selamat menikmati kejutan pertama dari Dirga. Gemas ih nulis ini, senyum-senyum sendiri bayangin wajah Rinai yang senang dikasih kejutan sama Dirga. Semoga para pembaca juga ceria seperti perasaan Rinai, ya ~~

Anugerah Patah Hati [COMPLETE] ✔Where stories live. Discover now