BAB II (Part 3)

789 128 16
                                    

"Kamu ngapain berdiri di sini, Ri?" Tiba-tiba ada yang bersuara di sebelahku.

Aku terkejut, hampir saja aku menjatuhkan kembali buku-buku yang kupegang. Ternyata Dirga yang membuat jantungku nyaris terlepas dari tempatnya barusan. Aku menghela napas lega, lalu tersenyum kepada Dirga yang hanya mengerutkan kening menatapku.

"Ri, kok ditanya malah senyum-senyum sih?" ucap Dirga.

"Eh ... iya maaf, lagi nggak fokus nih, Ga," jawabku sekenanya.

"Jadi, kamu ngapain berdiri sendirian di sini?" Dirga bertanya kembali seraya mencubit pelan kedua pipiku.

"Anu ... itu, aku mau duduk di gazebo, Ga."

Dirga tersenyum, dan mengambil alih buku-buku yang kupegang. "Ayo, aku temenin, sini bukunya kubantu bawa," katanya sembari menggandengku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya membawakan buku-buku yang tadinya menjadi bebanku.

Aku dan Dirga duduk di gazebo yang terletak di sudut taman sekolah. Sekolah sudah tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa siswa yang sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Para anggota OSIS juga terlihat masih berlalu lalang di lingkungan sekolah. Namun, aku tidak melihat Luna. Mungkin ada di dalam ruangan atau malah sudah pulang.

Aku lapar. Perutku sudah tidak bisa lagi diajak berkompromi. Kulirik Dirga yang sedang sibuk memainkan ponselnya. Aku mendengus kesal. "Ga, main game terus, katanya mau nemenin tadi," tukasku.

Dirga menoleh ke arahku, mengangguk dan mengembangkan senyum yang cukup lebar, kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku jaketnya. Aku mengeluarkan roti yang kubeli tadi pagi di minimarket. Gara-gara insomnia semalam, aku jadi bangun kesiangan sehingga tidak bisa memasak bekal. Mama sedang pergi mengunjungi kakakku yang kuliah di luar kota.

"Mau, Ga?" Kutawarkan roti isi selai blueberry kepada Dirga.

"Enggak Ri, makasih. Oh iya, kamu bukannya hari ini ada jadwal diskusi sama Gema?" tanyanya.

"Iya, tadi kami baca materi di perpus, terus pindah ke sini buat makan dan lanjut diskusi. Dia ke ruang OSIS dulu, katanya sih ada urusan sebentar. Kamu kenapa belum pulang, Ga?"

"Tadinya mau jemput Luna, habis rapat OSIS rencananya aku mau antar dia ambil barang-barang ke rumah. Eh pas udah sampai sini, ternyata Luna udah pulang duluan naik ojek. Dia mau ngabarin tapi HP-nya lowbat, jadi ngabarinnya pas udah sampai rumah. Dia siap-siap dulu katanya baru nanti ke rumahmu."

"Hah? Ngapain ke rumahku?"

"Astaga, Rinai masa lupa sih? Nanti malam itu jadwal kita nonton film bareng di rumahmu, Luna juga mau nginap, 'kan?"

Aku menepuk dahiku dengan pelan. Bisa-bisanya aku lupa kalau punya janji dengan Dirga dan Luna. Setiap menjelang akhir pekan, kami bertiga selalu menjadwalkan untuk berkumpul di rumahku. Sekadar menonton film atau hanya bercengkerama. Pekan ini Luna mau menginap karena kami mau mencoba masker wajah baru.

Pertemanan kami bertiga memang baru seumur jagung. Baru beberapa bulan saja. Namun, Tuhan selalu punya cara menghadirkan orang-orang baik di sekitar kita. Luna dan Dirga, contohnya. Mereka adalah wujud nyata dari definisi teman baik yang kupunya. Menyenangkan, apa adanya, dan selalu ada saat aku butuhkan.

"Sambil nunggu Gema datang, aku mau bahas sesuatu nih, Ri." Dirga membuka topik obrolan baru denganku.

"Apa, Ga? Jangan bahas politik ya, otakku lagi penuh."

Dirga tertawa. "Enggak kok, bahas ulang tahun Luna. Dua minggu lagi dia ulang tahun, kita mau kasih kejutan apa kira-kira?"

"Ah iya betul, tapi aku belum kepikiran apa-apa sih, paling beli kue dan kado."

"Aku sempat kepikiran, gimana kalau kita ajak Luna ke perpustakaan Bang Aksa, terus kita rayain di sana. Luna 'kan suka baca komik, nah kita dekor perpustakaannya ala komik Jepang gitu."

"Wah, iya iya. Luna pasti senang banget. Kita buat konsepnya, yuk!"

Kami mulai menyusun konsep kejutan ulang tahun untuk Luna. Mulai dari rancangan dekorasi, mencari info tentang komik-komik Jepang, kue ulang tahun bertabur keju dengan bentuk doraemon, dan banyak lainnya. Terlalu asyik berdiskusi sambil bercanda, kami tidak sadar bahwa hari sudah semakin sore.

Matahari perlahan kembali pulang di sebelah Barat. Sekolah sudah semakin sepi. Kulihat jam tangan ternyata sudah hampir dua jam kami berada di gazebo, tetapi Gema belum juga kembali. Aku mencari ponsel di dalam tas. Ternyata ada notifikasi Line dari Gema sekitar setengah jam yang lalu.

Gema Adinata Samudra

Kamu pulang duluan saja Ri, maaf saya
masih ada urusan. Hati-hati di jalan,
diskusinya kita lanjutkan lain waktu saja.
See you.

Cih, menyebalkan sekali. Kenapa tidak bilang dari tadi, supaya aku bisa langsung pulang. Untung ada Dirga, kalau tidak, mungkin aku sudah habis dimakan nyamuk taman. Aku tidak membalas pesan dari Gema, malas. Kumasukkan kembali ponselku ke dalam tas, beserta buku dan barang-barangku lainnya yang masih tertumpuk rapi di sebelahku.

"Kita pulang aja, Ga," ajakku dengan ketus. "Harusnya dari tadi aja kita pulang, nggak perlu nunggu sampai hari hampir gelap begini," lanjutku.

Dirga menyatukan kedua alisnya, mungkin dia bingung dengan diriku yang kesal tiba-tiba. Aku berjalan menuju parkiran meninggalkan Dirga yang mengekor di belakangku. Kalau bukan karena aku adik kelas, Gema sudah kulabrak dan kumaki habis-habisan. Seorang master of dicipline yang perfeksionis kok bisa-bisanya tidak bertanggung jawab meninggalkan kewajiban seenaknya, dasar manusia kaku.

*****

Betewe, Gema kok ngeselin sih, kasihan Rinai ditinggal gitu aja, untung ada Dirga. Author nulisnya jadi sambil misuh-misuh juga 'kan nih.

Anugerah Patah Hati [COMPLETE] ✔Where stories live. Discover now