BAB III (Part 2)

834 123 4
                                    

Aku memutar otak dengan cepat. Mencari alasan yang logis untuk mempersiapkan jawaban kalau seandainya nanti Gema membombardirku dengan ribuan pertanyaan lusa nanti. Pasti dia akan melabrakku habis-habisan karena tidak menggubris pesan-pesannya. Aku mendengus kesal, susah sekali rasanya berhadapan dengan orang yang pemikirannya realistis sekaligus hobi marah-marah.

Dirga menghampiriku lalu bertanya, "Ada apa, Ri? Daritadi kuperhatiin wajahmu kusut."

Aku hanya menggeleng cepat lalu tersenyum sekadarnya. Tidak ada yang perlu dibahas lebih lanjut tentang Gema, karena isinya nanti hanya luapan kekesalanku saja. Dirga hanya mengacungkan ibu jarinya, lalu mengusap puncak kepalaku sambil tertawa renyah. Oke, lagi lagi Dirga sukses membuatku berdebar.

"Ri, aku mau tanya, boleh?"

"Tanya apa, Ga?" jawabku segera.

"Enggak jadi deh, nggak penting kok."

Dirga terlihat gugup dan salah tingkah, membuatku semakin penasaran. "Dirga, bikin orang penasaran itu dosa loh," ujarku.

Dirga tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku. Entah apa yang ada di dalam kepalanya, yang jelas itu mampu membuat rasa penasaranku muncul. Pertama kalinya, seorang Dirga gugup membicarakan sesuatu hal di hadapanku, dan orang sepertiku tidak bisa dibuat penasaran. Jadilah kupaksa Dirga untuk lanjut membahas pertanyaannya yang menggantung tadi.

Dirga menyerah. "Iya oke, aku cuma mau tanya pendapatmu tentang jatuh cinta sama teman dekat atau sahabat, menurutmu gimana?"

Seketika aku membatu. Apa maksudnya Dirga menanyakan hal itu? Jangan-jangan dia tahu kalau aku menyukainya. Atau jangan-jangan dia juga menyukaiku.

"Ri, kamu nggak apa-apa?" Dirga mengguncang bahuku dengan pelan.

"Eh iya, aku nggak apa-apa, tadi kamu tanya soal apa? Maaf kurang nyimak." Tiba-tiba saja aku jadi hilang fokus berbicara dengan Dirga.

Dirga menghela napasnya, lalu menatapku dengan disertai senyum yang sulit kuartikan maknanya. "Kalau jatuh cinta sama sahabat, itu bagaimana, Rinai?" kata Dirga mengulangi kembali pertanyaannya tadi.

"Bagaimana apanya? Ya nggak bagaimana-bagaimana, jatuh cinta itu bisa terjadi kapan aja dan sama siapa aja, Dirga. Termasuk kayak hal yang kamu tanyain tadi," jawabku.

"Menurutmu salah nggak?"

"Ya nggak salah dong, selama nggak akan merusak persahabatan itu sendiri."

Mana mungkin aku menyalahkan perasaanku sendiri. Secara tidak langsung pertanyaan Dirga sesuai dengan apa yang sedang aku rasakan. Permasalahannya sekarang adalah mengapa Dirga tiba-tiba membahas itu. Tugasku, mencari tahu tentang ini segera.

"Kalau enggak salah, berarti boleh diungkapkan ke yang bersangkutan dong ya. Ah, makasih Rinai, jawabanmu mencerahkan," sahut Dirga seraya memelukku dengan penuh semangat, sedangkan aku hanya diam dan bingung dengan sikapnya.

*****

Setengah berlari aku menuju gazebo di sudut taman sekolah. Gema sudah meneleponku puluhan kali. Tidak sanggup kubayangkan amarahnya nanti. Bisa-bisa aku berubah menjadi arca candi karena omelan-omelannya.

"Kak, maaf tadi masih ada guru, terus aku piket kelas juga, habis itu aku nunggu teman terus...."

"Stop!" Gema memotong omonganku. "Kamu itu ngomong atau lomba lari? Cepet banget kayak pesawat jet."

Aku menunduk, tidak berani menatap sorot mata Gema yang tajam. Napasku masih sedikit tersengal, keringat pun membanjiri dahiku. Detak jantungku lebih cepat dari putaran jarum detik di jam tanganku. Sumpah demi apapun, ini sangat melelahkan.

Anugerah Patah Hati [COMPLETE] ✔Where stories live. Discover now