[526] Kucing

1.7K 418 72
                                    

KUCING

Pada suatu malam, di waktu saya bersiap tidur setelah sikat gigi dan pakai krim wajah, saya mendengar teriakan dari tetangga kos.

Naluri menolong dan kekepoan saya bangkit. Buru-buru saya membuka pintu kamar, beberapa tetangga juga membuka pintu-melongokkan kepalanya dari balik pintu seperti saya.

Yang teriak adalah Icha, penghuni baru tepat di sebelah kamar saya, dia mahasiswa baru.

"Kenapa, Dek?" tanya saya.

Icha cengengesan. "Hehehe, ada kucing, Kak. Saya takut."

Saya ber-oooh panjang lalu tersenyum padanya. Tetangga yang lain sudah menutup pintunya. Saya masih membuka pintu, membantu Icha mengusir kucing dan menemaninya ke teras membuang sampah. Heran juga saya, kenapa anak ini buang sampah malam-malam.

"Kok kucingnya bisa masuk, ya, Kak?" tanya Icha, "padahal pintu utama tertutup dari tadi."

Indekos saya memang punya pintu utama, lalu di balik pintu utama terdapat enam kamar yang saling berhadapan dan hanya dipisah koridor.

"Iya juga, ya." Saya heran. "Saya juga tidak dengar pintu utama dibuka setelah jam 9 tadi."

Icha mengangkat bahunya. Setelah memastikan tidak ada kucing di koridor kos, kami mengunci pintu utama lalu kembali ke kamar masing-masing.

Pada subuh harinya, setelah saya sholat subuh, saya kembali mendengar teriakan tetangga saya. Ini kenapa sih? Sejak kapan tetangga saya hobi menjerit semua.

Saya membuka pintu, bersamaan dengan Icha. Kami mendapati Marini berdiri kaget di depan pintu kamarnya.

"Kenapa, Mar?" tanya saya.

"Ini ada kucing, saya baru buka pintu kamar dia langsung loncat mendekat."

Saya mendekat disusul Icha dan mendapati kucing hitam semalam sedang berselonjor menatap kami bertiga. Matanya yang sehitam bulunya tampak mengerikan saat menatap saya.

Tiga tetangga saya yang lain ikutan membuka pintu. "Ada apa ini ramai-ramai?" tanya Kak Aqisya.

"Ini ada kucing, Kak. Padahal semalem saya dan Icha udah usir dia dan ngunci pintu. Semalam ada yang buka pintu setelah jam 10 ya?"

Kelima tetangga saya serentak menggeleng.

"Terus bagaimana kucing ini bisa masuk? Jendela kita kan selalu ditutup." Marini menunjuk kucing hitam yang masih menatap kami itu.

Hening.

Saya tidak tahu dengan yang lain, tapi saya mulai merinding.

"Kak, saya merinding," keluh Icha.

"Saya juga," timpal Kak Poppy dan Kak Intan.

Kak Aqisya sebagai yang senior di sini mengambil inisiatif. "Pertama, kita usir kucing ini dulu, setelahnya pastikan kalian selalu kunci pintu utama dan nggak membiarkan kucing masuk, ya."

Kami semua mengangguk.

Namun, keesokan harinya, di subuh hari lagi, terdengar jeritan di kos untuk ketiga kalinya. Jeritan itu kini berasal dari saya sendiri.

Saya mau membuang sampah setelah sholat subuh. Ketika membuka pintu, kucing hitam langsung melompat ke arah saya.

Saya begitu terkejut sampai hampir jatuh.

"Kucing lagi, ya?" Kini Kak Aqisya yang muncul duluan, disusul yang lain.

"Ini kucing gimana bisa masuk, sih?" Marini menggerutu. "Perasaan semalam jam 11 saya sudah pastikan koridor aman deh."

Kami semua hanya diam.

"Tapi kucingnya bersih gini, ya. Nggak kayak kucing jalanan," komentar Kak Poppy, "saya punya Tante yang suka kucing, dan kucing ini keliahatan terawat banget kayak kucing Tante saya."

"Iya." Kak Intan ikutan bersuara. "Mana warnanya lucu lagi, putih bersih gitu. Apa kita pelihara aja, ya?"

Deg.

Saya meneguk ludah susah payah. "Wa...warnanya apa?"

Marini memandang saya dengan tatapan aneh. "Putih, Rin, kamu kenapa nanya gitu? Aneh deh."

Damn.

E N D

526 kata.

BelantaraWhere stories live. Discover now