17/02 || Kunci Pernikahan

1.1K 281 49
                                    

KUNCI

PERNIKAHAN

"Aku bisa jelaskan."

Matanya yang sayu menatapku gusar, tangannya memegang lenganku erat. Begitu bibirnya berbisik lirih mengatakan mohon, aku sadar kalau aku harus mendengarkannya.

Aku menutup mata, mengatur napas. Kubiarkan udara membelai paru-paruku dengan baik, yang kuharap mampu menenangkan diriku sejenak.

Hela napas.

Embuskan.

Baik Erika, kamu sudah sering membaca tentang hal ini. Kamu bahkan sudah sering mengikuti seminar pernikahan. Jika ada masalah, jangan langsung lari dari rumah dan membuat semuanya bertambah rumit. Hal ini seharusnya bisa kamu selesaikan dengan baik. Kuncinya adalah komunikasi.

"Baik, kalau begitu jelaskan, kenapa kamu bisa ada di restoran berdua dengan perempuan lain, di saat harusnya kamu ada di kantor seperti yang kamu bilang di telepon."

Edi, suamiku mengangguk. "Aku akan jelaskan. Tapi duduk dulu Erika."

Dituntunnya dengan lembut aku yang dari tadi berdiri ke kasur kami. Ia membiarkanku duduk lalu berlutut di hadapanku.

"Aku sama Astrid nggak ada hub—"

"Nggak usah sebut nama, aku nggak mau tau nama perempuan itu."

"Oke, nggak akan sebut nama lagi," sahut Edi cepat. "Aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Perempuan itu klien aku. Kebetulan saat itu jam makan siang dan kami sama-sama lapar, jadi setelah tadi dia konsultasi di kantor, kami memutuskan untuk makan bareng. Hubungan kami sebatas pengacara-klien. Nggak lebih. Kumohon jangan salah paham."

"Lalu kenapa kamu bohong? Di telepon kamu bilang kamu di kantor."

Edi mengembuskan napas, terlihat lelah. "Aku nggak bohong. Aku memang sudah di kantor saat kamu telepon aku. Itu hanya makan siang yang tidak cukup setengah jam."

Aku menatap mata Edi yang lebih rendah posisinya dariku. Perlahan aku merasa hatiku menghangat. Edi berlutut di hadapanku dan matanya terlihat bersungguh-sungguh.

"Tapi kata Sasa, temanku yang kirim foto ini, dia lihat kamu pegang tangan perempuan itu," kataku, masih mencoba mencari tahu lebih dalam.

Edi mengangguk. "Iya, aku akui aku memang sempat pegang tangannya, tapi itu untuk menguatkan dia yang sedang terpuruk. Dia korban perselingkuhan suaminya, Erika. Kamu perempuan, tentu kamu bisa bayangkan perasaan dia yang diselingkuhi. Sekali lagi, aku dan dia sekedar pengacara-klien. Aku di posisi orang yang berusaha membantu dia."

Aku terdiam. Penjelasan Edi memenuhi kepalaku. Aku tahu perasaan Edi memang lembut, jadi kurasa itu adalah tindakan implusifnya karena rasa iba.

Kutatap lagi mata Edi yang sayu lalu menelusuri wajahnya yang kelihatan kusut. Wajar, dia baru pulang kantor dan aku langsung menyambutnya dengan amarah. Dia pasti sangat lelah.

Baiklah, barangkali aku yang terlalu berlebihan menanggapi foto yang dikirimkan Sasa padaku.

"Masih marah?" tanya Edi.

Aku masih diam. Semua penjelasan Edi masuk akal. Kami sudah menikah selama lima tahun dan telah dikaruniai satu anak. Ini kali pertama aku mendapati Edi melakukan hal tersebut dan sepertinya aku yang terlalu cemburu.

Benar kata orang, kunci awetnya pernikahan itu adalah komunikasi. Andai tadi aku langsung kabur seperti tokoh-tokoh perempuan yang sering kubaca di novel, barangkali masalah ini akan makin rumit.

Jadi, atas pertanyaan Edi, aku menggeleng. Kemarahanku telah menguap perlahan-lahan.

Melihat gelenganku, Edi segera memelukku erat. "Kamu harus tau kalau aku nggak mungkin selingkuh, sayang. Kamu percaya aku, kan?"

Aku mengangguk. "Iya, aku percaya."

"Terima kasih. I love you."

Aku tersenyum bahagia mendengarnya. Semuanya terasa sempurna sekarang.

Kini aku memahami bahwa selain komunikasi, kunci lain agar pernikahan awet adalah kepercayaan.

Makanya, aku tidak mau percaya ketika beberapa minggu kemudian sahabatku, Yuka meneleponku dan mengatakan bahwa ketika ia ke hotel untuk sebuah acara seminar, ia sekilas melihat Edi bersama perempuan lain memasuki kamar hotel. Toh dia tidak punya bukti foto.

Pun malam ini, ketika Edi pulang dan langsung memelukku, aku tidak mau berpikir yang aneh-aneh ketika mencium bau parfum wanita di tubuhnya.

Aku percaya suamiku sepenuhnya.

E N D

BelantaraWhere stories live. Discover now