03 - Out of Hand

1.6K 194 50
                                    


Ketika situasi menjadi tidak terduga dan di luar kendali.

Tetapi, harapan tidak pernah pergi.


[Catatan 2016]


×


Semesta itu senang bermain-main. Hobinya membuat labirin penuh jebakan seperti ular tangga, kemudian manusia diminta melompat dari satu kotak ke kotak lainnya. Jika beruntung, akan ada tangga untuk membawa manusia pergi ke tempat yang lebih tinggi. Namun, roda berputar; terkadang sebuah ranjau menanti dan manusia akan jatuh tersungkur sampai kembali ke bawah.

Pemilik Semesta seakan ingin menyaring manusia mana yang pantas menempati posisi teratas. Meski terkadang, dengan sengaja Semesta mengabaikan keadilan dan tertawa keras sembari mengatur jalan takdir seseorang. Diletakkannya orang-orang yang licik pada strata tertinggi, lalu orang-orang yang berbudi baik harus siap menelan nasib dengan berada di bawah kekuasaan mereka.

Tetapi kemudian, sebenarnya, seperti apa orang jahat dan orang baik itu? Adakah ciri fisiknya? Adakah stempel khusus di dahinya?

"Kamu ... benar-benar kejam."

Jadi ketika seseorang berkata seperti itu, apa yang menjadi dasar pernyataannya? Bagaimana cara menilai ketika tak seorang pun manusia luput dari kesalahan?

Pemikiran semacam ini hinggap dalam benak seorang pria yang terduduk di balik meja kerja. Postur tubuhnya tinggi dan tegap, membuat pria itu terlihat lebih kuat meskipun kerutan usia mulai tergambar jelas pada wajahnya. Beberapa helai rambutnya memutih, lalu matanya tampak sedikit sayu dengan sorot aneh terpancar dari sana. Setelan jas bermerek dan sepatu pantofel mengilap melekat di tubuhnya.

Pada meja kerja, sebuah laptop menyala didampingi lembaran-lembaran artikel yang menumpuk. Layarnya menampilkan tayangan ulang sebuah kompetisi olahraga September lalu, dihias riuh suara penonton bersahutan dengan pembawa acara, serta wajah-wajah bahagia yang jelas antusias. Alih-alih ikut tersenyum melihat suasana pertandingan, pria itu malah mengerutkan dahi dan kembali memutar video dengan mode lebih lambat. Lalu ketika kamera menyorot tribun penonton, pria itu dengan cepat menekan tombol jeda.

Air mukanya berubah, seakan tidak mengerti bagaimana cara menghadapi situasi yang serba tiba-tiba. Dalam hitungan detik berikutnya, pria itu meraih lembaran artikel di meja dengan cepat. Deretan huruf yang membentuk paragraf tersebut membuatnya mengerang pelan. Dicengkeram kertas-kertas itu kuat, sampai nyaris sobek.

Kemudian tanpa aba-aba, pria itu melemparnya kasar. Kertas-kertas sempat berayun di udara, sebelum mendarat mengenaskan di lantai marmer yang berkilau, dan terinjak oleh langkah si pria hingga lusuh.

Ia menghilang di balik pintu ruang kerja, memutuskan untuk pergi dari kekacauan, dan mencari tahu apa yang salah.


Hana Cho Found Dead Right Before Christmas Eve


Sebab ... sebab, ia telah begitu menderita selama belasan tahun hidupnya belakangan ini. Perasaan bersalah sekaligus ketakutan yang begitu besar merayap perlahan menyelimuti pikiran. Ia menyesal ... dan puas.

Selama tidak ada yang tahu, selama tidak ada yang bersuara, selama tidak ada yang menudingkan jari padanya, ia yakin semua akan baik-baik saja.


Was Hana Cho Killed or It Was All Herself?


Maka ketika tayangan kompetisi olahraga itu diluncurkan dan memamerkan sesuatu yang paling tak ingin ia lihat, napasnya tertahan. Ia kira ceritanya sudah usai belasan tahun lalu.

ONLOOKER [2024]Where stories live. Discover now