04 - Lend an Ear

1.3K 183 34
                                    


Pengingat agar selalu mendengar dengan hati.

Terutama sekali, mendengar diri sendiri.


[Catatan 2016]


×


Hana masih mengingat dengan jelas bagaimana masa kecilnya dipenuhi dengan fantasi menakjubkan. Tidak ada yang mustahil dalam hidup. Semuanya ajaib, indah, dan menyenangkan.

Sebelum musim panas tiba, netra gadis itu akan menangkap ratusan peri yang beterbangan sambil membawa sebongkah cahaya terang dalam genggaman. Satu persatu akan hinggap di tepi jendela, di dahan pepohonan, di cerobong asap, dan menari riang di atas lapisan es hasil pembekuan danau. Lalu bersamaan, mereka akan melempar cahaya itu hingga membuat tumpukan salju mencair dan menyatu dengan rerumputan.

Kemudian sekumpulan kurcaci muncul dari lubang di akar pohon. Menguap sesaat sebelum menaiki tangga kayu menuju langit. Pekerjaan mereka sederhana; membuka tirai awan kelabu dan mempersilakan sinar matahari menyapu penjuru cakrawala. Mereka sempat memicingkan mata karena diserbu terik mentari yang tak sabar mencium bumi, tapi setelah beberapa saat akan muncul senyum bahagia di wajah.

Hal yang sama terjadi ketika Hana menyambut musim-musim lainnya; sekelompok elf anggun yang menyentuh kelopak bunga agar mekar di musim semi, ogre manis dan baik yang mengajak daun-daun untuk terbebas dari ranting pohon saat musim gugur, dan ratu es berwibawa yang terlihat dingin tapi sebenarnya sangat murah hati hingga suatu ketika Hana pernah menerima kepingan salju indah dari sang ratu.

Segalanya begitu indah dan tidak masuk akal.

Penuh tipuan.

Sampai pada satu waktu, Hana memutuskan untuk berhenti percaya.

Tak ada lagi peri, kurcaci, apalagi ratu es. Gadis itu mulai menerima fakta bahwa dunia lebih buruk dan nyata dibanding negeri dongeng. Tidak mungkin ada lemari pakaian yang bisa membawanya menuju dunia lain, tidak mungkin ada pemuda berbaju hijau yang menanti di luar jendela untuk mengajaknya berpetualang menuju bintang kedua dari kanan, tidak mungkin ada labu yang bisa berubah jadi kereta kuda, tidak mungkin ada putri yang terbangun hanya karena sebuah kecupan.

Hana dengar dengan jelas suara anak panah membelah udara dan sebuah pedang menebas dunianya tanpa ampun.

Ia tidak akan bisa ditipu lagi.

Memejamkan mata perlahan, pikiran Hana terbang menyelinap ke memori terdalam di otaknya. Mencari pecahan ingatan yang mendadak berubah menjadi partikel-partikel halus, perlahan berputar di udara, kemudian menyatu kembali menjadi perwujudan suatu tempat. Seolah Hana berteleportasi—tenggelam dalam dunianya sendiri.

Hana bisa merasakannya.

Pagi itu terlalu dingin, bahkan langit terlihat muram dengan warna kelabu. Ada sedikit semburat putih yang sayangnya tidak berhasil menambah cerah. Salju turun begitu deras, memblokir jalan raya, menyangkut pada ranting-ranting pohon, dan menumpuk di balkon apartemen. Terus dan terus menghantam Paterson, mencegah siapa pun melangkah ke luar rumah bahkan meski hanya untuk bermain dengan boneka salju.

Empat hari sebelum Natal. Dari lantai delapan sebuah apartemen, sepasang mata milik gadis kecil menangkap beberapa dekorasi yang mulai dipasang. Di bawah sana, penduduk sudah menggantung pita merah raksasa dan lonceng pada pintu rumah. Toko-toko menyalakan lampu kelap-kelip yang mengitari pohon cemara kecil, dipajang di etalase bersama hiasan Natal lainnya.

ONLOOKER [2024]Where stories live. Discover now