PART 04

96 5 0
                                    


Bintang bersinar memamerkan kerlap-kerlipnya, pun juga rembulan yang tak mau kalah memamerkan keindahannya. Dibawahnya, di dalam lingkaran siswa-siswi kelas 12 ada api unggun yang tak hanya memberikan cahaya, tapi juga menyebarkan kehangatan untuk orang yang berada di sekitarnya.

Mataku memandang lurus kedepan, menatap api unggun. Entah apa yang ku pikirkan, seharusnya malam ini aku senang karna ini acara terakhir untuk anak kelas 12 sebelum mengikuti UN yang akan diadakan 3 bulan lagi.

Aku duduk disamping Rasya, teman kelasku. Aku lagi malas bergabung dengan Aufa dan Arka, seharian ini dua sejoli itu membuatku kesal.

Dan lihat siapa lagi yang di sampingku, Dhila. Orang yang di sukai kak Devan, yang baru ku ketahui bulan lalu. Dia enggan menatapku, dari tadi ku perhatikan dia selalu mengalihkan pandangannya saat ku melihatnya.

Entahlah, mungkin dia sudah tau tentang aku mengetahui kak devan suka ke dia bukan aku. Atau entahlah. Akan ku coba cari tau.

"hai dhil" sapaku ke dhila

"eh dara, kenapa ra?" Tanya dhila

Aku tersenyum ramah dan menjawab "ga papa"

Aku melihat wajahnya, dia memang cantik, senyumnya manis, tak heran kalau kak Devan suka padanya.

"Dhil, kak Devan baik yaa" ucapku ke Dhila sambil menatap seseorang yang ada di sebelah sana yang sedang mengatur pencahayaan.

Dhila hanya memberi respon senyuman. "iyya baik" lanjutnya setelah terdiam beberapa detik

"lo ga suka gitu sama kak Devan? Baik loh dia" ucapku "pake banget loh baiknya" tambahku sebelum dia menjawab pertanyaanku

"iyya dia memang baik, gue juga akui itu. Tapi bukan seperti dia tipeku, dia terlalu baik." Jawabnya

"terus lo sukanya sama siapa kalo bukan sama kak Devan. Udah ganteng, baik, multi-talent, bias ngaji, kurang apa coba?" ucapku

"gue sih sekarang ga lagi suka sama siapa-siapa. Mau gak gue ceritain rahasia terbesar gue?"

Aku memerhatikan keadaan sekitar. Satu persatu masuk kedalam tenda, begitupun Arka dan Aufa kini tak terlihat lagi diseberang sana, dasar tidak tau diri.

Tersisa beberapa pemuda-pemudi yang berngobrol, bercanda ria. Pun kak Devan telah selesai mengatur pencahayaan, kini bergabung di tim basketnya.

Juga aku dan Dhila masih belum beranjak dari tempat kami.

"apaan emang?" jawabku, jujur aku penasaran, jangan-jangan ini ada hubungannya dengan kak Devan

"jadi, gue itu bukan berasal dari keluarga yang baik-baik. Keluarga gue hancur. Nyokap dan bokap gue udah lama pisah. Tapi untungnya gue dikelilingi orang-orang baik, jadi gue ga seperti anak broken home kebanyakan. Itu yang buat gue bias ga kacau seperti saat ini. Dan itu juga yang membuat gue kehilangan kepercayaan gue ke laki-laki. Bayangin aja, gue sejak kecil ga tinggal sama orang tua gue. Sejak kecil gue tiap hari menyaksikan mereka bertengkar. Bahkan tak jarang di umur gue yang sedini itu gue juga kena pukul. Dan gue juga inget banget, nyokap gue, orang yang seharusnya paling menjaga gue. Dia seakan mau ngebunuh gue. Sampe gue mikir apa gue ini anak yang tak diharapkan?" cerita Dhila menatap lurus api unggun yang ada di depan kami, seakan dia menyiratkan bebannya begitu berat.

Aku mengusap pundaknya, berbagi kekuatan dengannya, turut berduka cita.

"sorry Dhil, gue ga bermaksud mengingatkan lo" ucapku

"gapapa, gue juga lagi pengen cerita. Oiyya dan itu juga membuat gue kehilangan kepercayaan gue ke seorang laki-laki. Disaat ada orang yang mengatakan semua laki-laki sama saja. Seharusnya mereka ga pantas mengatakan itu, dia masih punya bokap yang peduli sama dia. Sedang gue? Bokap gue juga sama bangsatnya" ucapnya dengan senyum menyeringai

"ssstt!! Ga boleh gitu Dhil, bagaimana pun dia tetap bokap lo! Lo darah dagingnya dia" ucapku

"ya gue ngerti gue darah dagingnya dia, gue faham hal itu. Saking gue faham hal itu semakin gue sakit. Memang iyya tiap bulan gue dikirimin duit banyak. Tapi apa kasih sayangnya dia sebatas duit doang?! Gue juga butuh kasih sayang Ra!" ucap Dhila dengan penekanan di akhir kalimatnya, matanya kini terlihat berkaca-kaca.

Aku hanya dapat terdiam, menarik kepalanya kepundakku, memberinya sandaran walau hanya sebentar, membiarkannya meluapkan air matanya di pundakku.

Diseberang sana kak Devan menatapku tajam. Seakan aku berbuat suatu kesalahan yang fatal.

Dhila menarik kepalanya dari pundakku, mengusap sendiri sisa air matanya. "gue bahkan sampe ragu apa gue bakal menikah ato ngga" ucapnya membayangkan masa depan.

"bukannya apa, gue takut anak gue bernasib sama seperti gue. Gue ga pengen anak gue ngejalanin apa yang gue jalani. Daripada anak gue kelak bernasib seperti gue, mending sekalian aja anak gue ga usah lahir. Gue ini masih beruntung dikelilingi orang-orang baik." Ucap Dhila

Aku menatapnya lekat, entah mencari apa di matanya. Selanjutnya aku melirik ke arah kak Devan dia kini sedang berbincang dengan juniornya.

"Dhil, lo tau kan gue suka sama kak Devan?" tanyaku

Dia tak menjawab pertanyaanku, dia menoleh kearahku menatapku, menanti apa yang akan ku katakan selanjutnya

"Dhil," aku menarik nafas sebentar, menyiapkan diriku untuk melanjutkan ucapanku. "jika saja nanti, setelah kelulusan. Dia datang padamu, dan memintamu kepada ayahmu, untuk menjadikanmu teman hidupnya. Kumohon, jangan tolak dia dengan alasan kau tidak enak sama aku." Ucapku menatap matanya

"hahaha, ngga lah Ra, tipe dia bukan gue, dan gue juga ga naksir sama dia"

"yaa.. kan gue juga bilangnya jika saja" ucapku. Akhirnya obrolan kita mala mini berakhir dengan canda.

Malam semakin larut, mata pun semakin berat. Di sisi sana kak Devan masih betah bermain gitar, meski tinggal berdua. Mungkin dia menungguku ngantuk, eh ralat sejatinya dia menunggu Dhila.

________________________________________________________________________________

haiii... muncul lagii.. Alhamdulillah.. selamat tidur man temann

( j.h )

DEVAN-DARAWhere stories live. Discover now