Keempat

10 1 0
                                    


Waktu begitu cepat berlalu. Anis sebentar lagi selesai bersekolah di sekolah dasar, Ngah juga. Cu sudah hampir genap berusia tujuh tahun, tumbuh sehat tidak kekurangan satu apa pun, begitu lincah hingga jadi salah satu andalan bagi kawan-kawannya jika bermain lempar kasti atau kalang tabung.

Cu tumbuh dengan wajah yang tidak menonjol kecuali alisnya yang tebal seperti milik arwah ayahnya, namun wajah dan gerak geriknya memiliki kharisma entah dari mana, semua anak-anak seumuran seperti suka bermain bersamanya, ia selalu menjadi pusat perhatian, dalam permainan seperti lempar bola kasti atau kalang tabung ia begitu gesit dan lincah sehingga sering dijadikan andalan, anak-anak yang satu kelompok dengannya akan sangat suka dan merasa beruntung sekali.

Di antara kawan-kawan seumurannya ia paling dekat dengan Utara, yang menjadi kawan karibnya dari mereka pandai berjalan dan bicara, Sama-sama anak yatim yang ditinggal mati ayahnya yang sama-sama pelaut, cuma bedanya ayah utara hilang di telan laut. Arwah ayahnya seorang kapten kapal dan menamakan seluruh anak laki-lakinya dengan nama penjuru mata angin. Utara dan Cu selalu bermain bersama, mereka seperti tak bisa dipisahkan. Serta Ciwan yang justru beberapa tahun lebih muda dari mereka. Sering kali mereka bermain bersama, dengan anak-anak lain yang mengikuti mereka.

Utara tubuhnya lebih tinggi menjulang dari kawan-kawannya, agak bungkuk macam bungkuk udang tapi paling lawar. Seperti badannya, wajahnya juga lonjong memanjang dengan hidung mancung dan mata lebar macam burung hantu.

Sedangkan Ciwan bertubuh yang paling kecil, agak pendiam tapi yang paling putih kulitnya di antara mereka, wajahnya macam bayi yang baru lahir, manis dan menggemaskan. Rambutnya ikal bergelombang.

Sebagai anak-anak melayu rambut mereka rata-rata memang ikal bergelombang. Dan pada masa itu yang tidak lupa menjadi kesukaan banyak anak laki-laki, rambut ikal bergelombang mereka dibuat sedemikian rupa membentuk sebuah jambul diatas kening mereka macam ayam jago.

Masa itu semuanya seperti itu, semuanya merasa sudah paling tampan karena rambut jambul mereka.

Pagi itu setelah mandi secepat kilat, Cu hendak pergi ke halaman rumah Utara, tempat ia dan kawan-kawannya biasa berkumpul dan bermain.

Bergegas ia dengan mengancingkan bajunya sambil berlari, terburu-buru, berpikir bahwa Utara, Ciwan dan kawan-kawan lainnya sedang menunggu atau malah sudah asyik bermain duluan.

Di tengah-tengah perjalanan ketika sedang secepatnya berlari ia malah berpapasan dengan Utara yang membuatnya menghentikan larinya dan menoleh.

"Oiyy Utal! Hendak kemana kau!?" Pekik Cu kepada kawan akrab nya itu.

Utara tidak menghentikan langkahnya, hanya menoleh dan berteriak,

"Sekolah Cu, hari ini aku mulai masuk sekolah, lupa aku bilang!"

Utara menggapai-gapai telinga kirinya dengan tangan kanan dari atas kepala.

"Sudah bisa aku gapai!" Teriaknya.

Cu mengerti maksudnya.

"Sekolah?" Batin Cu tertegun.

Ia tahu apa itu sekolah, tempat anak-anak kampung seumuran dirinya dan Uta setiap paginya untuk belajar, entah belajar apa. jaraknya tidak jauh dari gubuk mereka tinggal. 

Di sebut dengan sekolah dasar nomer satu.  cuma satu gedung besar berbentuk rumah panggung, tidak jauh lebih besar dari rumah datuk kaya.

Anisnya bersekolah di sana setiap hari, Ia sudah kelas enam, begitu juga Ngah, kelas tiga.

Kalau Utara sudah pergi bersekolah juga, kenapa aku tidak?

Cu berkata-kata di dalam hati sambil terus berjalan ke halaman bermain mereka.

Cu :Bagian PertamaWhere stories live. Discover now